Chereads / Dua Pangeran Perkasa / Chapter 2 - Pelarian

Chapter 2 - Pelarian

"Biarkan putraku, ia tak akan mewarisi kerajaanmu Rudolf!" Wanita itu hanya bisa berteriak kencang di dalam hati. Tangannya terikat kuat oleh rantai besi. Mulutnya  bengkak karena tamparan  dan hukuman selanjutnya sudah pasti menunggunya.

"Pasung dia!" Suara Rudolf menggema meneriaki pengawal yang menahan tubuh wanita itu, dia adalah selir ketiga dari raja Rudolf, raja yang terkenal kebengisannya. Dia memerintahkan untuk memasung istrinya sendiri, Serva.

.

Tubuh Serva diseret memasuki ruangan bawah tanah. Kegelapan dan bau busuk menerobos penciumannya saat gerbang besi terbuka dihadapannya. Pengawal yang membawanya membuka kunci sebuah alat pasung yang terbuat dari besi. Derit besi alat pasung itu menyambut kedatangan Serva sebagai penghuni baru setelah sekian lama tak berpenghuni. Bau karat sangat tajam diruangan lembab dan gelap, membuat Serva ingin muntah.

.

Beberapa waktu yang lalu, Serva bertemu dengan salah seorang kerabatnya di tepi hutan. Sudah menjadi niatnya untuk bisa melarikan diri dari Rudolf. Dia sungguh tak sudi dengan jamahan Rudolf di tubuhnya lagi. Pada akhirnya ia bertekad, ia harus pergi dengan membawa putranya dan merupakan putra Rudolf, Yusavello.

Di tepi hutan yang lebat, Serva menanti sepupunya dengan cemas. Dia berharap bisa keluar dari kungkungan kerajaan iblis itu. Ia sudah tak tahan dengan aliran sesat yang harus ia patuhi, dan yang terpenting, ia tak sudi membiarkan putranya mewarisi kejahatan Rudolf. Terlebih lagi, dari seluruh istri Rudolf, hanya dirinya yang memiliki anak laki-laki. Rudolf hanya memiliki seorang putri dari istri pertamanya. Ketakutan sudah diambang batas, Yusav tidak boleh menjadi pewaris!

.

Senja mulai meliputi alam, Serva ketakutan karena dia hanya sendirian bersama seorang anak kecil berusia tujuh tahun. Tak terbayangkan jika kegelapan mulai menimpa hutan rimba itu. Namun tekadnya telah utuh, ia tak akan mundur karena ketakutan.

"Serva," seseorang berbisik dari arah pohon. "Lihatlah kebelakang, aku berada di atas pohon," suara itu terdengar berbisik seakan tak ingin terlihat orang lain.

Serva melihat ke atas, di sana sepupunya Edies sedang bersembunyi di rerimbunan.

"Apa yang terjadi?"

"Ada yang mengikutiku, sepertinya mereka curiga dengan kedatanganku."

"Lalu?"

"Sekarang biarkan Yusav bersamaku, aku tidak bisa lebih banyak menolongmu. Katakan kepada mereka bahwa kalian tersesat, dan engkau kehilangan Yusav."

Serva termenung sesaat, hingga telinganya mendengar lengkingan kuda tak jauh dari tempatnya.

"Jangan banyak berpikir. Aku akan mati jika engkau lamban!" Edies mendekati Serva, melihat Serva di keremangan dengan wajah ketakutan.

"Baiklah, bawalah Yusav bersamamu!"

Edies merengkuh bocah lelaki itu, membawanya melompati pepohonan besar. Dengan susah payah Edies menggerakkan tubuhnya, ditambah beban yang harus ia panggul di punggungnya. Dia seorang pria dengan tubuh yang kokoh.Ia seperti tupai yang memikul makanan di punggungnya.

.

"Apa yang kau lakukan!" 

Serva meradang, sebentar saja Edies terlambat, maka dia pasti akan tertangkap Komandan Pasukan Militer Rudolf, Lazarus. 

"A-apa maksudmu?"

"Aku melihatmu bersama Yusav, mana pangeran kami!" Lazarus mencari di sekeliling Serva dengan obor.

"Kami tersesat, untuk itulah aku takut untuk kembali sebelum menemukannya," Serva beralasan.

"Cari ke seluruh hutan ini! Seorang anak kecil tak mungkin bisa  berjalan jauh!" Lazarus memerintahkan pasukannya untuk mencari Yusav.

