Chereads / You were My Obsession. / Chapter 5 - 1.5 Family

Chapter 5 - 1.5 Family

Di ruang tengah, tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Pria dengan kemeja putih dan menggunakan kacamata duduk di sofa sambil memeriksa ponselnya. Bersamaan dengan dengan Istrinya. "Sayang..." Ucap wanita itu pada suaminya. Suaminya menyahut panggilan dari sang istri dan meletakkan ponselnya di meja. Ia melepas kacamatanya dan memijit pelipis.

"Ada apa?" Tanya pria itu. Atau lebih tepatnya Pak Windiarto Mahendrata, ayah kandung dari Lunar.

"Lunar bilang ia ingin pergi berlibur. Apakah kau ada waktu? Aku rencanakan setelah UTS." Tanya wanita itu.

"Saat ini perusahaan di London sedang sibuk. Aku kesulitan untuk mencari waktu luang." Ujar Pak Windiarto, ia kembali memperhatikan ponselnya.

"Sayang!!" Tegas Istrinya. "Apa kau tidak ingat apa yang terjadi pada Analise? Anak yang kita rawat selama 16 tahun lamanya. Ia tidak pernah bahagia di rumah ini!! Apa kau mau Lunar jadi sepertinya?!"

Pak Windiarto terkejut saat menyinggung soal anaknya yang tertukar saat lahiran. Analise selalu takut mengecewakan, sehingga ia berusaha mati-matian namun tidak pernah tercapai sampai ia memilih tinggal dengan ayah kandungnya. Pak Windiarto berpikir hidup di rumah ini akan membuat anak itu bahagia, tapi justru berbanding terbalik dengan harapannya. Analise sangat tertekan, sikap Papa nya yang sangat jarang mengapresiasi bakatnya membuatnya frustasi. Sampai putra pertamanya hendak melakukan tindakan kriminal untuk menyingkirkan dirinya dan justru berakhir mengenaskan, yaitu mati dengan tubuh tercabik-cabik di gunung. Namun saat jenazah hendak dipindahkan, jenazahnya justru hilang. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, dan peristiwa itu yang menjadi awal mula dari kasus banyaknya orang hilang. Pak Windiarto tidak ingin hal itu diketahui oleh putri kandungnya dan ia tidak akan membicarakan tentang kasus putra pertama yang berusaha membunuh adik kandung dan dirinya.

"Tapi... Angelina. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku." Ucap Pak Windiarto merasa bersalah.

"Apakah pekerjaan lebih penting daripada anak kita?!!!" Bentak Angelina, sangat kesal dengan sikap suaminya yang workaholic. Lunar turun dari tangga dan terkejut melihat ibunya membentak ayahnya. Entah apa yang baru saja mereka bicarakan. Mereka berdua baru menyadari Lunar turun saat sudah duduk di sebelah ibunya.

"Ahh... Anakku, kamu sudah datang. Bagaimana kalau kita sarapan bersama." Ibunya menarik tangan Lunar dan mengajaknya menuju ruang makan. "Suamiku!" panggil Angelina. Pak Windiarto kembali terkejut. Tidak biasa melihat putrinya dan cara menghadapi. Bahkan pada Analise yang dulu ia besarkan. Tidak bisa dibilang membesarkan Analise, karena hanya sedikit waktu yang ia luangkan untuknya dulu. Bahkan hal itu juga tetap berlanjut saat menggantikan posisi Analise.

Namun pembawaan Lunar tenang dari awal mengetahui keluarga kandungnya. Mungkin sikapnya dulu ceria dan tomboy, namun setelah menginjakkan kaki di rumah ini dan mengganti namanya dari 'Lunar Indramayu' menjadi 'Lunar Mahendrata' sikapnya berubah 180° menjadi anak gadis tenang nan anggun.

Sesekali psikolog mengetes kejiwaan Lunar. Memastikan bahwa sikapnya yang berubah bukan bentuk dari tekanan batin. Namun tidak ada yang perlu di khawatirkan. Lunar masih seperti biasanya hanya saja ia menjadi lebih tenang dan tidak banyak bertingkah aneh.

"Ayah." Panggil Lunar. Ia menyadarkan ayahnya dari lamunannya.

"Ohh oh. Maafkan ayah. Ayah melamun." Lalu berjalan mengikuti istri dan putrinya dibelakang.

