Pencahayaan ruangan yang cukup terang, dengan beberapa orang yang tengah duduk, tetapi suasana terasa menegangkan.
"Sejak kapan kalian berpacaran? Kenapa kamu tidak memberitahu bunda, Ca?"
Wajah yang sebelumnya tertunduk, perlahan terangkat menatap sang bunda, tetapi tangannya digenggam erat oleh Fathur, seperti menyalurkan energi untuk tetap mengontrol emosinya.
"Tepat di hari bunda menikah!" jawab Mecca dengan cepat.
"Dan aku gak mau beritahu lebih jauh, karena ada orang asing di sini!" lanjutnya.
"MECCA!" bentak Reina.
"Apa, bun? Mau ngebela orang asing itu di bandingkan aku? Keknya emang bunda udah gak peduli sama aku!" ucap Mecca dengan mata memerahnya.
Reina semakin emosi, namun Hasan berusaha menenangkan. Pria itu berusaha mengerti situasi, di mana antara anak dan seorang ibu tengah bertengkar.
Situasi semakin menegangkan saat Reina kembali bersuara sambil menunjuk Fathur.
"KAMU! DASAR LAKI-LAKI YANG MEMBAWA PENGARUH BURUK UNTUK MECCA, SAMPAI-SAMPAI DIA BERANI MELAWAN SAYA!" teriak Reina.
"SAYA MINTA KALIAN PUTUS SEKARANG!" lanjutnya berteriak.
"ENGGAK!" bantah Mecca langsung berdiri.
Reina terkejut mendengar Mecca berteriak padanya, karena untuk pertama kalinya Mecca membantah ucapannya dengan bersuara keras.
Amarah Reina semakin tersulut, wanita itu ingin mendekati Mecca, tetapi ditahan oleh Hasan yang tetap berusaha menenangkan.
"Mecca, dengarkan perkataan bunda, nak. Kamu jangan membantah, putusi lelaki itu," ucap Hasan.
"DIAM ANDA!" teriak Mecca.
"Anda sedikitpun tidak ada hak berucap, karena anda hanya orang asing di sini!" lanjutnya tetapi nada suaranya merendah.
Hasan mendadak bungkam, setelah ucapan Mecca yang memang mengatakan hal sebenarnya.
Nyatanya sebutan orang asing memang sudah sering Hasan dengar, tetapi kali ini terbilang Mecca mengatakannya begitu jelas. Padahal sebulan waktu yang sudah terlewat dengan hidup di satu rumah yang sama, Hasan mengira akan ada sedikit tempat di hati Mecca untuk menerimanya sebagai sosok ayahnya.
Namun, rupanya sedikitpun tidak ada ruang untuk Hasan agar bisa menjadi ayah Mecca, malah terlihat tatapan Mecca yang begitu membenci dirinya.
"MECCA! JANGAN BICARA SEPERTI ITU PADA PAPA KAMU!" Reina mencekal pergelangan tangan Mecca kuat.
Bagaimana dengan Fathur? Ia seperti menjadi seorang penonton saja melihat bagaimana keadaan retaknya keluarga Mecca yang ternyata juga tak harmonis. Fathur tahu perihal bundanya Mecca yang menikah kembali, tetapi ia tak tahu jika Mecca sampai sekarang belum menerima kehadiran ayah barunya dan juga saudara tirinya.
Rasa benci memang tak bisa mudah dihilangkan, apalagi jika seperti orang yang datang mengusik kehidupan yang sudah berantakan. Yah, Mecca memang berpikir seperti itu.
Bahwa kehadiran Hasan sebagai ayah tirinya hanyalah mengusik kehidupannya yang sudah berantakan, ditambah dengan Reval yang sangat ia benci.
"Papa? Seumur hidup pun aku gak bakal sudi menerimanya sebagai seorang papa, dia hanya orang asing yang mengusik kehidupan kita, bun!" Mecca pada akhirnya mengeluarkan tiap hal yang ia pendam selama sebulan ini.
Memang ia tinggal serumah, tetapi bagi Mecca hanyalah terasa sesak. Ia tinggal di rumah orang asing, bahkan untuk dirinya beristirahat saja, Mecca tak pernah merasa nyaman.
"MECCA!" Reina sudah berlinang air mata, ucapan Mecca sedikit menyakiti perasaan wanita itu.
Cekalannya pada lengan Mecca terlepas, hingga akhirnya dua orang remaja itu memilih keluar ruangan. Namun, saat di ambang pintu, Mecca memberhentikan langkahnya.
