Sambil berdiri, dia tertatih-tatih ke kamar mandi dan melepas celana jinsnya, mengernyit ketika sesuatu tersangkut. Dia mengeluarkan sepotong dari apa yang terasa seperti kaca dan duduk di tutup toilet untuk memegang segumpal kertas toilet ke lututnya. Dia membiarkan amarahnya menguasai dirinya, tetapi itu masih berdetak di hatinya dan dia tidak tahu bagaimana menghentikannya.
Dia tidak pernah merasa begitu tak berdaya sepanjang hidupnya, dan dia tidak tahu bagaimana dia akan terbiasa dengan kenyataan barunya. Dia selalu mandiri, selalu menjaga dirinya sendiri. Bahkan sebagai seorang anak di rumah, dia menyendiri—orang tuanya tidak pernah bersikap demonstratif. Mereka masing-masing terjebak dalam karier mereka, dan dia selalu merasa seperti renungan bagi mereka.