Chereads / The Baby : Alda Arrani / Chapter 5 - 5. Bandara

Chapter 5 - 5. Bandara

Buntu, entah saat ini seorang wanita muda yang sudah berbadan dua itu harus mengambil langkah ke mana. Ia benar-benar sangat bingung sekali. Ia benar-benar tak pernah membayangkan akan ada di posisi ini. Di satu sisi, ia harus memikirkan anaknya yang beberapa bulan lagi akan lahir. Namun di sisi lain, Alda tak tahu harus membesarkan anaknya dengan siapa. Apakah Alda sanggup menanggung tanggung jawab ini sendirian? Apakah Alda sanggup jika nantinya kembali merasakan kehilangan? Usai kehilangan keluarganya alias kedua orang tuanya, saat ini Alda harus menerima kenyataan jika ia harus kehilangan sang suami.

Ya, memang! Memang belum ada kejelasan soal pesawat yang jatuh. Evakuasi pun masih dalam proses. Tetapi untuk jatuh ke dalam laut, apakah masih ada kemungkinan untuk selamat dan tetap hidup? Pikiran Alda benar-benar tak bisa jernih, Alda selalu saja memikirkan kemungkinan buruk yang terjadi. Alda selalu saja menangis akan hal yang padahal belum pasti.

Air mata Alda saat ini kembali luruh, dadanya terasa sesak seolah sedang ditikam ribuan batu besar, lehernya seolah dicekik secara kencang, tubuhnya luruh, pandangannya kabur. Sudah tak lagi peduli akan kesehatannya atau keadaan bayinya saat ini. Alda merasa benar-benar hancur. Jika saja ini mimpi, Alda tak mau lama-lama di sini. Alda tak mau terus-menerus berada di keadaan tidak tenang.

"Da!"

Seorang gadis memasuki kamar Alda dengan langkah hati-hati, ia langsung berjalan mendekat ke Alda dan langsung mengusap secara perlahan bahu wanita yang tengah hamil tua itu. Dipeluknya sang sahabat dengan sangat lekat, berusaha menguatkan sebisa mungkin, berusaha mendampingi sang sahabat sebaik mungkin.

"Ral, kasih tau ke gue kalau ini cuman mimpi, kan? Mas Desvin enggak mungkin pergi secepat ini, kan? Mas Desvin janji sama gue kalau kita bakalan sama-sama jaga anak ini, tapi kenapa sekarang Mas Desvin pergi? Kenapa dia harus ninggalin gue, Ral?" Tangisan Alda kembali pecah. Hancur, semua sudah benar-benar hancur. Bahkan untuk membuka mata pun rasanya tak sanggup lagi jika harus menghadapi kenyataan yang seperti ini.

Salah Alda apa, Tuhan? Mengapa harus Alda yang mendapatkan ini semua? Kenapa harus Alda yang harus merasakan kepedihan hidup seperti ini? Kenapa?

"Da, lo jangan berpikiran negatif gitu, dong! Kan evakuasi masih berjalan sampai saat ini. Belum ditemukan satu jenazah pun. Berdoa aja kalau semua penumpang itu selamat dari insiden ini. Berdoa aja kalau Allah selalu lindungi Desvin di mana pun dia berada. Lo harus kuat! Jangan egois dengan nangis kayak gini. Lo juga harus mikirin kondisi bayi yang ada di kandungan lo. Dia butuh lo, Da. Dia butuh seorang ibu yang kuat," sahut Ralisa berusaha untuk menenangkan sahabat yang sedang sedih dan merasa overthinking. "Desvin pasti selamat," lanjutnya yang ia sendiri pun tidak yakin dengan perkataan itu.

"Lo jangan bohong deh, Ral. Jangan berusaha untuk buat gue tenang dengan perkataan yang sama sekali enggak lo yakini. Gue enggak mau terlalu banyak berharap. Gue enggak mau kalau gue harus kecewa karena apa yang gue impikan enggak sesuai sama kenyataan. Pesawat ini jatuh di lautan, Ral. Sangat kecil kemungkinan untuk selamat, apalagi sampai saat ini belum ada yang ditemukan satu pun."

