Mecca berulangkali menatap dirinya di cermin, lalu mengacak-acak rambutnya frustasi. Rasanya ia benar-benar mau gila, baru tahu satu fakta tentang Fathur.
"Itu tadi hanya mimpi ajakan?" Mecca berulangkali menepuk-nepuk pipinya, lalu mencubitnya, ternyata sakit.
"Berarti bukan mimpi? Aduh! Tapi kenapa gue baru tau Fathur ternyata anak konglomerat!" jerit Mecca.
Lalu Mecca menatap beberapa pakaian yang Fathur sendiri memilihkan untuknya. Lelaki itu ternyata benar-benar tahu selera pakaian Mecca sukai seperti apa, sedangkan Mecca bahkan tak tahu apa selera pakaian Fathur sukai.
Setelah mencoba-coba, pilihan Mecca jatuh pada kemeja berwarna coklat dengan dalaman kaos putih polos dan rok selutut berwarna putih.
Mecca tersenyum menatap penampilan dirinya di cermin, luka lebam di wajahnya sudah berangsur pudar. Hanya saja di bagian kepalanya masih memakai perban karena luka di area itu cukup besar.
Di lain sisi, sudah ada lelaki dengan hoodie berwarna coklat tak lupa menggunakan masker, tetapi tak sedikitpun mengurangi ketampanannya.
Fathur sudah menunggu Mecca keluar dari ruang ganti, sedikit tak sabar melihat gadisnya akan secantik apa. Bahkan menunggu saja sudah membuat degupan jantung Fathur menggila, aneh, sungguh aneh.
"Tuan muda! Nona Mecca sudah siap, bagaimana tuan?"
Dengan cepat Fathur mengalihkan pandangannya dan reaksinya pun sangat terkejut.
"Hah! Ini beneran kamu, Ca." Fathur langsung mendekat, mencubit pipi Mecca.
"Iya, Far. Ngomongnya aja sampai lupa pake kamu," sahut Mecca sedikit salah tingkah, karena ia pun merasa grogi ditatap begitu dalam oleh Fathur.
"Karena terlalu cantik, sampai gue kelupaan. Tolong fotoin! Momen ini gak boleh diabadikan."
Fathur langsung merangkul Mecca, berpose dengan berbagai gaya layaknya pasangan kekasih. Sungguh, inilah hal yang selalu diharapkan Fathur, punya foto berdua dengan Mecca dan akhirnya terwujud.
Setelah dari mall, Fathur pergi mengajak Mecca dengan mobil. Tempat tujuan yang Fathur datangi sangat membuat Mecca terkejut, pasalnya hal yang ia lihat sekarang sangatlah tak pernah Mecca sangka.
"Lo serius ngajak gue ke sini?" tanya Mecca keluar dari mobil tanpa menunggu Fathur membukakan.
Terpaan angin menerpa wajah Mecca, suara hantaman ombak ke karang pun terdengar.
"Gue ingin menghabiskan waktu bersama lo, Ca. Setelah sekian lama, dalam satu waktu hanya bersama lo adalah impian gue," ucap Fathur menggenggam tangan Mecca mengajaknya masuk ke dalam.
Hampir menjelang sore, Fathur memutuskan mengajak Mecca makan terlebih dahulu, tak ingin gadisnya kelelahan.
"Makannya pelan-pelan, Ca," tegur Fathur tak menyangka Mecca sangat suka makan sampai belepotan seperti anak kecil.
"Iya-iya. Lo bakal nyesel karena ngajak gue makan, gue hobi makan, apalagi makanan seafood," sahut Mecca dengan mulutnya yang penuh.
"Buat apa nyesel, lo pesan semua makanan di pantai ini aja gue pasti beliin. Ingat! Pacarmu ini tuan muda," ucap Fathur dengan penuh bangga.
Mecca memutar matanya malas. "Sedikit menyesal gue pacaran sama anak orang kaya."
"Kenapa?" tanya Fathur mendadak panik.
"Yang kaya kadang diincar sama cewek-cewek matre dan tante-tante. Ogah! Gue pacaran sama cowok kek gitu," jelas Mecca dengan wajah santainya. Tanpa tahu jika ucapannya adalah menyinggung Fathur.
"Ya ampun, Ca. Gue gak bakal kek gitu, apa yang gue miliki ini ingin gue gunain untuk bahagiain lo, Ca."
Aktivitas makan Mecca terhenti, menatap lelaki yang tengah menatapnya. Seulas senyum hangat, ia berikan pada Fathur.
