Di sebuah lorong, yang berada di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Tiba-tiba terjadi hingar bingar. Terdengar tangisan beberapa orang yang berjalan dengan cepat mengikuti bed pasien.
"Ibra ... Ibra!" teriak seorang lelaki seumuran dengannya. Napasnya terdengar memburu, dengan terengah-engah. Lelaki muda berkulit hitam manis itu, menarik tangan Ibra dengan paksa. Hampir saja membuat buku catatan yang berada di tangannya terjatuh.
"Adam! Apa-apa kau ini?!"
"Kau harus segera ke ruang UGD sekarang juga!"
"Lah, memangnya ada apa Adam?"
"Ayo, kau ikut dengan aku sekarang juga! Memangnya kau tidak dengar, banyak orang yang menangis tadi?"
Ibra yang sedang menikmati teh manis hangat di ruang karyawan, hanya menggelengkan kepalanya. Membuat Adam menjadi kesal.
"Kamu mau materi praktek yang spektakuler enggak?"
"Ughtt!" Ibra tersedak. Tumpahan teh manis membasahi bibir, leher dan juga pakaian dinas Dokter magang yang dikenakannya. "Bisa, enggak pakai ngagetin seperti itu, Dam?" protes Ibra kepada sahabatnya.
"Katanya mau pengalaman baru?" sentak Adam mulai kesal.
"Iya, mau lah."
"Ya, udah ikut aku sekarang."
Setelah menghabiskan teh manis dan meletakkannya di atas meja pantry. Ibra segera pergi mengikuti langkah Adam yang mendahuluinya.
"Memangnya kita ini mau ke mana sih??"
"Sudahlah, ikut aja. Nggak usah cerewet, lihat kan banyak orang yang sudah berkumpul di ruang UGD."
Ibra akhirnya memilih untuk diam, dengan langkah kaki yang terus mengikuti Adam. Hingga mereka berdua tiba di ruang UGD.
"Ngapain, kita ke sini?"
"Udah, kebanyakan tanya kamu. Lihat saja apa yang ada di depan itu."
Langkah lebar mereka mencoba mendahului beberapa keluarga pasien yang datang bersamaan. Mereka menyibak pintu masuk UGD, yang sudah dikerubungi keluarga pasien. Lalu masuk ke dalamnya.
"Ada apa ini?" bisik Ibra memandang aneh.
"Kau siapkan saja HP kamu. Ini bisa menjadi materi baru buat kamu. Di dalam menangani pasien yang mencoba untuk bunuh diri dengan menggunakan pisau carter. Mumpung yang menangani Dokter Rosi. Dia kan merupakan Dokter senior yang tampak tertarik denganmu. Jadi pasti tidak akan menjadi masalah, hehee!"
Mendengar kata-kata yang keluar dari Adam, membuat Ibra menggelengkan kepalanya sambil mengernyitkan dahinya. Rasa penasaran membuat Ibra nekad, melihat tindakan yang dilakukan oleh Dokter Rosi. Dalam menangani pasien dari balik jendela kaca.
Percakapan Ibra dan Adam kembali terhenti. Dalam pandangan mereka kali ini, mereka disuguhkan oleh pemandangan yang membuat hati berdebar. Merasakan ngeri dan kesedihan yang menyatu dan membaur.
Ibra pun memberanikan diri melangkah maju beberapa langkah. Membuka sedikit pintu kaca yang menjadi pembatas.
"Dokter Ibra! Jangan dekat-dekat!" seru Dokter Rosi mengingatkan.
Ibra hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tebar pesona. Dia mulai memperhatikan sosok perempuan yang tergeletak di atas bed pasien, dengan wajah yang pucat pasi karena kehabisan darah.
Secara mengejutkan, tiba-tiba tepukan keras bersarang di pundaknya.
"Permisi, Pak Dokter!"
"Oh, iya."
Seorang lelaki berseragam telah berdiri di sebelah Ibra. Sepertinya dari pihak kepolisian.
"Apa ... dia bunuh diri, Pak Polisi?" bisik Ibra, dengan tatapan mata yang tak lepas sedikit pun.
"Iya, benar Dokter!"
"Sejak berapa lama dia baru diketahui, setelah menggores tangannya?"
"Katanya sih, mulai tengah hari tadi."
"Ohhh, berarti sekitar delapan jam dari sekarang lah ya, Pak. Ini sudah jam delapan malam."
"Iya, Pak Dokter. Mana anaknya cantik lagi. Hanya saja, sepertinya dia sedang hamil."
Kalimat itu membuat Ibra kembali memperhatikan bagian perut perempuan tersebut.
"Ternyata benar yang dibilang Pak Polisi," gumam Ibra.
"Apa yang bener?" sahut Adam yang sudah berdiri di belakangnya.
"Perempuan itu ternyata hamil."
