Gunung Singgalang menjulang di kejauhan, puncaknya diselimuti awan. Matahari remang-remang. Angin dingin berembus kencang namun sejuk. Di atas kubah Masjid Bulan Bintang yang mengerucut berkilauan, sepasang burung kenari menari berkejaran. Mereka hinggap di atap masjid bagian selatan, lalu bercericit dan berkicau melengking. Kicauan itu menggema seumpama kumandang adzan. Ya adzan dalam bahasa mereka, bahasa burung-burung.
Siang itu kawasan Pesantren Terpadu tampak sepi, tidak seramai hari libur atau ketika ada pengajian akbar. Hanya ada enam mobil di halaman masjid, dan sembilan sepeda motor. Tak ada penjual mainan anak-anak atau penjual makanan dan minuman, hanya ada seorang gadis remaja yang duduk di tangga masuk serambi masjid.
Gadis itu memakai jaket hitam kebiru-biruan, bercelana panjang kehitaman. Ia menutupi kepalanya dengan kupluk hitam. Rambutnya tergerai begitu saja sampai menutupi pundaknya. Wajahnya tirus. Kedua matanya memandang jauh ke depan, ke awan yang berarakan, berkumpul dan perlahan menjadi mendung. Tangan kanannya memegang bibir kantong plastik kecil berisi tiga botol air mineral dan beberapa biji tahu goreng.
Gadis itu meraba jalan kehidupannya yang ada di hadapan. Dalam pandangannya, jalan itu terasa gelap karena mendung semakin pekat. Ia ingin tersenyum bahkan tertawa seriang-riangnya untuk mengusir kegalauan jiwanya yang begitu menyiksa, tapi bagaimana ia bisa tertawa riang, sementara batinnya terus didera kecemasan?
Semilir angin yang brgitu dingin menerpa wajahnya. Kabut tipis pun mulai turun. Ia lalu beranjak memandangi dagangannya. Enam jam hanya laku satu botol air mineral. Dan tahu goreng itu, jika tidak terjual maka akan jadi pengganjal perutnya nanti malam, seperti hari kemarin. Sebagiannya akan ia bagikan pada tetangga-tetangganya di kiri dan di kanan. Ia tidak tahu kalau tahu goreng pemberiannya itu akan mereka makan atau tidak, karena saat itu tahu gorengnya telah layu dan dingin.
Gadis itu menghela napas panjang. Tangan kanannya meraih sebuah koran usang yang barusan ia pungut di dekat pintu stadion, tak jauh dari situ. Itu adalah koran hari Rabu, enam hari yang lalu. Pada halaman pertama ia membaca sebuah judul besar, "Tragedi Orang Bunian". Di sebelahnya, di pojok atas, ia membaca, "Darurat Kekerasan Perempuan." Di pojok bawah, ada kolom kecil, "Cinta dan Persahabatan". Lalu ia membuka halaman kedua, "Singgalang Memilih". Ada beberapa orang yang telah disahkan menjadi peserta pemilihan umum, lengkap dengan nomor urutnya. Semuanya dua belas orang. Lalu ada berita tentang mahasiswa yang berdemo menolak "Singgalang Zona Merah'.
Ia begitu penasaran, apa maksudnya?
la baca lagi dengan saksama bahwa sebuah pergerakan mahasiswa menolak Singgalang sebagai zona merah politik praktis transaksional dalam pemilihan RW. Mereka menggelar aksi penolakan dengan cara long march dari Ramayana hingga perdalaman, Singgalang. Aksi itu sebagai bentuk kepedulian dalam menyikapi pernyataan Bawaslu pusat yang menyebutkan Singgalang sebagai zona merah.