"Gue ngomong bercanda aja tadi dan makasih untuk kebahagiaan yang lo kasih, Far," ucap Mecca.
"Gue yang makasih karena lo masih bertahan untuk semua masalah yang menimpa hubungan kita. Semoga kita bisa melewati ini semua bersama-sama, Ca." Kedua tangan saling menggenggam erat, berharap hubungan keduanya setelah ini tidak lagi diuji oleh semesta.
***
Reval berulangkali mengecek jendela, berharap-harap adiknya sudah pulang, tetapi sudah hampir menjelang sore, tidak ada tanda-tanda Mecca pulang.
"Ke mana sih Fathur bawa adik gue!" gerutu Reval.
"Yang jelas gak mungkin bawa Mecca ke dalam bahaya, paling ngabisin waktu mereka berdua aja, Val. Tenang aja," sahut Dimas.
"Ckk! Tapi ini udah hampir malam, ke mana sih mereka pergi. Gue telpon Mecca juga gak di angkat." Reval mengacak-acak rambutnya frustasi.
Rasa khawatirnya tak bisa ia sembunyikan, mungkin terdengar berlebihan. Tetapi Reval tetap saja tak terlalu percaya adiknya bersama Fathur jika jauh dari pengawasannya.
Cemburu? Reval akui ia pun sedikit terbakar api cemburu Mecca bersama Fathur. Mau bagaimanapun Reval menepis perihal perasaannya yang lebih dari sekedar menyayangi Mecca sebagai adiknya, tetap saja ketika bersama dengan Mecca, Reval kadang melihat adiknya sebagai perempuan yang sangat ia cintai.
Untuk menghilangkan rasa khawatirnya, Reval memilih pergi ke dapur memasak makanan. Karena sedari pulang sekolah tadi, ia lupa makan gara-gara terlalu memikirkan Mecca.
Evan dan Dimas membuntuti dari belakang, saat melihat apa yang dilakukan Reval. Mereka menggelengkan kepalanya sama-sama sambil menatap.
"Miris banget Reval, khawatir malah masak," ucap Dimas hanya mengintip saja dari tembok bersama Evan.
"Emang aneh banget, lagian kenapa harus menaruh rasa pada adik tirinya sih. Kek gak ada cewek lain," sahut Evan.
"Namanya juga cinta, gak bisa di cancel kalau gak mau." Dimas menarik Evan untuk menghampiri Reval karena sudah selesai memasak.
Kedua lelaki itu mata mereka langsung berbinar, melihat hasil masakan sahabatnya yang ternyata sangat jago memasak.
Tanpa berbicara lagi, Evan dan Dimas langsung menerjang makanannya. Sedangkan Reval, makan namun seperti tak nafsu makan.
'Apa yang sedang lo lakukan, Ca bersama Fathur?' ucap batin Reval.
Matahari mulai tenggelam, suasana sunset di pantai benar-benar sangat memukau tiap mata yang sedang berada pesisir pantai.
Begitupun kedua remaja yang sangat menikmati momen ini, rasanya ingin sekali memberhentikan waktu jika mereka bisa. Karena untuk hal yang seperti sekarang, sangatlah sebuah keberuntungan.
Tidak ada pengganggu, begitupun tangis lagi. Hanya suara tawa bahagia dengan tangan saling menggenggam erat.
"Gue cinta sama lo, Ca."
Mecca tersenyum haru, membalas tatapan lelaki yang menggenggam tangannya.
Sunset di pantai ini menjadi saksi kedua insan yang semesta izinkan bahagia, begitupun dengan pasangan lain. Namun, apakah bisa bertahan sampai kapan? Bagi Fathur, pikirkan apa yang sekarang, jangan pikirkan tentang hal yang belum bisa diketahui.
"Gue juga cinta sama lo, Far." Mecca menggunakan tangan satunya menggenggam tangan Fathur.
"Dan lo lupa hari ini adalah anniversary kita yang ke satu bulan, tetapi hanya penuh luka," lanjutnya.
Tatapan Fathur langsung berubah sendu, rasa bersalah kembali teringat di pikirannya. Ia menatap Mecca dengan dalam.
"Apa kata maaf, belum bisa buat lo maafin gue, Ca?"
Mecca menghela napas kasar, mengalihkan pandangannya menatap lautan. Seharusnya hari ini ia bahagia karena bisa menghabiskan waktu berdua bersama Fathur, tetapi ternyata ia tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
Sampai panggilan seseorang yang menyebut nama Fathur, mengejutkan keduanya.
"Fathur!"