" Kaka!" spontan pemilik tubuh atletis terjungkat bangun dari tidurnya.
" Gila lo, Ka, lima menitan gue di sini bangunin lo udah kayak orang mati aja," ketus Aga, laki-laki berambut keriting yang memiliki kulit bak sawo.
"Aku mimpi buruk lagi, sampai kapan gadis itu datang ke mimpi terus." Kaka mengeluh, mengacak rambutnya frustasi.
Tak lama kemudian pria berjas berlari terbirit-birit mendatangi Kaka dan Aga yang tengah bermalas-malasan di atas kasur. Dengan membawa amplop besar coklat, Juna memasang wajah penuh gairah menepuk bahu Kaka.
" Selamat Ka, lamaran kerjamu di sekolah sastra terbesar diterima, kamu bakal jadi guru di sana, di Bogor, gak sia-sia kamu jauh-jauh kuliah ke Tokyo," pekik Juna bangga.
Sontak Kaka melotot, pagi-pagi seperti ini sambutan hangat Dari high school of literature membuatnya langsung beranjak dari zona kasur. Dia menyahut gesit amplop coklat dari juna lantas membukanya tidak sabar. Ia juga membuka notif terbaru emailnya.
Mikaily Zaim, sarjana S1 Universitas Tokyo di Komaba. Selain sangat prospek kerja satra sebagai mahasiswa di Tokyo, lelaki kelahiran 1999 itu juga berhasil mendapati piagam The Best Muslim Man dalam progam solidarity of religions di negara Jepang. selain memiliki cita-cita jadi fotografer, pengagum dunia sastra itu juga punya harapan besar jadi seniman terkenal.
"Wah, resmi jadi guru, nih," goda Aga pada Kaka yang masih tercengang. Mendengar nama Bogor, ingatannya melejang cepat mengulang kejadian lima tahun lalu sebelum berangkat ke Tokyo. Sebuah kecelakaan hebat menimpanya sehingga cidera parah bahkan sampai saat ini.
Kaka berjalan mendatangi cermin bundar di ujung kamar, mengamati garis hitam di bawah dagu sisa kecelakaan itu, yang mana kejadiannya berlantasan terus di mimpi setiap ia tidur. Gambaran seorang gadis bertubuh mungil sedang menari di tengah jalanan sepi saat beberapa menit sebelum kecelakaan itu terjadi, terlintas terus di sejarah hidupnya.
👣👣👣
Sudut Jogja bercerita melalui lampu kotanya. Banyak orang bilang cara paling ampuh berdamai dengan masa lalu adalah menetap di Jogja. Tak lain dan tak bukan, lantas kota ini pantas jadi kebanggaan. Begiti juga Kaka, Sejak lahir, dia selalu menjadikan kota Jogja adalah perigi dalam hidupnya, walaupun sangat sering ia tinggalkan.
"Mungkin, besok pagi-pagi aku akan mengejar jadwal kereta, karena mereka meminta bertemu secepatnya," ujar Kaka meneguk segelas air putih. Aga dan Juna masih terdiam, temannya yang satu ini kemungkinan akan menetap di Bogor dan jarang kembali.
"Sudah tahu tinggal di mana?" tanya Juna.
"Gardenia Bogor, dekat rumah almarhumah eyang," jawab Kaka agak suntuk. Dulu Almarhumah eyangnya memang tinggal di Bogor.
"Kalo di sekitar situ bukane lokasi terdekat waktu lo kecelakaan dulu," ujar Aga. Kaka mengerutkan alisnya. Lagi- lagi diingatkan kembali tentang kecelakaan itu. Padahal, sudah lewat lima tahun, tapi titik kejadiannya belum melebur sedikitpun dari memori.
"Coba kamu inget lagi wajah tu cewek, mungkin kamu bisa ketemu lagi, toh," tutur Juna penasaran. Realitanya, Kaka tetap ingat betul bentuk dan apa yang ada pada gadis itu. Wajah kuning, matanya yang sipit, sepatu ukuran kaki kecil, dan kostum balet. Oh, ada lagi, tatapan tajam yang tidak semua orang memilikinya.
"Aku lupa," kata Kaka berbohong, cukup mambuat Aga dan Juna menghela napas. Andai kata Juna benar, bisa bertemu dengan gadis itu pun Kaka tidak akan mampu melakukan apapun. Meminta balasan? Menolong saja gadis itu enggan.
"Gue yakin entar kalo lo ke Bogor, makin lupa aja gimana wajah tu cewek, jelas, banyak yang bilang cewek Bogor cantik-cantik, polos lagi," gurau Aga memecah hening.
👣👣👣