Ia yang hanya lulusan Sekilah Menengeh Pertama tidak tahu persis maksud dari zona merah politik praktik transaksional', dan alasan protes para mahasiswa. Tiba-tiba ia berpikir, apakah masih ada kesempatan ia lanjut belajar sampai menginjak bangku kuliah, jadi seorang mahasiswa? Alangkah harumnya bila ia bisa menjadi mahasiswa. Tapi itu mungkin hanya mimpi dan angan-angan belaka, karena untuk keluar dari pekatnya mendung yang menyelimutinya ia belum tahu persis jalannya. Matahari seperti pergi entah ke mana.
la lalu membuka lembaran berikutnya dan kembali membaca koran usang itu. "Sebuah senjata Kimia Mulai Diangkut dari Suriah". Ia tidak begitu suka berita perang, tidak suka dengan berita kejahatan. Lalu Ia cari judul yang lain. Di rubrik Humaniona ia mendapat berita bahwa tak kurang dari 8 juta warga di negara Amerika Serikat diselamatkan dari kematian oleh peringatan bahaya rokok. Ia sendiri berpikir, merokok adalah perbuatan yang sia-sia dan sangat konyol. Apa enak dan manfaatnya menghisap asap. Ditambah lagi, merokok itu membahayakan kesehatan manusia. Lebih baik, membeli tahu goreng daripada rokok. Kalau para perokok itu beralih membeli tahu goreng, maka penjual tahu goreng seperti dirinya akan dapat rezeki yang banyak.
Sebuah mobil avanza datang dan parkir di halaman masjid. Ia bangkit dan langsung bergegas mendekati mobil itu. Dari dalam mobil seorang lelaki setengah baya memakai seragam kotak-kotak keluar, lalu gadis itu menawarkan dagangannya.
"Mau beli air mineral, Pak?"
"Tidak, Dik, saya baru saja habis minum. Terima kasih."
"Kalau tahu gorengnya, Pak?"
"Ini saya juga masih kenyang, baru saja selesai makan. Terima kasih."
"Mungkin untuk oleh-oleh anak di rumah juga bisa, Pak?"
"Maaf Dik, tidak dulu ya. Kebetulan di rumah saya masih ada tahu, kalau mau hanya tinggal digoreng. Maaf ya. Saya tergesa mau shalat dulu, waktu Zhuhur sudah mau habis."
"Oh iya Pak, maaf pak kalau saya dudah mengganggu."
Lelaki itu lalu bergegas masuk ke dalam masjid. Sang penjual tahu goreng kembali menghela napas, lagi-lagi ia harus menghadapi penolakan. Gadis itu kembali duduk di tangga masjid, kembali lagi membaca koran. Ada berita tentang seorang bapak tua yang mencuri jagung hanya untuk membayar hutang. bapak tua miskin itu ditangkap oleh pemilik jagung karena ia terjatuh, karena tidak kuat membawa karung berisi 35 kilogram jagung yang ia curi. Dalam hati gadis itu berdoa kepada Tuhan. Ia minta dijauhkan dari perbuatan tercela seperti mencuri dan sejenisnya. Walaupun ia kini juga miskin, ia berharap kuat iman dan tidak memakan harta orang lain dengan cara yang haram.
Lalu la bolak-balik lagi koran usang itu. Tiba-tiba kedua bola matanya berbinar ketika membaca rubrik inspirasi yang berjudul, "Tak Ingin Hanya Menjadi Dokter Biasa". Terlihat gambar besar sosok seorang dokter muda yang mengrnakan jilbab berwarna putih. Ia baca kata per kata. Terasa bahagia dan bangga sekali rasanya, mengetahui bahwa ada seorang perempuan Singgalang yang hebat seperti dokter berjilbab itu. Artikel itu memuat berbagai prestasi sang dokter saat masih duduk di bangku kuliah, salah satunya yakni menjadi satu di antara 17 mahasiswi kedokteran dari seluruh Indonesia untuk berangkat ke New York menghadiri Pertemuan Mahasiswa Kedokteran di seluruh Dunia, yang terlebih dulu disaring dengan seleksi ketat.
Ia menangis, ia merasa bahwa sosok itu sangat beruntung. Bisa menjadi seorang mahasiswa. Kuliah di Fakultas Kedokteran di universitas terkemuka di Singgalang. Berprestasi. Bisa mewakili Indonesia di forum dunia. Sedangkan dirinya? Ia harus berhenti sekolah, demi keluarganya. Ia sebenarnya sangat merasa sedih, tapi ia mencoba mengikhlaskan semuanya. Biarlah Allah yang menentukan jalan hidupnya.
Ya, ia hanya pasrah kepada Allah, namun ia juga harus tetap berusaha. Salah satu usahanya adalah mengirim kabar kepada Uda Faris agar segera pulang.