Malam semakin larut, seorang perempuan cantik dengan rambut hitam bergelombangnya yang kini sudah terikat rapi berdiri di depan jendela kamar Istana nya. Netra tajamnya mengamati sekitar, memperhatikan satu persatu penjaga yang berjaga di sekitar Istana.
Matanya terus mengamati satu-persatu penjaga, kemudian terkunci pada gerbang bagian barat yang letaknya cukup jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Dia sedang menunggu pergantian penjaga agar bisa keluar dari kamarnya tanpa menimbulkan sebuah kehebohan. Pakaian sederhana sudah melekat di tubuhnya. Dengan atasan kain berwarna hitam dan celana berwarna senada yang terbuat dari katun sehingga membuatnya dapat bergerak dengan ringan.
Sebuah cadar terpasang di wajahnya, melindungi wajahnya yang bisa membuat identitasnya terkuak.
Hanya mata tajam tanpa riasan apapun yang terlihat.
Waktu sudah berlalu, tepat saat bulan sudah berada di titik tertingginya, para penjaga kini mulai berlalu. Perempuan itu hanya memiliki waktu kurang lebih sepuluh menit untuk keluar dari ruang pribadinya.
Tepat sewaktu para penjaga berlalu, Si Pemilik Mata Tajam tersebut segera keluar dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Dia merayap di dinding Istana dengan cepat. Tangannya mencengkram kuat batu dinding Istana yang timbul. Sekitar setengah meter dirinya merayap, hingga akhirnya melompat dengan cepat.
"Hosh! Aku mengorbankan kuku ku lagi." Gumamnya.
Sewaktu perempuan cantik itu hendak melanjutkan langkahnya, seseorang tiba-tiba menarik dirinya, membuat perempuan itu menarik tangannya dengan cepat, memelintirnya dan nyaris mematahkannya.
"Hust! Ini Zemax!" bisik Zemax, pria yang tadi menarik tubuhnya secara tiba-tiba.
"Zemax? Aku menyuruhmu untuk menunggu di gerbang bagian barat." Desis Ratu Antheia, perempuan tersebut.
"Gerbang barat tiba-tiba dibuka. Para penjaga sedang ada di sana untuk menyambut kedatangan Yang Mulia Ibunda Loren dan Putri Serria." Jelas Zemax, membuat Ratu Antheia menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu kita keluar melalui gerbang bagian timur." Ujarnya.
Zemax mengangguk pelan. Keduanya segera mengendap-endap menuju gerbang bagian timur yang jaraknya memang cukup jauh. Jalan yang mereka pilih adalah kebun bagian belakang Istana yang jarang terdapat penjaga.
Sewaktu keduanya tengah melangkah, tiba-tiba saja sebuah pohon nyaris tumbang hingga hampir menindih tubuh Sang Ratu. Zemax yang melihat itu langsung berteriak sembari mencoba menahannya. "Ratu Antheia, awas!" teriak Zemax tanpa sadar.
Antheia membelalak. Dia panik karena tahu bahwa penjaga akan segera mendengar teriakan Zemax. Dengan segera, Sang Ratu ikut membantu Zemax untuk menyingkirkan pohon tersebut, kemudian menarik Zemax untuk berlari.
"Sudah kubilang aku adalah Valloma saat bersamamu, Zemax!" desis Ratu Antheia sembari berlari di sisi Zemax.
Zemax kini menyadari kesalahannya. Pertama, karena dia ceroboh dan kedua, karena dia dia berteriak memanggil Sang Ratu. Para penjaga pasti akan segera menghampiri, berpikir bahwa ratu mereka sedang terancam.
"Astaga, para penjaga benar-benar sangat banyak." Geram Antheia saat mendengar langkah kaki yang terdengar berhamburan di belakang sana. Telinga dan penglihatan Antheia memang berada atas batas wajar. Kemampuan itu dirinya dapatkan dengan berlatih bertahun-tahun.
Zemax segera mencoba berpikir jernih. Dia menghentikan langkahnya, menarik tubuh Antheia hingga ikut terhenti. "Anda keluar terlebih dahulu. Lumpuhkan penjaga yang ada di gerbang timur, masalah para penjaga di belakang sana, biar aku yang mengurusnya." Kata Zemax.
"Kau tidak sedang mengenakan pakaian tugasmu, Zemax. Kau bisa dianggap pengkhianat jika mereka melihatmu! Terlebih ini kawasan yang tidak bisa dimasuki saat malam hari. Mereka pasti akan berpikir kau menyelinap!" kesal Antheia.
