"Ada tetangga baru, Nda."
"Rumah kosong di depan itu?"
"Iya."
Samar-samar Louisa mendengar suara percakapan seseorang dari luar kamarnya. Dia yang saat ini sedang membaca novel dari sebuah web langsung dengan sigap segera mematikan komputernya, dan melongok keluar kamarnya.
Ternyata di luar ada Thalia dan Gerald Hervey--bunda dan kakaknya yang sedang mengobrol.
"Siapa, Kak?" tanyanya ingin tahu.
Gerald yang sedang melepas topinya menoleh kesumber suara, dan langsung terkejut setelahnya. "Kamu ngagetin, Kakak!"
Bagaimana tidak terkejut, sesosok kepala berambut panjang melongok dari depan pintu.
"Hehe." Tanpa rasa bersalah, Louisa meringis dan berjalan keluar kamarnya menghampiri Thalia dan Gerald. "Tadi kalian lagi ngomongin siapa?"
"Tetangga baru," jawab Gerald sambil melanjutkan aktivitasnya, melepas mantel yang dikenakannya.
"Iya, aku tahu." Louisa membuka tirai dan mengintip sedikit lewat jendela rumahnya. Kelihatnya sang Pemilik Baru sudah masuk ke dalam rumahnya. Louisa hanya bisa melihat mobil hitam yang terparkir di depannya. Terlihat seperti mobil mewah yang pernah Louisa lihat di TV (dia lupa merknya). "Tapi, aku nanya siapa namanya?"
"Dek, jangan ngintip-ngintip. Nggak sopan," tegur Thalia melihat tingkah anaknya yang seperti stalker dan tetangga kepo yang diam-diam mengintip-mengintip mupeng.
"Iya, iya, maaf, Nda." Louisa segera menutup kembali tirai jendelanya dan menatap masnya yang belum menjawab pertanyaannya.
Louisa duduk dengan bosan di sofa.
Gerald yang merasa di perhatikan mengernyitkan alisnya.
"Ya mana Kakak tau, kan, baru pulang," ujar Gerald acuh. Dia menatap adiknya itu dengan penuh selidik. "Belum kenalan juga."
"Oh iya hahaha," tawa Louisa sambil menggaruk belakang lehernya yang sama sekali tak gatal. Dia terlalu banyak bertanya. Padahal dia hanya ingin mencairkan kecangungannya dan membuat bundanya melihat mereka baik-baik saja. Louisa mengatupkan bibirnya menjadi garis lurus.
"Udah Louisa kamu jangan ribut." Thalia mencubit pipi putrinya membuat gadis itu kembali tersenyum. Dia lalu menatap putra sulungnya dan menepuk punggungnya. "Gerald kamu bersih-bersih dulu, ya, Bunda udah siapin makan malam kamu. Kamu belum makan malam, 'kan?"
"Belum, Nda," jawab Gerald sambil lalu. "Aku mau mandi dulu." Pemuda bertubuh tinggi itu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Eh, Nda, berarti rumah itu ada yang beli, dong?" tanya Louisa ingin tahu. Sudah lama rumah itu kosong. Tapi, tak seperti rumah kosong lainnya yang dibiarkan terbengkalai begitu saja, rumah itu setiap hari rutin ada yang datang untuk membersihkannya. Louisa mengira pemiliknya ingin menjualnya.
"Sepertinya iya. Kamu besok anterin kue, ya, kesana?"
"Lah... ngapain, Nda? Harusnya, kan, mereka yang kesini dulu selaku tetangga baru."
"Ya, nggak pa-pa. Lagian bukannya kamu pingin tahu siapa mereka?" tanya Thalia dengan senyum lebar.
Louisa membulatkan matanya. Maksudnya bukan begitu. Dia hanya ingin tahu siapa orang yang tidak ada kerjaan dan membeli rumah suram itu. "Bukan gitu, Nda. Besok aku juga, kan, berangkat sekolah. Terus les sampai malam."
"Kamu bisa ngasihnya sebelum berangkat sekolah."
Louisa mengerucutkan bibirnya. Thalia yang melihatnya kembali mencubit pipinya.
"Ini udah malam. Kamu tidur, besok sekolah."
"Iya. Aku tidur dulu, Nda. Goodnight."
Louisa akan beranjak menuju kamarnya. Akan tetapi, Thalia kembali menahannya dan menunjuk pipinya.
"Aku dah gede, Nda."
Thalia tersenyum lebar.
