Chereads / Anaya dan Hujan / Chapter 2 - Anaya dan Hujan Bab 1

Chapter 2 - Anaya dan Hujan Bab 1

Rintik hujan membasahi jalan di area perkotaan. Terdapat sebuah halte bus yang diisi oleh seorang gadis. Sambil membaca buku dan memakai headphone ditelinganya, sesekali gadis itu melihat jalan, menunggu bus tujuan komplek rumahnya tiba.

"Anaya!" sahut seorang laki-laki. Seragamnya basah terguyur hujan yang semakin membesar. Anaya menoleh, lalu kembali pada bukunya.

"Kenapa belum pulang?" tanya laki-laki itu.

"Busnya belum datang." jawab Anaya singkat.

"Aku juga menunggu bus, sepertinya searah dengan rumah kamu." ujar laki-laki itu, tapi, Anaya tidak membalas satu kalimatpun.

"Anaya, boleh pinjam bukunya sebentar?" kata laki-laki itu. Anaya mencoba melihat mata laki-laki itu, lalu turun ke name tag yang berada di sakunya.

"Sebentar saja, Raka."

"Tahu darimana namaku?" tanya Raka, heran.

"Name Tag."jawab Anaya, Raka mengangguk.

Terjadi keheningan beberapa menit, sampai bus tiba. Anaya dan Raka memasuki bus dan duduk di bangku yang sama. Anaya sibuk dengan handphone, memilih lagu mana yang cocok dengan suasana seperti ini.

"Sepertinya, minum kopi atau susu hangat di kedai enak juga. Mau ikut Anaya?" kata Raka, mengajak Anaya pergi dan mengulur jam pulang sepertinya bukan hal yang mudah. Terlihat dari raut wajah Anaya yang khawatir dan terus melihat jam di lengannya.

"Emm jika tidak mau, no problem."

"Ayo, kebetulan Ayah dan ibu sedang tidak di rumah. Aku sendirian dan hanya ada bibi."

"Wah, ini kali pertama aku mendengar kalimat sepanjang itu, dari seorang Anaya." kata Raka, lalu dia mendekatkan wajahnya ke wajah Anaya.

"Boleh kita berteman?" tanya Raka, dengan wajah yang antusias.

"Jika kamu tidak keberatan dengan kekuranganku, silahkan. Jika kamu tidak keberatan dengan apa yang aku lihat, tidak masalah. Jika kamu tidak keberatan dengan semua yang akan terjadi dihidup kamu, hanya karena kamu dekat denganku. Silahkan saja."

"Aku tidak keberatan--,"

"Tapi, banyak yang membenci aku, arena aku aneh. Mereka bilang, aku sering berhalusinasi apa yang tidak pernah ada. Apa kamu yakin?"

"Contohnya seperti apa?"

"Di samping kamu ada nenek tua yang memperhatikan kita. Dia menyukaimu, katanya, kamu mirip dengan cucuknya."

"Di-dimana?"

"Tepat disamping kanan."

"Jangan menakutiku … ," ujar Raka dengan wajah yang ketakutan dan sedikit pucat.

"Sudah aku bilang, jangan mau berteman denganku."

"Kamu itu menenarik, biarkan saja orang lain mau berkata apa. Aku tertarik padamu," kata Raka, sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Laki-laki mesum!"

"Eh, bukan itu yang aku maksud. Kamu itu menarik, gaya fashion yang sederhana. Hanya Hoodie dan celana levis saja sudah keren. Kamu pendiam tidak seperti wanita lain yang terus mengejarku. Ada satu lagi, aku memang penakut, tapi aku menyukaimu semenjak aku mengenalmu."

"Penguntit."

"Bukan … ! Bisa dibilang aku stalker. Hanya orang-orang tertentu yang aku cari identitasnya."

"Itu namanya penguntit."

"Bisa lebih keren sedikit? Oh, ayolah aku bukan penguntit, apalagi menguntit anak-anak SMA."

Bruk!!

Satu hempasan tas milik Anaya, tepat mengenai wajah Raka. Straik!!

"Wow, amazing. Ini sakit, aku merasa kesakitan. Akhirnya selama dua bulan terkahir! Terima kasih, Anaya."

"Laki-laki aneh."

"Nah, kita sama-sama anehkan. Jadi, mari berteman." kata Raka sambil mengulurkan tangan pada Anaya. Anaya tersenyum dan membalas uluran tangan Raka.

