Chereads / Mecca (Luka yang Tiada Akhir) / Chapter 17 - Tuan Muda?

Chapter 17 - Tuan Muda?

"Separah ini lo berantem sama Fathur?" tanya Dimas tak habis pikir.

"Yang bener aja Reval, rebutan kalian itu Mecca! Adik lo sendiri!" timpal Evan.

Reval berdecak kesal, ia pun baru sekarang sadar apa yang telah ia lakukan.

"Udah! Itu nanti gue jelasin, sekarang kalian ikut gue!" ucap Reval melangkah keluar kelas lebih dulu menuju kelas 11 IPS-1.

Baru masuk di kawasan jurusan IPS, semuanya memekik kagum melihat kedatangan kaka kelas dari jurusan IPA yang sudah sangat terkenal di SMA Damarta.

Setibanya di kelas 11 IPS-1, Reval mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang ia ingin temui.

"Ada apa, kak? Ada seseorang yang di cari?" tanya seorang gadis yang sepertinya menjabat sebagai ketua kelas.

"Gue mencari Bianca dan Agnes!"

Baru di sebut namanya, dari kejauhan sudah terlihat dua orang yang langsung terkejut dengan wajah tertunduk.

"Itu, kak. Yang duduk di bangku pojok belakang itu, kasih aja kak pelajaran. Mereka cuma berani kalau ada Falisha aja!" teriak seorang cewek sambil menunjuk meja Bianca dan Agnes.

Dalam hitungan detik. Reval, Evan dan Dimas sudah mengepung Bianca dan Agnes agar tidak kabur.

"Kita apakan nih, Val. Kurcaci-kurcacinya Falisha?" tanya Evan dengan nada menakutkan.

"SEMUA YANG ADA DI KELAS INI KELUAR!" teriak Reval.

Dalam satu teriakan semuanya sudah berhamburan keluar. Keringat dingin mengucur deras bagai air kran di tubuh kedua gadis yang sangat ketakutan karena ketua mereka pun sedang tidak ada.

"Takut?" Dimas menggebrak meja dengan kuat.

"Wow! Bisa takut juga, kirain udah gak kenal apa itu namanya takut!" Evan mencengkram pergelangan tangan Bianca kuat, sampai gadis itu meringis menahan sakit.

"Au! Sakit, kak!" ringis Bianca.

Reval bersidekap dada, dengan wajahnya yang sudah penuh luka-luka, menambah Bianca dan Agnes semakin ketakutan karena berpikir mereka akan dihabisi oleh Reval.

"Sakit ini gak ada seberapanya dengan apa yang kalian lakukan terhadap Mecca! Kalian berdua akan tetap berada di sekolah ini, baik bangetkan gue?"

Reval pun menjambak rambut Agnes, sampai gadis itu berteriak histeris. Diikuti oleh Evan yang juga menjambak rambut Bianca tanpa ampun.

"Au! S-sakit, kak! Maafkan kami, kami akan minta maaf kepada Mecca dan sebenarnya kami pun diancam oleh Falisha agar mau membantunya menyakiti Mecca!" Agnes akhirnya membeberkan satu fakta itu.

Bahkan Bianca matanya sudah terbelalak, karena sama saja mereka akan mendapat masalah baru dari Falisha.

"Oh, jadi kalian mau di bilang adalah korban juga?" Reval berhenti menjambak rambut Agnes.

Evan pun ikut berhenti menarik rambut Bianca.

"Ingat ini!" Reval menarik dagu Agnes kasar agar membalas tatapannya.

Mata Agnes sudah berlinang air mata, cengkeraman di dagunya sangatlah kuat.

"Apa yang kalian udah lakukan, apalagi sampai melukai Mecca. Akan ada balasannya, cemkan itu!"

Reval mendorong tubuh Agnes sampai terbentur ke dinding, sampai tubuh gadis itu melemah dan kehilangan kesadarannya.

"AGNES!" teriak Bianca histeris menghampiri.

Reval, Evan dan Dimas melihat itu sedikitpun tidak ada belas kasihan. Apa yang mereka lakukan pun di tonton oleh semua anak-anak jurusan IPS yang juga sama, mendukung jika Reval memberi pelajaran terhadap Bianca dan Agnes.

"Ini masih awalan aja, karena setelah ini akan lebih sadis!" ucap Reval.

Bel pulang sekolah berbunyi, Mecca merapikan buku-bukunya, lalu di masukkan ke dalam tasnya yang berwarna biru tua dengan gantungan kelinci imut mini.

"Udah selesai, Ca?" tanya lelaki yang duduk di meja sebelahnya.