"Bunda saja menikah, walau aku gak pernah setuju. Jadi, jangan pernah melarang aku untuk bersama dengan Fathur!"
Setelah mengatakan itu, Mecca dan Fathur pun pergi. Menyisakan tangisan Reina yang perlahan berjatuhan dengan suara terisak-isak yang keras.
Hasan yang melihat istrinya menangis, hatinya ikut terkoyak. Sebelumnya sudah teriris, sekarang sudah terkoyak hatinya.
Mencoba memaklumi situasi, tetapi apakah Hasan bisa untuk terus memakluminya, di saat harapannya bahwa Mecca akan menerimanya sebagai sosok ayahnya ternyata masing sebatas angan.
'Kapan kamu akan menganggap saya sebagai ayah kamu, Mecca? Saya ingin sekali menyentuh putri kecil anak sahabat saya,' ucap batin Hasan.
****
Rumput hijau tumbuh lebat memenuhi gundukan tanah yang sepertinya tak terawat sedikitpun. Seorang gadis menggenggam tangannya kuat dengan matanya yang merah, menahan amarahnya melihat makam ibunya.
"Pah! Ini kenapa makam mama gak terawat sedikitpun, siapa yang ditugasin?" Falisha berlutut mulai mencabut rumput liar yang memenuhi makam ibunya.
Eza pun iku berlutut, ikut melakukan hal yang sama seperti putrinya. "Papa juga heran, perasaan dulu Papa udah bayar orang untuk tiap hari membersihkan makam mama kamu." jawabnya.
"Tapi mana?! Lihat! Makam mama kotor gini, aku minta papa harus cari tukang yang membersihkan makam mama tiap hari!"
"Iya, sayang. Papa akan urus itu semua,"
Setelah sekitar 20 menit membersihkan, Falisha menghela napas kasar mengusap peluh di dahinya. Terik matahari pagi yang sudah mulai naik, membuat tubuhnya sudah seperti mandi keringat.
"Ini minum dulu, Falisha."
Falisha menerima air minum yang diberikan ayahnya. Ia segera meneguknya sambil menatap makan ibunya yang sudah bersih dan penuh taburan bunga.
Mata gadis itu terlihat kembali memerah, seperti menahan tangis. Sebab hati Falisha akan lemah ketika melihat makam ibunya yang meninggalkan dirinya dan juga Fathur di usia 12 tahun.
Kepergian Astrid--ibunya Falisha yang terbilang mendadak, tanpa menunjukkan tanda-tanda sedikitpun jika pertemuan terakhir hari itu sebelum Astrid dibawa ke rumah sakit adalah pertemuan terakhir.
Di mana ibunya Falisha meminta sebuah permohonan yang harus ditepati. Namun, ternyata berdampak malah membawa petaka untuk Fathur dan ayahnya.
"Beruntung papa mengajak aku untuk ziarah ke makam mama, kalo enggak. Gak tau gimana kondisi makam mama," ucap Falisha setelah berdoa.
"Setelah papa pikir, sudah lama kita tidak mengunjungi mama kamu. Andai jika Fathur tidak sakit, dia pun pasti sudah mau ikut," sahut Eza mengusap puncak kepala putrinya.
"Fathur sakit gara-gara pacar sialannya itu, pah. Mecca namanya, aku udah berusaha memisahkan mereka, tapi sampai sekarang semua usaha aku gagal." Eza termenung setelah mendengar ucapan Falisha.
Lalu perlahan Eza menyentuh bahu Falisha lembut dengan kedua tangannya untuk menatapnya.
"Falisha,"
"Iya, pah?"
"Bukannya papa tidak menyukai ucapan kamu, tapi menurut papa jangan ikut campur hubungan Fathur dengan pacarnya." Eza menjeda ucapannya sebentar, menatap mata sang putri yang terlihat ada amarah di dalamnya.
"Karena tidak semua Falisha harus berjalan sesuai kemauan kamu, Fathur juga punya kehidupannya sendiri dan kebahagiaannya adalah bersama Mecca. Jadi, papa minta jangan ikut campur ataupun mencoba memisahkan mereka," lanjut Eza berucap.
Namun, reaksi yang diberikan oleh Falisha sangatlah berbeda dari perkiraan yang Eza pikir putrinya akan mendengarkannya. Tetapi ternyata malah sebaliknya.
"Gak! Aku akan tetap memisahkan mereka karena cewek itu udah mengambil perhatian Fathur dari aku, pah!"