Bus berhenti di halte yang berdekatan dengan kedai kopi, sekaligus tempat tongkrongan anak remaja lainnya. Kupluk hoodie yang Anaya kenakan, dipergunakan untuk menutup sebagian wajah dan rambutnya. Dia tidak ingirn terlihat oleh orang lain.

Raka meminta Anaya untuk duduk di meja nomor 9 dekat dengan AC dam router wifi. Kebetulan kedai lumayan sepi, jadi lumayan nyaman untuk Anaya yang tidak begitu suka dengan keramaian.

"Anaya, ini kopinya. Lepas saja holdie itu, sayang sekali rambut kamu bagus. Aku tidak bisa melihat jelas senyuman itu, " pinta Raka, lalu duduk dihadapan Anaya.

"Tidak mau."

"Ada apa, muncul jerawat? Itu manusiawi, laki-laki tampan seperti aku saja punya jerawat, nih lihat, " Raka memperlihatkan jerawat yang ada disudut keningnya. Tapi tidak berpengaruh apapun, Anaya tetap tidak mau membuka hoodienya.

"Kembalikan bukuku," kata Anaya. Alasan kenapa dia mau ikut Raka adalah; Raka yang masih asyik dengan buku milik Anaya, dan Anaya sendiri tidak tega untuk merampas. Lebih tepat, mengambil buku itu dan pergi meninggalkan Raka. Ada satu lagi, dia sedang malas pupang kerumah.

"Buka dulu kupluk hoodienya."

"Iya, sudahkan. Sekarang kembalikan," akhirnya buku itu kembali ditangan pemiliknya.

"Baiklah. Anaya, ceritakan pengalamanmu tentang pengelihatan itu."

"Apa yang ingin kamu ketahui? Apa kamu sengaja membawaku kesini, dan ingin menjadi temanku, agar identitas keluargaku terungkap. Agar media masa melihat, merekam dan menjadikannya keanehan yang tranding topic?" Anaya kesal. Dia tidak boleh membocorkan apapun tentang keluarganya, karena itu sangat memalukan. Bahkan Anaya sendiri ingin pergi, dia malu berada dikeluarga ini.

"Bukan, ya ampun dengarkan aku dulu, lihat ini," Raka memberikan arsip yang berisi biodata singkat Deluna Anaya Davia.

"Ini namaku, darimana kamu tahu? Apa kamu peneror yang waktu itu datang kerumahku?" tanya Anaya, dia semakin yakut dengan Raka, wajahnya pucat, dengan erat memeluk tas miliknya.

"Jangan takut Anaya, aku yang akan melindungi kamu. Akan aku jelaskan, begini awal mulanya … ," Raka merapihkan posisi duduknya agar terasa nyaman.

"Sekitar 2 tahun yang lalu aku mengikuti pendidikan di agensi rahasia, bisa disebut intel yang membantu polisi pusat melaksanakan tugasnya. Aku dilatih menjadi intel, dulu memang masih amatir, sekarang aku sudah naik pangkat.

Sudah beberapa kasus yang aku selesaikan, dan mereka menugaskan kasus kamu sebagai kasus terkahir," ucap Raka sedikit murung.

"Kenapa?" tanya Anaya.

"Setelah kasus ini selesai, aku dan kakak akan pindah ke korea, kami menetap disana. Tadinya kasus ini mau ditolak, tapi saat melihat profil gadis cantik, aku jadi tertarik hehe?"jawab Raka.

"Sudah mesum, tukang gombal lagi, dasar buaya--"

"Buaya tampan--"

"Buaya darat!" cecar Anaya.

"Iya sudah, jadi begitulah ceritanya. Maaf, apa boleh aku mengikuti, dalam arti melindungi kamu? Ini perintah dari atasan agar aku bisa cepat pulang."

"Apa yang akan kamu selidiki dari kasus ini, siapa yang kamu curigai?" tanya Anaya ragu."

"Ada tapi masih simpang siur. Ayolah cantik, aku mau menerima apapun yang terjadi," ucap Raka memohon.

"Baiklah jika kamu memaksa," jawab Anaya sambil menyeruput kopinya.

"Deal, apapun yang kamu mau, aku yang traktir, anggap saja simulasi calon suami kamu," ucap Raka lalu mengambil kaca dan menyisir rambut.

"Aku masih sekolah," cecar Anaya.

"Aku sudah tidak sekolah. Saat ini aku sedang menunggu kelulusan seorang gadis bernama Deluna Anaya Davia," kata Raka polos.

"Sudah cukup, ayo pulang," ucap Anaya sambil menarik lengan Raka.

Bersambung.