Benar begitu kenyataannya, bukan? Sangat kecil kemungkinan sekali untuk selamat. Jika saja selamat, seharusnya tim evakuasi sudah menemukan beberapa orang. Namun ini apa? Tak bisa ditemukan satu orang pun.

"Enggak ada yang enggak mungkin, Da. Desvin pasti kembali. Dia enggak mungkin ninggalin lo. Dia enggak mungkin kasih tanggung jawab yang besar sama lo. Gue yakin sama itu semua. Gue yakin kalau Desvin enggak bakalan pergi."

Saat ini tugas Ralisa sebagai seorang teman hanyalah menenangkan sahabatnya dan memberikan pikiran positif supaya sang sahabat pun berpikiran positif. Ia sangat tidak mau jika sang sahabat terus dikelilingi oleh perasaan bersalah. Ia sangat tidak mau jika sang sahabat down dan jatuhnya akan buruk untuk semua orang.

"Lo mau ke bandara sama kayak keluarga korban yang lainnya? Mereka juga pastinya lagi nunggu kepastian yang sama kayak lo, Da." Ralisa menawarkan. Ia tak mau jika Alda hanya diam saja dan menangis tanpa mencari kebenaran sama sekali. Ia tak mau jika sampai Alda hanya berlarut dalam kesedihan yang padahal belum pasti. "Biar gue anter, Da," lanjut Ralisa menjelaskan lagi.

Alda yang ditawari itu pun langsung berpikir sejenak. Ia langsung mengangguk setelah beberapa detik diam. "Gue mau cari informasi tentang pesawat itu."

"Ayo gue anter."

***

Entah apa alasannya sampai keadaan Jakarta siang ini macet sekali. Sudah sepuluh menit mobil yang ditumpangi oleh Ralisa dan juga Alda diam di tempat, tak bisa bergerak karena antrean kendaraan yang sangat panjang. Padahal di depan sana tidak ada lampu merah atau apa pun juga yang menjadi pemicu kemacetan, tetapi antrean panjang berkilometer terjadi. Entahlah, Ralisa sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

"Ini macet masih lama apa enggak ya, Ral? Mana bandara masih jauh banget lagi. Gue butuh informasi secepatnya ini," ungkap Alda dengan tubuh yang sangat aktif sekali bergerak. Nampak tidak sabaran dalam mengulik informasi. Nampak tidak sabaran saat membutuhkan sebuah kejelasan dan kepastian."

"Gue juga enggak tau, Da. Tapi kayaknya bakalan panjang banget deh antreannya. Lo liat aja nyampe berkilo-kilo gini. Lagi ada apa mungkin di depan sampai macet sepanjang ini," sahut Ralisa. "Lo sabar aja, abis antrean ini kelar, abis kita bebas dari macet, gue bakalan ngebut deh pokoknya!" lanjut Ralisa menenangkan.

TRING!

Suara ponsel yang berdering membuat Ralisa langsung merogoh tasnya, ia mengambil ponsel di dalam sana dan membaca sekilas siapa kontak yang menghubunginya di siang hari seperti ini.

"Gue angkat telepon dulu ya, Da."

Alda mengangguk sebagai jawaban. Ia tahu jika Ralisa adalah salah satu wanita karir yang cukup sibuk sekali. Ia tentunya sangat sibuk jika harus mengurus Alda yang merepotkan ini.

"Iya, halo! Oh iya, Pak. Ah iya baik, Pak. Terima kasih."

Hanya itu saja yang Alda dengar dari telepon Ralisa bersama dengan orang di seberang sana. Entah membahas apa, Alda pun tak mengerti. Namun dalam bahasa formal yang digunakan nampak sekali jika itu dari rekan bisnisnya.

"Da ... sorry banget. Gue barusan ada panggilan dari atasan buat balik ke kantor secepat mungkin. Gue bisa anterin lo ke bandara tapi gue enggak bisa nemenin lo cari informasi apa pun. Gue bakalan balik ke kantor abis nganterin lo, gapapa?"

Baiklah, sudah dapat Alda duga jika seperti ini ujungnya. Tak bisa menyalahkan siapa pun karena Ralisa pasti sangat sibuk sekali. Menjadi wanita karir pastinya menguras banyak sekali tenaga yang membuat Ralisa sangat sibuk sekali.

"Oke, gapapa, Ral. Gue bisa sendiri kok."