Cruz menatap miris pada dua orang yang ada di depannya. Mereka berdua sama-sama mabuk, dan saat ini mereka tak ada yang membuka mata sedikitpun.
Cruz bingung harus seperti apa, saking semangatnya dia sampai lupa mengontrol diri untuk memberikan mereka minuman.
"Cruz, apa yang kau lakukan. Sekarang bagaimana ini, kita juga harus pulang mana mungkin kau meninggalkan mereka disini," ucap Zord saat melihat Cruz kebingungan.
"Aku juga tidak tahu, jika semua akan seperti ini. Ayolah, Zord bantu aku mengangkat mereka. Setidaknya, kita taruh mereka di luar," ajak Cruz.
Sungguh, Cruz tak ada hati jika dia membiarkan mereka di luar. Apalagi, keadaan hujan seperti ini. Pasti mereka akan kedinginan, dan bisa-bisa sakit akan hal ini.
"Kau gila, di luar hujan deras. Bisa-bisanya kau membiarkan mereka di luar, kalau mereka terseret banjir bagaimana!" tegas Zord.
Memang beberapa hari terakhir ini Berlin tengah dilanda hujan lebat, tetapi Cruz juga bingung mau membawa mereka. Jika di bawah ke rumah petaknya, itu tidak mungkin.
"Terus mau ditaruh di mana? Tidak mungkin aku bawa dia ke hotel, ayolah aku tak ada uang banyak. Jika, masalah minuman aku bisa menagihnya besok. Kalau, untuk pesan hotel, sepertinya mungkin bisa, Zord." Cruz terlihat sangat putus asa.
Sejenak Zord berpikir, dia sendiri juga belum ada uang. Jika pun ada, nanti anak istrinya pasti menanyakan uang. Sungguh, dia tak bisa berpikir saat ini.
"Baiklah, kita taruh saja mereka di depan. Kalau tak salah, di sana ada gubuk kecil seperti halte. Kita taruh sana saja mereka agar aman, bagaimana?" tanya Zord dan Cruz langsung mengiyakan ide temannya itu.
Tanpa tunggu lama, mereka langsung menggendong mereka berdua. Saat mereka sampai di luar, angin begitu kencang hingga mereka harus berhati-hati agar tidak jatuh.
Setelah sampai, Cruz langsung meletakkan Morgan di atas gubuk kecil itu. Begitu juga dengan Zord, dia meletakkan Mei Chin tepat di dada bidang Morgan.
"Beres, ayo kita pulang. Udaranya sangat dingin, lebih baik kita selimuti mereka dengan jaket kita," kata Cruz.
Zord hanya mengangguk saja, mereka kembali menyelimuti dua manusia yang tak sadarkan diri itu. Tak mau berlama-lama, akhirnya mereka meninggalkan Morgan dan Mei Chin.
Sekian menit mereka ada disana, barulah Morgan merasakan dingin yang menusuk tulang. Morgan menarik jaket yang di menutupi tubuh Mei Chin, dan karena itu juga Mei Chin merasa kedinginan.
"Jangan ambil selimutku, Sialan! Udaranya sangat dingin, dan kau jangan serahkan!" umpat Mei Chin sedikit membuka matanya untuk mencari selimutnya tadi.
"Aku juga kedinginan, bagi sedikit!"
Mereka akhirnya bertengkar, dan saling berebut jaket. Guntur yang terus berbunyi semakin membuat Mei Chin ketakutan, mau tak mau dia harus sembunyi di ketiak Morgan.
"A-ku takut, tolong peluk aku," lirihnya.
Karena terlalu pusing, Morgan akhirnya mengikuti apa kata Mei Chin. Morgan memeluk erat Mei Chin, dan terus menenangkan gadis itu.
Lama semakin lama hujan bukannya redah, malah semakin deras. Angin kencang, petir menggelegar terus menyambar. Mei Chin, terus menangis sungguh sial hidupnya karena lelaki sialan.
"Hey, kalian kenapa ada disini? Hujan semakin deras, bisa-bisanya kalian tidur disini!" teriak seseorang.
Mereka tak peduli, kepalanya sangat sakit. Jika masih waras, mungkin mereka merasakan jika air mulai naik ke atas gubuk itu. Tetapi, kesadaran mereka tak sepenuhnya ada dan mereka berpikir sedang tidur nyenyak di atas ranjang.