Adam pun ikut memperhatikan. Lalu mengagumkan kepalanya pelan, seolah membenarkan apa yang baru saja dikatakan Ibra.
"Mungkin cowoknya enggak mau bertanggung jawab kali."
"Bener juga."
"Ga usah fokus sama hal itu Ibra. Lebih baik, kau perhatikan tindakan yang diambil Dokter Rosi. Agar kau lebih paham dan terampil!"
"Iya, aku juga tahu. Udah, enggak usah lama-lama. Ga enak sama Dokter Rosi, nanti dikiranya aku pengen dekat terus lagi sama dia."
Keduanya pun meninggalkan ruang UGD.
"Menarik enggak buat sebuah materi praktek yang real?"
"Sangat menarik, Adam. Apalagi peristiwa seperti ini, sangat jarang terjadi. Sebuah tindakan medis yang cepat dan sigap, harus segera dilakukan tidak boleh salah. Karena, nyawa pasien taruhannya."
"Apakah menurutmu, perempuan tadi bisa diselamatkan, Ibra?"
"Sepertinya tidak, sebab tadi detak jantung sangat lemah sekali. Darah yang keluar pun sudah sangat banyak."
"Aku mau pulang Adam, malam hari ini aku tidak lembur!"
"Ya, udah sono pulang! Lagi ngapain lama-lama di rumah sakit!" sahut Adam menggoda, sambil terkekeh.
Mereka berjalan santai menuju ke ruang karyawan, yang berada paling ujung lorong rumah sakit ini. Memang ruang karyawan ini cukup jauh. Sekitar berjarak sepuluh meter dari ruang UGD.
Keringat membasahi wajah keduanya. Buru-buru Ibra masuk ke ruang karyawan. Segera dia membuka kulkas dan meneguk sebotol air dingin.
"Aku juga mau!" seru Adam yang juga kehausan.
"Nih!"
Ibra langsung memberikan kepada Adam. Betapa terkejutnya, saat Adam memperhatikan botol yang penuh warna merah. Segera dia melepaskan tangannya. Mengangkat yang sebelah.
"A-ada apa?" tanya Ibra heran.
"Co-coba kau lihat tangan kamu, Ibra!"
"Tangan aku?"
"I-iya."
Seketika itu Ibra membalik telapak tangannya. Tak terlihat apa pun. Lalu dia mengangkat kedua tangan dan diarahkan pada Adam.
"Enggak ada apa-apa. Emang kamu lihat apa sih?"
"Darah!"
Deg!
Sontak satu kata itu membuat Ibra sedikit merasa aneh.
"Tangan aku enggak ada luka, enggak mungkinlah ada darah!"
"Lihat saja!"
Adam menunjukkan botol minuman pada Iwan. Apa yang dikatakan oleh Adam benar adanya. Dia pun mencium bau dari cairan berwarna merah segar.
"Amis, Adam. Anyir juga!"
Keduanya saling berpandangan. Tanpa sengaja, Ibra melepaskan botol itu dan berlari menuju kamar mandi. Dengan cepat dia segera membasuh kedua tangannya.
Sedangkan Ibra yang masih termangu. Kelihatan bingung. Dia merasa tidak ada luka di telapak tangan, atau sengaja sedang bermain-main.
"Ibra, ini tuh aneh banget. Sangat tidak mungkin kalau sampai ada darah di botol."
"Sudahlah, Adam! Aku laper, mau makan malam dulu. Setelah ini aku narik ojek online."
Ibra segera berjalan menuju ke meja makan, yang memang berada di ruang karyawan tersebut. Lalu, dia taruh HP miliknya di atas meja.
"Wahhh, tumben bawa makanan?" tanya Adam yang langsung mendahului untuk duduk.
"Sengaja tadi adikku Melati aku suruh masak, jadi lebih hemat. Kau tahu sendiri, bagaimana perekonomian keluarga aku saat ini. Apalagi semenjak Papa aku meninggal, ternyata biaya kehidupan itu besar sekali, Bro!"
"Iya, kau benar, Ibra. Aku mengerti."
"Di tambah lagi, aku kuliah di kedokteran. Makanya, adikku Melati untuk sementara ini. Sampai berhenti kuliah, dan bekerja di toko swalayan. Sedangkan aku, untung saja mendapatkan beasiswa sejak awal. Tetapi walau demikian, masih banyak pengeluaran yang tidak tercover. Makanya harus cari kerja tambahan."
Mendengar curahan hati Ibra sahabatnya. Adam hanya tersenyum penuh pengertian. Sambil melihat isi HP milik Ibra, yang tergeletak di atas meja makan.
"Ibra! Lihat foto ini!" teriak Adam tiba-tiba. Mendengar teriakan Adam yang melengking. Membuat Ibra segera beranjak dan hampir melompat.
"A-ada apa?"
"Ka-kamu lihat ini!"