"Oke, oke." Akhirnya gadis itu mencium pipi Thalia, untuk kemudian Thalia melakukan hal yang sama. Ini sedikit memalukan. Dia merasa bundanya itu masih memperlakukannya seperti bayi.
Sebelum terlelap, pikiran Louisa kembali pada si Tetangga Baru itu. Orang gila mana yang mau membeli rumah bekas kebakaran seperti itu. Seharusnya mereka sudah tahu bagaimana latar belakang rumah itu sebelum mereka beli, 'kan? Yah, mereka pasti benar-benar ingin tinggal di Cheviot Hills, perumahan ini adalah satu-satunya perumahan yang terdekat dengan perkantoran, sekolah dan kampus.
Pagi harinya Thalia benar-benar sudah membuat kue.
"Kak Gerald bener-bener nggak berperasaan." Iya, karena pemuda itu kembali meninggalkannya. Padahal kampus dan SMA tempat Louisa satu jalan.
"Kamu, sih... bangunnya selalu kesiangan," ujar Thalia mendengar gerutuan Louisa. Perempuan parubaya itu sedang memasukan kuenya yang baru dibuatnya ke dalam kotak.
Iya, Louisa tahu dia anak yang sedikit ceroboh. Namun, dirinya bangun terlambat kali ini Louisa tahu ini semua karena mimpi itu. Mimpi buruk yang bahkan entah mengapa muncul lagi setelah Louisa bertahun-tahun berupaya melupakannya.
Louisa menghela nafasnya.
"Kalo gitu aku berangkat dulu, Nda." Louisa mengambil roti sandwichnya dan langsung memakannya dalam tiga kali gigitan sebelum menenggak segelas susu (dia terlalu sering menonton mukbang). Lalu dia akan berlari keluar rumah dengan cepat, akan tetapi Thalia menghentikannya saat tanggannya sudah memegang gagang pintu. Gagal sudah dia kabur.
"Eh, tunggu. Kamu anterin ini dulu."
"Aku telat, Nda." Sebenarnya dia sangat penasaran dengan tetangga barunya itu. Namun, dia sama sekali tak ingin mengorbankan waktunya dan terlambat masuk ke sekolah.
"Louisa Eloise Hervey."
Louisa menghela nafasnya. Kalau bundanya itu sudah memanggil nama lengkapnya itu sama dengan perintah raja, Louisa sama sekali tak bisa melawan. "Iya, iya, Baginda Yang Mulia."
"Jangan lupa bawa payungnya. Ramalan cuaca hari ini akan hujan."
"Iya, Nda."
Lalu, disinilah Louisa sekarang depan rumah tetangga barunya dengan sekotak kue brownies buatan bundanya yang masih hangat. Ini sudah kali keduanya dia menekan bel rumahnya, akan tetapi belum ada jawabannya. Louisa mulai bosan. Dia melirik jam di tangannya, salah satu kakinya bergerak menggusap kaki sebelahnya. Dia benar-benar akan terlambat.
Louisa menatap rumah di depannya dengan kosong. Rumah ini benar-benar sudah berubah, ya?
"Selamat pagi!" Dia kembali menekan tombol bel dan melihat ke lensa CCTV di depan rumahnya sambil mengangkat kotak kuenya seakan meyakinkan 'dia tak ingin menganggu keluarga ini, dia bersumpah. Dia hanya tetangga baik yang ingin memperkenalkan diri.' "Permisi..."
Luar biasa. Louisa yakin mereka masih tertidur.
"Halo--"
Pintu terbuka. Tangan Louisa yang hampir saja akan kembali menekan tombol bel menggantung di udara.
"Halo."
Tak seperti senyum ramah yang di berikan si Pemilik Rumah yang menyambut kedatangannya, Louisa menatap pemuda dengan setelan hitam itu dengan terkejut.
Sebuah kilasan berkelebat di kepalanya. Mimpi yang semalam kembali datang. Ingatan yang coba dia kubur, ingatan saat di hari yang mendung itu, tentang seorang anak yang berdiri hampa dengan darah di tangannya dan dua orang yang tergeletak bersimbah darah di hadapannya, dan sebuah kebakaran yang menghanguskan segalanya lalu hujan lebat yang datang terlambat. Ingatan buruk itu.
Louisa menatap pemuda di depannya itu dengan nanar. "Julio?" Kenapa kamu di sini?
Senyum di bibir pemuda itu semakin melebar, memperlihatkan goresan lesung pipinya yang semakin dalam. Tidak seperti senyum ramahnya beberapa saat lalu, senyumnya saat ini seakan menyimpan ribuan rahasia kelam bersama sosoknya yang berdiri di balik kegelapan.