"Oh. Jadi, kalian ini pacaran?"
Perlahan wajah tertunduk, mulai terangkat menatap lawan bicara.
"I-iya, tante," jawab Fathur.
Mecca dan Fathur sudah berada di sebuah villa yang tak lain adalah milik tantenya Fathur. Kecanggungan tiba-tiba melanda, keringat dingin mengucur membasahi seluruh tubuh Fathur, bahkan keringat di dahinya sudah menetes.
Seorang wanita dengan dress berwarna lilac menyeringai menatap kedua remaja di hadapannya yang hanya menundukkan wajah mereka. Apa reaksi yang diberikan wanita itu setelah mendengar jawaban Fathur? Suasana terasa menegangkan karena belum mendapat sahutan.
"Ternyata keponakan tante udah dewasa."
Satu ucapan itu, sontak langsung membuat Fathur dan Mecca sama-sama mengangkat wajah mereka seperti sangat terkejut.
"Kalian kenapa?" tanya wanita itu.
"N-nggak papa, tan. Aku kira tante akan marah-marah dan menentang hubunganku dengan Mecca," jawab Fathur sambil menatap Mecca.
Wanita itu tertawa pelan. "Oh, ternyata nama pacar kamu Mecca namanya. Sangat cantik dan tante suka, gak mungkin dong tante menentang hubungan kalian."
"Lagipula, tante baru kali ini melihat kamu tertawa bahagia seperti tadi, setelah kepergian ma--" Fathur memotong ucapan tantenya.
"Tan!" Fathur menatap dengan tatapan memohon. "aku mohon jangan bicarakan itu lagi." lanjutnya.
Wanita itu pun mengangguk, sedangkan Mecca langsung penasaran. Apa yang ingin dikatakan tantenya Fathur.
"Oh, ya. Mecca," panggil wanita itu.
"Iya, tante?" sahut Mecca.
"Nama tante Aurora, kamu bisa panggil Tante Aura, ya,"
"B-baik, Tante Aura."
Perkenalkan yang cukup singkat, tetapi sangat berkesan untuk Fathur dan Mecca. Karena Fathur merasa, ia mendapat dukungan atas hubungannya dengan Mecca. Bukan hanya dari papanya, melainkan dari Tante Aura.
Pemandangan sunset di pantai, di mana hari yang ingin berganti menjadi gelap. Fathur dan Mecca akhirnya bisa melihatnya berdua.
"Ca," panggil Fathur.
"Iya?"
Fathur belum melanjutkan ucapannya, lelaki itu menatap dalam bola mata kecoklatan milik Mecca yang terlihat sangat cantik. Lekuk wajahnya yang tuhan ciptakan sebaik-baiknya, senyum yang begitu candu untuk berhenti menatap. Fathur merasa beruntung dan juga bersalah untuk semua hal yang terjadi dahulu.
Ia tak akan sanggup menyakiti perempuan yang sudah sepenuhnya mengambil hatinya, bahkan bagi Fathur pun. Nyawanya pun ia rela berikan untuk Mecca, gadis yang sangat ia cintai.
"Fathur." Panggilan Mecca, membuyarkan lamunannya dan mendadak Fathur salah tingkah.
"Ada apa?" tanya Mecca lagi.
"Gue hanya minta cintai gue terus, Ca. Gue rela mati untuk lo. Namun, gue juga minta lo ngertiin gue," ucap Fathur.
"Iya, Far. Gue akan berusaha ngertiin apapun kondisi lo, eh! Jangan juga ngomong soal mati," sahut Mecca.
"Gue rela melakukan apapun untuk lo, Ca,"
"Segitunya! Tapi boleh gue minta sesuatu?"
Fathur menaikkan alisnya, lalu ia menarik ulas senyum. "Apa?"
"Kita datang lagi nanti, ya, ke sini. Tepat di hari ulang tahun kita," ucap Mecca dengan sorot mata sendunya.
"Iya, sayang." Fathur beralih mengelus puncak kepala Mecca lembut.
"Janji?"
"Iya, sayang. Janji!"
Gelisah dengan jalan mondar-mandir di depan pintu, perasaan campur aduk. Ingin melakukan sesuatu, tetapi bingung apa.
Hari sudah malam, kepulangan sang adik, Mecca yang sudah di tunggu-tunggu oleh Reval dari sore tadi, tidak ada tanda-tanda sedikitpun. Lelaki itu ingin sekali melampiaskan kekesalannya, tetapi berusaha ditahan karena dampaknya dirinya bisa hilang kendali.
