Chereads / Ada Cinta Di Bola Basket / Chapter 3 - 03. LARANGAN DARI DUA ORANG TERSAYANGNYA

Chapter 3 - 03. LARANGAN DARI DUA ORANG TERSAYANGNYA

Baru pertama masuk sekolahannya saja sudah membuat orang dalam benci, bagaimana kalau akan terus bertemu setiap waktu dan hari? Artinya Lea harus bisa untuk bisa menjaga dirinya dari apapun yang akan di lakukan oleh … Giraka.

"Lea." sahutan dari arah tangga membuat cewek itu mendongak sedikit.

"Bunda."

"Astaga. Pipi kamu kenapa merah sekali? Apa kamu habis bertengkar?" Bunda Lea bertanya antusaias saat melihat wajah puterinya memiliki luka.

Lea tersenyum. "Bukan apa-apa ini, Bun. Tadi itu ada nyamuk terus aku namparnya kekerasan, jadi begini deh."

"Tidak ada yang sedang kamu sembunyikan, kan?"

Lea mendecak kecil, "Lea, sejak kapan main-main sama, Bunda? Durhaka."

Bundanya mengulas senyuman. "Kalau begitu, Bunda, akan mengambilkan obat luka dulu, ya."

"Siapa yang luka?"

Pertanyaan terdengar dari arah kanan membuat kedua orang itu menoleh bersama. Lea tertawa kecil sambil berjalan untuk mendekati untuk menjelaskan.

"Ga ada yang luka, Bang. Bunda, salah paham aja sama pipi merah aku ini." tunjuknya mengarahkan.

"Gimana pertama sekolah?"

Lea bernapas lega saat Abang nya justru tidak mengintrogasi, dia menganggukkan kepalanya dengan sunggingan lebar. "Lumayan menarik."

"Maksudnya?"

Bunda dan Abang nya saling menatap Lea penuh jawaban yang lugas hingga dapat di mengerti oleh mereka. Lea tidak mungkin akan berbuat hal aneh di sekolahan barunya, kan? Pertanyaan itu ada dalam pikiran mereka, karena tidak pernah sekali pun Lea membuat onar.

"Kamu ga berusaha untuk masuk club basket, kan?" Abang nya bertanya dengan raut cemas, Lea masih belum mengeluarkan suaranya sejak mereka berdua membutuhkan penjelasan.

"Bang Juna, tenang aja. Lea, ga akan buat kalian semua khawatir dan kepikiran."

"Abang, bilang seperti itu karena tidak ingin kalau sampai kamu juga cidera. Bunda, juga khawatir pasti kamu akan nekad untuk memasuki club basket di sekolahan baru kamu itu." Bunda nya menyahut risau.

Lea meringis pelan. "Abang, fokus aja ke kakinya. Lea, yakin kalau banyak gerak pasti sembuh lagi. Itu sebuah kecelakaan, Bang. Aku akan lebih berhati – hati."

"Jangan sampai kamu melawan dan satu nasib sama, Abang!"

Lea menarik napas saat Abang nya melongos pergi dengan rasa gusar. Walau sudah ribuan kali meyakinkan pun tetap saja keluarganya pasti tidak akan mengijinkannya lagi. Padahal hanya basket yang mampu membuatnya tenang dan nyaman. Juna selaku anak sulung ingin menjaga adik semata wayang, karena hanya Lea yang bisa membuatnya bangkit kembali dalam keterpurukan.

Bunda Lea menatap sendu. "Abang, ingin kamu sekolah dengan benar. Jika bisa melupakan hobi kamu itu, kenapa tidak di coba?" ucapaannya di jeda sejenak. "Kalau kamu ingin melupakan sosok yang begitu menyukai sesuatu, salah satu cara yang harus kamu lakukan yaitu … menelan dan melupakan hal yang kalian berdua sukai. Termasuk basket."

=============

Tidak mudah dan segampang orang berkata. Nyatanya jika sesuatu yang sudah melekat di dalam hatinya justru akan sulit untuk di lupakan apalagi di singkirkan dengan paksaan.

"Coba aja lo masih ada di samping gue, mungkin keluarga gue ga akan pernah nyuruh sampe maksa buat berhenti maen apa yang udah kita berdua suka dari kecil."