"Biar aku yang menghadang merek—"
"Dengan pakaian seperti itu? Kau sama saja membuka penyamaranmu, Valloma. Kita tidak tahu apakah para penjaga berpihak padamu atau pada tikus-tikus pengkhianat di Istana yang berniat melengserkan. Mereka akan menggunakan hal ini untuk semakin memperburuk nama baikmu. Selain itu, yang mereka dengar tadi adalah teriakan seorang laki-laki, Valloma." Potong Zemax, membuat Antheia menegang. Semua yang Zemax katakan benar.
Zemax kini tersenyum tipis. Tatapan mata tajamnya menyorot hangat pada Antheia, seolah meyakinkan. "Percaya padaku, Valloma." Katanya, membuat Antheia Valloma menyerah.
"Temui aku di perbatasan desa. Aku akan ada di sana. Kau harus datang, Zemax… ini perintah!"
***
***
Wajahnya terlihat pucat pasi. Perempuan cantik dengan nama lengkapnya Antheia Valloma tersebut tengah mengkhawatirkan rekannya. Jari-jari tangannya saling meremas satu sama lain, mencoba menepis pikiran negatif dalam dirinya.
Di sebuah perbatasan desa yang terletak di dekat danau, Antheia Valloma yang notabenenya merupakan seorang Ratu Kerajaan Nartley sedang menunggu seseorang.
Antheia adalah nama yang biasa dirinya gunakan sewaktu menjadi seorang Ratu baik hati yang sialnya bukan merupakan kepribadian aslinya.
Karena dirinya yang asli adalah sebagai Valloma. Perempuan tangguh yang menyukai sebuah peperangan. Sudah banyak peperangan yang dirinya ikuti. Tentu saja tanpa sepengetahuan sang ayah karena Antheia selalu menyamar.
Dengan berpegangan pada Zemax yang selalu membantu penyamarannya untuk menjalankan kehidupan yang dia inginkan, Antheia mulai terjun ke dunia perang tanpa rasa takut.
Bahkan, beberapa ksatria kerajaan sempat memuji kemampuan Antheia saat dirinya bertindak sebagai Valloma. Dia sangat gesit dalam bertarung dan tidak memiliki belas kasihan sedikitpun.
Sewaktu Antheia tengah menunggu, dia mendengar derap langkah seseorang. Itu bukan langkah kaki Zemax. Antheia sangat mengenal Zemax, bahkan hingga derap langkahnya yang sangat tenang hingga tak pernah terdengar ke telinga tajamnya yang sudah terasah dengan baik.
Ada seseorang yang sedang berusaha mendekat, Antheia tahu itu. Dia segera memutar tubuhnya, bertepatan dengan berdirinya seseorang di belakang sana.
"Cassian?" di depan sana, berdiri seorang pria dengan bekas luka di rahangnya.
Luka yang menjadi saksi atas penyelamatan Antheia beberapa tahun yang lalu.
"Zemax sedang menuju ke sini. Dia baik-baik saja, Valloma." Cassian, pria yang kini menjabat sebagai kesatria tingkat pertama, yaitu tingkatan tertinggi dari para kesatria lainnya.
Usia Cassian yang lebih tua lima tahun dari Sang Ratu membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan Zemax. Dia tidak sungkan-sungkan memanggil Sang Ratu dengan sebutan Valloma.
"Baiklah kalau begitu, aku bisa lebih lega sekarang." Kata Antheia sembari menghela nafas lega.
Antheia kini kembali mendengar suara derap langkah banyak orang, membuat keningnya berkerut. Mata tajamnya mulai mengedar, hingga akhirnya menemukan sekumpulan orang yang kebetulan menjadi targetnya malam ini.
"Cassian, aku menemukan target kita mala mini." Katanya, membuat Cassian tersenyum senang. "Dimana?" tanya Cassian.
"Ada di belakangmu, sedang mengarahkan panahnya ke arah kita." Jawab Antheia.
Cassian secara otomatis segera membalik tubuhnya. Dan benar saja, sebuah panah kini terbang ke arahnya, nyaris menusuk kepala Cassian jika saja Antheia tidak segera menangkapnya.
Pria paruh baya yang tadi melepaskan anak panahnya terperangah. Rasa kagetnya kini bertambah sewaktu menyadari sesuatu.
Seorang perempuan bercadar dan pria dengan bekas luka di rahangnya. Seharusnya, ada satu lagi pria dengan tato bergambar akar di lehernya.
"M-mereka… Hell Blood. Sekumpulan pembunuh bayaran yang sedang dicari oleh Ratu…"