*

Kerajaan menjadi gempar karena mereka kehilangan putra mahkota.

"Katakan! Kau telah membunuh putraku? Atau kau telah melakukan pengkhianatan?" Rudolf mencekik leher Serva hingga dia tak bisa bernapas.

"Kau pikir kau akan mati dengan mudah setelah membuat putraku tak kembali? Kau melakukan kejahatan yang paling besar, SERVA!!" Mata nyalang Rudolf menghardiknya.

Air mata dan darah meliputi wajah Serva karena cakaran yang sempat ia terima disaat Rudolf mencekiknya kuat. Kuku itu sempat tertancap di lehernya.

Serva hanya menahan nyeri yang semakin menjadi. Pukulan Rudolf berkali-kali mendarat di tubuhnya, tapi ia samasekali tidak minta dikasihani.

'Meskipun aku mati, aku tidak akan membiarkanmu menodai putraku dengan kerajaan iblismu' Serva hanya membatin, ia akan menahan rasa sakit yang akan ia terima. Dengan mata yang diliputi kebencian ia hanya bisa menatap seorang raja yang juga menatapnya sinis.

"Biarkan putraku, ia tak akan mewarisi kerajaanmu Rudolf!" Wanita itu hanya bisa berteriak kencang di alam hati. Tangannya terikat kuat oleh rantai besi dan hukuman selanjutnya sudah pasti menunggunya.

"Pasung dia!" Rudolf meneriaki pengawalnya.

Hari-hari yang dilalui Serva adalah neraka. Akan tetapi hatinya hidup dengan harapan. Ia berharap, suatu saat nanti Yusavello akan datang menjemputnya dengan surai indah dan baju zirah dari negri kedamaian.

Sementara Serva tidak pernah tahu apa yang terjadi di hari itu, disaat Edies membawa pergi putranya.

Edies terlempar di bebatuan cadas,  kakinya mengelupas dan mengeluarkan darah. Dari arah Utara sebuah anak panah melesat tepat mengenai kakinya, syukurlah Edies sudah mencapai kuil setelah tergelincir bersama Yusav disebuah tebing.

"Edies, apa yang terjadi?" Seorang biksu yang sedang berlalu mengenalinya, mereka dalam keadaan yang menyedihkan. Bahkan Yusav, wajahnya lebam karena menghantam batu ketika berguling-guling dari ketinggian.

"Tuan biksu, bawalah anak ini ke desa segera. Dia adalah putra Serva, carilah pengasuh, dan jangan katakan kepada siapapun identitasnya," katanya sambil menahan nyeri yang teramat sangat.

Setelah mengatakan itu Edies terkulai. Dengan segera beberapa biksu mengangkat tubuh Edies dan membawanya ke kuil. 

Adapun biksu itu, membawa Yusav ke sebuah perkampungan, ia menemui Zurich seorang pandai besi yang handal dalam pembuatan senjata tajam. Selain itu, ia adalah pria tua yang sarat dengan kebajikan.

"Siapa anak ini?"

"Seseorang yang terluka menitipkan anak ini kepadaku. Ia ingin kau merawatnya sebagai murid, dia akan sangat berguna suatu saat nanti." 

Zurich menatap pada bocah dengan pakaian bangsawan, tentu saja ia segera tahu siapa yang berada dihadapannya.

"Kalian tidak sedang bercanda? Apa yang akan kulakukan dengan anak musuhku?"

Biksu itu tersenyum. "Dia akan menjadi senjata kita yang paling agung untuk melawan ayahnya," bisiknya kepada Zurich.

Meskipun ragu, Zurich menerima tawaran tersebut. Ia yakin, kekuatan itu pasti datang. Ilmu putih pasti akan menang dan berjaya.

Memang benar, memakai lawan sebagai kawan adalah cara yang tepat untuk membasmi kerajaan iblis.

"Baiklah, aku akan mengurusnya."

Zurich merawat bocah itu, tampaknya bocah yang disebut dengan nama Yusav itu dalam keadaan cedera di kepalanya. Dia bahkan tidak bisa mengingat siapa ibu dan ayahnya, dia mengalami amnesia.

Keadaan itu tidak disia-siakan Zurich, ia menjadikan Yusav hanya fokus terhadap pengajaran fisik dan nilai-nilai kebaikan. Yusav tumbuh menjadi pemuda yang kuat, pemberani dan juga pemuda yang baik setelah sekian waktu berlalu.