Lea tidak akan sanggup jika kehilangan dua yang sangat dia sayangi. Sudah jelas salah satunya menghilang dari sisinya, Lea tidak akan bisa juga menyingkirkan hobi yang sudah dia kembangkan selama ini. Kenapa Abang nya sendiri membuat Lea bersedih? Padahal mereka semua tahu bahwa Lea menyetujui kepindahannya ke sana itu hanya untuk bisa melupakan satu sahabat kecilnya, bukan untuk melupakan hobinya juga.

"Lo belum ada kabar. Apa udah lupa sama gue?" Lea menatap foto di dalam bingkai. Dua anak yang saling merangkul sambil melebarkan senyuman. Mereka berdua tidak pernah sekali pun terpisah walau jarak satu senti pun. Lea pikir kepindahannya ini akan membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginannya, namun sepertinya memang dia tidak pernah bisa untuk membohongi perasaannya.

Kebahagiaan itu hanya dengan sahabat kecilnya.

"Gue emang punya temen di sini, tapi rasanya beda."

Lea masih menunggu kabar dari sahabatnya yang sudah dia saksikan kepergiannya untuk melanjutkan pendidikannya ke negara orang. Walau begitu Lea sangat berharap sahabatnya tidak akan pernah untuk melupakannya di luar sana, sekali tidak ada kabar satu pun untuknya.

"Kamu kenapa belum tidur?" suara yang berasal dari arah pintu membuat Lea mendongak untuk melihatnya.

"Ayah, baru pulang?" tanya Lea sambil menyimpan bingkai foto tadi ke atas nakasnya.

"Iya. Ayah, ingin memastikan kamu sudah tidur atau belum. Apa kamu sudah makan malam?" tanyanya mendekat dan duduk di sebelah puterinya.

Lea menggeleng pelan. "Aku masih kenyang karena kebetulan makan di sekolah siangnya. Ayah, udah makan?" tanyanya kembali.

"Ayah, makan malam di kantor. Mereka mengadakan pesta kecil untuk merayakan perusahaannya yang membuka cabang baru."

Lea mengangguk. "Syukur kalau, Ayah, udah makan."

"Apa kamu masih bersedih?" seolah mengetahui keadaan puterinya Ayah Lea bertanya.

Cewek itu menarik napas dengan kepala yang menggeleng pelan. "Aku heran aja, Yah. Sampai sekarang dia belum ada kabar, udah sampai sana atau istirahat nunggu waktu yang tepat buat kirim pesan ke aku, ya?"

Ayah nya terkekeh pelan, mengusap bahu Lea sejenak dan menjawab, "Mungkin masih belum sempat untuk bisa mengabari kamu. Tunggu saja hingga beberapa bulan nanti."

Lea menautkan alis. "Kenapa harus berbulan - bulan?"

"Sekolah di sana belum tentu bisa mendaftar dengan mudah, nak. Bisa saja berbeda dengan di, Jakarta."

"Iya, ya. Lea, kan ga pernah daftar sekolah di luar negeri. Bisa aja sekolah di sana di persulit harus menyediakan file apa gitu, kan? Aku baru bisa mikir ke sana, dan ngira sama aja kayak di sini."

Ayah Lea tersenyum. "Maka dari itu kamu do'a kan saja dia agar di mudahkan sekolahnya, juga bisa mengabari kamu dengan waktu yang cepat."

Lea mengangguk. Ayah nya begitu mengertikan sekali dengan perasaannya, sangat berbeda sekali dengan Bunda dan Abang nya yang mereka berdua satu pemikiran.

"Ayah, selalu bisa menghibur aku. Makasih, ya."

Ayah nya terkekeh pelan. "Sudah sepatutnya sebagai orang tua bisa mengayomi anak – anaknya. Maaf jika, Ayah, terlalu sibuk bekerja sampai tidak ada waktu luang untuk kamu dan, Abang."

"Ayah, bekerja untuk kita semua. Lagian ada, Bunda. Abang, juga selama kakinya cidera ga bisa pergi jauh atau ke luar rumah."

"Tapi ingat pesan, Ayah."

Lea menampilkan senyuman merekah. "Jangan pernah larut dalam mengingat seseorang, walau seperti di telan bumi sekali pun. Karena mereka semua akan ada di dalam hati kita hingga saatnya kita tidak mampu lagi untuk mengingat. Udah, Yah. Itu mah aku juga nempel terus di otak."

"Ayah, kira otak kamu penuh dengan rumus basket."

Lea tertawa geli. "Di kira matematika. Anak Ipa kali penuh rumus otaknya."

"Basket bukannya ada rumus juga? Ayah, kira selama ini olahraga itu ada rumus yang tersembunyi."