"Udah, tenang, Val. Gue yakin Mecca bentar lagi pulang," ucap Dimas berusaha menenangkan Reval.
Reval mengacak-acak rambutnya, kembali duduk di dekat Evan.
"Gimana bisa gue tenang, Mecca gak pernah pulang sampai malam gini. Kalau bunda tau, gue merasa bersalah karena udah lalai jagain Mecca," sahut Reval.
"Lo jangan merasa bersalah, Reval. Inikan Mecca sedang keluar bersama Fathur, pacarnya. Kalau bunda lo tau pun, gue rasa bakal ngerti," balas Evan.
Tin! Tin!
Tiba-tiba suara klakson mobil berbunyi memasuki pekarangan rumah, cepat-cepat Reval dan sahabat-sahabatnya mengecek apakah itu Mecca yang datang.
Namun, mata Reval langsung terbelalak hebat dikala melihat mobil yang sangat ia kenali dengan warna merah cerah sudah berhenti dan keluarlah dua orang dari dalam mobil itu.
"Sial! Kenapa tiba-tiba papa dan bunda udah pulang disaat Mecca gak ada gini," desis Reval.
Pintu didengar diketuk, dengan segera Reval membukanya, memberikan sambutan hangat senyumannya.
"Loh? Tumben kamu menyambut papa dan bunda pulang," ucap Hasan--ayahnya Reval.
Reval hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sembari tersenyum tipis. "Lagi mau aja, lagian aku sedang kumpul dengan Dimas dan Evan." sahutnya.
"Reval! Mecca mana? Apa adik kamu sedang di kamar?" tanya Reina.
Reval mendadak bungkam, pertanyaan yang Reval harap tak bundanya tanyakan, langsung diajukan padanya.
Apalagi ketika Reina mulai menaiki anak tangga menuju kamar Mecca, Reval dengan cepat menyusul.
"Bun! Meccanya lagi tidur, makanya gak keluar kamar. Diakan harus banyak istirahat," ucap Reval mengalihkan pembicaraan agar bundanya tidak jadi menuju kamar adiknya.
"Tapi bunda mau ngecek kondisi adik kamu, bunda merasa gak enak karena ninggalin dia di rumah sakit hari itu dan hanya kamu yang jagain," bantah Reina.
Saat sudah di depan pintu kamar Mecca, dan Reina sudah memegang gagang pintu untuk membukanya, saat itu juga terdengar kembali suara klakson mobil.
Tin! Tin!
Seperti orang kerasukan tiba-tiba, Reval secepat kilat turun ke bawah sampai Reina pun kebingungan apa yang terjadi dengan sang putranya.
Ternyata benar dugaan Reval jika yang datang adalah Mecca bersama dengan orang di samping adiknya, aura permusuhan kembali muncul dengan tatapan keduanya yang beradu.
"Loh? Bunda udah pulang," ucap Mecca terkejut bundanya sudah ada di rumah.
"Harusnya bunda yang nanya dari mana kamu? Baru pulang malam gini!" Reina menatap lelaki di samping putrinya.
"Kamu siapanya Mecca, temannya?" tanya Reina.
"Saya Fathur, pacarnya Mecca, tante," jawab Fathur dengan cepat.
Reina sedikit terkejut mendengar ucapan Fathur, tetapi dengan cepat ia hilangkan keterkejutannya dari wajahnya. Lalu kembali menatap Mecca yang hanya menundukkan wajahnya.
Aura ketegangan terasa, karena mendadak hening tak ada yang bersuara. Bahkan, Dimas dan Evan yang menjadi penonton, mendadak takut dengan suasana ini.
Hasan yang melihat Reina seperti tengah meredam emosi, menyentuh pundak sang istri lembut. Sedangkan Mecca dan Fathur, tangan mereka sudah saling menggenggam, menunjukkan bahwa mereka benar-benar memiliki hubungan.
Namun, ada seseorang yang terbakar api cemburu, melihat dua orang yang tangannya saling menggenggam. Hatinya sakit, tetapi pikirannya menyadarkannya bahwa dirinya tidak bisa berharap lebih untuk bisa seperti itu.
Menggapai sesuatu hal yang tidak ada kemungkinan bisa dimiliki, meraihnya saja begitu sulit karena ada sebuah ikatan yang tak bisa membuat dirinya dengan Mecca menyatu.
"Mecca! Bunda ingin bicara dengan kamu dan juga Fathur!"