"Hey, kalian mau kebawa banjir!" teriak orang itu lagi.
Disinilah Morgan tersadar sepenuhnya. Dengan perasaan panik, Morgan berdiri menjauh dari genangan air hujan.
"Astaga, apa-apaan ini!" seru Morgan mencari tempat aman.
"Hey, kekasihmu kau biarkan begitu saja. Lihatlah dengan jernih, hidungnya bisa kemasukan air—"
Belum selesai orang itu bicara, Mei Chin terlebih dulu batuk-batuk. Astaga, air hujan masuk ke dalam hidungnya dan rasanya sangat sakit sekali.
"Huaaa ... sakit, hidungku kemasukan air. Huaaa ...."
Mei Chin terus menangis seperti anak kecil, sedangkan Morgan dia terus memeluk pinggiran gubuk. Dia berusaha mencari tempat teraman, dan menikmati tidurnya kembali.
"Nona, kau tidak apa-apa kan?" tanya wanita paruh baya itu. Dia adalah suami lelaki yang baru saja mengajak Morgan bicara, dia merasa kasihan melihat mereka berdua, seperti anak terbuang saja.
"Sakit ... huu, sakit ...."
Wanita itu semakin merasa kasihan, dia juga banyak warga mulai mendekati mereka karena penasaran dengan apa yang terjadi.
"Sayang, ini bagaimana? Aku kasihan melihat mereka, sepertinya mereka mabuk karena banyak pikiran," ucap wanita itu pada suaminya.
"Kau benar, apa kita bawa mereka ke rumah saja ya? tetapi, kita harus cari tau asal-usulnya dulu," balas sang suami sangat lembut.
Mereka saling pandang, hingga salah satu dari orang-orang yang bergerombol itu mulai mengajukan pertanyaan pada Mei Chin.
"Nona, apakah kalian kabur dari rumah?" tanya lelaki paruh baya itu.
"Iya, kau tau aku kabur dari rumah? Astaga, pasti kalian menganggapku murahan kan? Ini semua gara-gara lelaki sialan itu, dia meninggalkanku begitu saja. Sebab itulah aku kesini untuk mencarinya," balas Mei Chin jujur.
Mereka paham sekarang, setelah itu mereka kembali bertanya pada Mei Chin. "Terus, mana kekasihmu?" tanyanya lagi.
"Dia ... emm ... dia disana, dia kekasihku. Oh sungguh aku ingin mencekikmu, dasar lelaki sialan. Tega sekali kau denganku, buaya!" seru Mei Chin bergegas menghampiri Morgan.
Mei Chin langsung mencekik Morgan, hingga Morgan gelagapan. Warga hanya bisa memandang bingung pada mereka berdua, warga tak bisa memutuskan apa yang sedang terjadi. Warga juga tak bisa mengambil keputusan untuk mereka, apalagi mereka masih terus bertengkar.
"Hey, cewek labil. Kau yang berselingkuh, kenapa sekarang kau marah-marah padaku!" marah Morgan penuh tatapan tajam.
Oh, matanya saat ini tak bisa melihat jernih. Yang Morgan lihat saat ini hanya wajah Laura, kekasihnya yang sangat dia cintai tetapi tega berkhianat padanya.
"Kau yang pergi sialan, kenapa sekarang kau memutar balikkan fakta! Aku benci sekali padamu, aku benci!"
Mereka kembali bertengkar, semua warga semakin kebingungan hingga para menyimpulkan jika dua orang itu adalah pasangan kawin lari yang belum menemukan jalan.
"Apakah kalian kabur dari rumah, dan melakukan kawin lari?"
"Iya!"
Mereka berdua langsung mengiyakan ucapan wanita itu, dan disinilah warga mulai percaya. Semua orang merasa kasihan dengan dua orang ini, hingga warga berdiskusi apa yang harus di lakukan untuk membantu dua orang yang masih bertengkar itu.
"Nona, Tuan. bagaimana kalau kalian kami nikahkan. Tidak perlu keluar biaya, kami akan mengurusnya malam ini juga. Apakah kalian setuju?"
"Iya setuju!"
Lagi-lagi mereka menjawab secara bersamaan. Mereka tak sadar akan ucapannya sendiri, sedangkan para warga percaya begitu saja. Hingga kini, mereka di bawah ke rumah salah satu orang yang menemukan mereka berdua.