Sarapan bersama sangat hening. Hanya suara sendok makan yang mengenai piring yang terdengar. Sangat kesulitan memulai obrolan mereka. "Emm... Bagaimana sekolahmu akhir-akhir ini?" Tanya Pak Windiarto.

"Seperti biasa. Tidak ada hal yang menarik di sekolah." Ujar Lunar. Wajahnya terlihat tenang tanpa ekspresi yang jelas. Ia tersenyum namun bukan tersenyum bahagia atau senyum menahan tangis. Melainkan senyum formal yang biasa ia perlihatkan untuk menghadapi rekan bisnis ayahnya saat ikut ke London. Terlihat datar dan dingin, atau lebih tepatnya seperti robot.

"Begitu ya. Bagaimana dengan nilaimu akhir-akhir ini?"

"Masih berusaha aku pertahanan di peringkat kedua. Namun tetap sangat sulit untuk menjadi peringkat pertama dari keseluruhan siswa." Jelasnya.

"Oh? Benarkah? Jangan khawatir. Kau pasti bisa menjadi peringkat pertama."

Tang!!

Suara sendok yang mengenai piring terdengar sangat keras membuat Pak Windiarto dan Lunar terkejut. Angelina menatap suaminya dengan senyum sedikit mengancam dan kembali memperhatikan putrinya. "Nak. Kau sudah menjadi peringkat kedua dari seluruh siswa diangkatanmu. Itu sudah lebih dari cukup, kau tidak perlu membuat dirimu menjadi peringkat pertama." Ujar ibunya.

"Benar. Namun... Aku tetap ingin menjadi peringkat pertama. Sepertinya itu jadi kebiasaan setelah menjadi murid beasiswa dulu." Lunar tersenyum, namun raut wajahnya terlihat sedikit sedih.

Angelina menyadari sikap putrinya yang dulu sangat ambisius, tapi ia sendiri juga sudah melihat nilai peringkat pertama di angkatan putrinya. Semua nilai di berbagai pelajaran, semuanya seratus. Bagaimana mungkin putrinya bisa menyaingi itu meski ia sangat pintar. "Benar. Tapi kau tidak perlu menjadi peringkat pertama. Nilaimu yang sekarang sudah sangat bagus." Ujar Angelina.

Kata-kata hangat yang ibunya katakan pada Lunar sedikit membuat geli karena tidak pernah ia dengar selama 16 tahun lamanya. Wajar saja. Ia besar tanpa seorang ibu dan hanya tinggal dengan seorang duda di rumah sederhana, sebelum mengetahui bahwa duda tersebut bukanlah ayah kandungnya.

Kehidupannya berubah drastis setelah mengetahui bahwa ia adalah anak dari keluarga Mahendrata yang memberikan beasiswa padanya. Sekarang beasiswa itu tidak berlaku lagi, karena ia sudah tinggal dengan keluarga kandungnya.

"Ehem... Ya... Sebenarnya kau tidak perlu menjadi peringkat pertama juga. Yang penting kau bisa hidup dengan bahagia." Ujar Pak Windiarto. "Nak. Kau tinggal di sini tidak membuatmu merasa tertekan bukan?"

Lunar memiringkan sedikit kepalanya. "Tidak. Kenapa ayah bertanya seperti itu?" Lunar bingung dengan pertanyaan ayahnya lalu ia tersadar, bahwa pertanyaan itu untuk memastikan bahwa Lunar tidak akan seperti Analise. Tekanan batin dan mengidam gangguan kecemasan yang berlebih, membuatnya nyari bunuh diri. Di tambah mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Pak Windiarto dan Ibu Angelina, ia merasa perjuangannya seperti sia-sia.

"Aku tidak apa-apa. Aku merasa senang dan tidak terlalu terbebani untuk menjadi peringkat pertama. Karena aku tahu batas kemampuanku." Jelas Lunar, ia tersenyum. "Lagian dari awal masuk SMA aku sudah tahu bahwa aku tidak akan bisa mengalahkan nilainya."

Orang tuanya tersenyum. Mereka tahu bahwa Lunar adalah anak yang kuat. Ia bukan Analise. Ia adalah Lunar, anak kandung yang tidak mereka ketahui selama 16 tahun lamanya yang tumbuh dengan mental baja.

"Baiklah. Kami mengerti. Tapi tolong jangan terlalu memaksakan diri sampai membuatmu sakit ya." Ujar Pak Windiarto.