"Udah," jawab Mecca sudah memakai tasnya ke punggungnya.

Fathur pun beralih menggenggam tangan Mecca. "Lo pulangnya sama gue."

Mecca pun mengangguk setuju, setibanya di parkiran. Ternyata sudah ada Reval di sana bersama dengan Evan dan Dimas.

"Mecca pulang sama gue!" ucap Reval final.

Fathur menatap tajam. "Heh! Dia sama gue, berarti pulangnya pun sama gue!"

"Tapi Mecca berangkatnya sama gue tadi pagi!" balas Reval dengan nada tinggi.

"Wait! Wait!" Evan dan Dimas dengan cepat bergerak menjadi penengah karena suasana mendadak kembali panas.

Mecca pun kembali bingung, ada apa yang sebenarnya terjadi antara Reval dan Fathur. Tiap kali bertemu selalu saja beradu mulut.

"Kalian berdua sebenarnya kenapa sih? Tiap kali ketemu selalu aja gak akur dan seperti saling membenci." Mecca menatap kedua lelaki itu yang terdiam.

Namun, Evan dan Dimas yang malah menjawab secara bersamaan. "Mereka berantem karena lo, Ca."

"Apa?! Gue?" Mecca menunjuk dirinya sendiri.

Reval dan Fathur langsung panik, apalagi Reval yang sudah menatap tajam Evan dan Dimas.

"Gini aja, biar Mecca yang tentuin mau pulang sama siapa," ucap Fathur mengalihkan arah pembicaraan.

"Okey! Ca, lo mau pulang sama siapa?" tanya Reval.

Mecca semakin dibuat kebingungan, pertanyaan yang sebelumnya saja belum terjawab, ia malah disuruh menjawab pertanyaan lain.

"Jawab, Ca!" desak Reval dan Fathur.

"Gue pulang sama Fathur aja," jawab Mecca seraya memeluk lengan Fathur.

Fathur tersenyum penuh kemenangan, ia menyalakan motornya dan membantu memakaikan helm untuk Mecca.

"Babay pecundang!" ucap Fathur lalu menjalankan motornya.

Reval menggenggam erat kepalan tangannya, emosinya kembali terpancing.

"Ini semua salah kalian!" teriak Reval murka.

"Maaf, Reval. Kami tadi keceplosan," ucap Dimas merasa bersalah.

"Benar, Val. Kita gak bermaksud mau bongkar," timpal Evan.

"Ckk! Kalau ke bongkar aja tadi, abis kalian! Gue gak peduli kalian mau sahabat gue atau apa, ini menyangkut soal Mecca yang bisa semakin benci sama gue!"

Jalanan kota Jakarta yang sedang terik, ditambah hembusan angin menjadi saksi kedua pasangan yang akhirnya bisa berboncengan berdua tanpa takut ada yang mengganggu.

"Gue gak antar lo pulang dulu, ya?" Mecca mengerutkan keningnya.

"Kenapa?" tanya Mecca.

"Mau culik dulu." Mecca membelalakkan matanya dan refleks mencubit pinggang Fathur sampai motor yang dikendarainya sedikit oleng.

"Aduh, Ca! Kalau kita nabrak gimana?"

"Lagian, lo ngomongnya bikin takut aja," sahut Mecca.

"Emang salah, ya? Culik pacar sendiri?" tanya Fathur menatap Mecca dari kaca spion.

Semburat merah dan degupan jantung yang mendadak menggila tak bisa Mecca sembunyikan hanya gara-gara ucapan Fathur.

"Cie ... merah pipinya, salting juga akhirnya," goda Fathur dan malah menancap gas hingga membuat Mecca memeluk erat pinggang Fathur dengan menutup matanya.

"Far! Jangan ngebut, gue takut," jerit Mecca.

"Peluk aja, Ca sekuat mungkin. Gue beneran seneng banget di peluk sama lo," ucap Fathur membuat Mecca membuka matanya.

Cukup lama di perjalanan, Fathur memberhentikan motornya di sebuah mall. Ia membantu Mecca turun karena motornya yang tinggi, tak lupa pula melepaskan helmnya.

"Kita ngapain ke sini?" tanya Mecca.

Fathur tidak menjawab pertanyaan Mecca, lelaki itu menggenggam tangan gadisnya dan membawanya masuk ke dalam mall.

Mecca hanya bisa mengikuti langkah Fathur yang membawanya masuk ke dalam sebuah toko pakaian, tak lama datanglah seorang pelayan toko.

"Ada yang bisa saya bantu, tuan muda?"

Pertanyaan pelayan toko itu membuat mata Mecca terbelalak hebat.

"Tuan muda?