"Tentu saja, Ayah."

"Ngomong-ngomong, mengenai keinginanmu. Memangnya kau mau pergi kemana?" Tanya ibunya. Angelina sangat jarang melihat Lunar untuk meminta sesuatu. Mungkinkah karena tidak terbiasa karena selalu hidup sederhana?

"Aku hanya ingin pergi ke gunung. Berkemah dan sebagainya. Melihat pemandangan dari atas gunung dan udara yang sejuk dan dingin benar-benar terlihat menyenangkan." Ujar Lunar. Sontak orang tuanya langsung menolak. Lunar begitu kaget dengan penolakan orang tuanya.

"Jangan pergi ke gunung!! Lebih baik ke tempat lain. Misal ke Pantai, taman bermain, atau kemanapun. Tapi jangan pergi ke gunung atau hutan." Jelas Pak Windiarto.

"Kenapa begitu? Apa ada yang salah?" Tanya Lunar. Insiden orang hilang di gunung sudah menjadi lebih banyak setelah kematian kakaknya yang bahkan tidak Lunar ketahui.

"Apa kau tidak bisa memilih tempat lain? Mungkin yang lebih aman?" Tanya ibunya.

Lunar meletakkan garpu dan pisaunya. "Ibu. Sudah lama aku selalu pergi ke gunung. Gunung yang aku tuju juga adalah gunung yang sama. Aku sudah hafal jalannya." Jelas Lunar. "Karena itu jangan khawatir jika aku tersesat."

Pak Windiarto dan istrinya menghela napas. Itu kejadian sebelum jenazah kakakmu hilang saat di gunung. Kali ini berbeda. "Meski ayah dan ibu melarang. Aku tetap akan pergi. Itu sudah jadi kebiasaan." Benar. Apapun yang Lunar inginkan, akan selalu ia capai. Ia tidak mengenal kata menyerah. Bahkan dulu saat ia baru tinggal di rumah ini. Ia di larang untuk keluar rumah pada malam hari. Namun ia tetap keluar dari rumah itu meski harus di kejar-kejar satpam rumahnya. Tapi Lunar terlalu lihai karena sudah lama ia melakukan itu.

Pak Windiarto memijit kepalanya. Ia lupa bahwa selama 16 tahun Lunar hidup seperti apa. "Baiklah. Tapi dengan syarat, kau harus pergi dengan bodyguard. Minimal 5 orang untuk pergi ke sana." Ujar Pak Windiarto.

Lunar mengedipkan mata dua kali, menandakan bahwa ia tidak menyangka akan mendengar itu.

"Akhir-akhir ini banyak kasus orang hilang. Kemungkinan mereka di culik. Meski kau sangat ahli bela diri, bukan berarti kau bisa menghadapi mereka. Kau sendiri tidak tahu orang-orang itu ada berapa banyak." Jelas Pak Windiarto. "Karena itu. Biarkanlah ayah menyiapkan 5 bodyguard. Agar kami tidak terlalu khawatir."

"Ah... Bagaimana kalau kita bertiga pergi bersama? Agar kami bisa mengawasimu." Ujar Ibunya. Lunar tidak ingin pergi dengan orang tuanya, dan tidak ingin pergi dengan bodyguard. Dia ingin pergi sendiri atau hanya dengan Ian karena ia hanya ingin mencari ketenangan.

"Tidak usah. Ayah dan ibu pasti sibuk sekali. Melihat ibu yang masih terjaga pukul 1 dini hari dan ayah yang jarang pulang ke rumah. Pasti kalian sedang sangat sibuk." Perkataan Lunar tidak salah. Mereka benar-benar sedang sibuk. Deadline dari klien ibunya, produk perusahaan ayahnya yang sedang trend membuatnya tidak bisa pulang ke rumah.

"Tapi... Tidak apa-apa. Bukankah tadi ayah bilang akan mengirim 5 bodyguard untuk menjagaku kan? Jadi jangan khawatir, ya." Lunar benar-benar berusaha meyakinkan orang tuanya untuk tidak perlu khawatir.

Mereka berdua menghela napas. Benar, Lunar bukan Analise. Ia kuat, dan sudah lama hidup seperti Tarzan. Tentu saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebih.

"Baiklah. Kami mengerti." Pak Windiarto dan Bu Angelin mengangguk setuju.

"Terima kasih."