"Aku di jodohkan oleh kedua orangtuaku, Nadia. Maafkan aku karena sudah membuatmu seperti ini. Aku yakin kau bisa mendapatkan lelaki yang lebih dariku."
Kalimat putus secara tak langsung itu membuat Steffi kembali teringat akan kejadian naas yang menimpanya beberapa waktu lalu itu.
Meeting with Mom and Dad! Don't forget to bring Rex too!
Steffi melihat reminder di ponselnya itu. Mata sayunya langsung terbelalak melihat reminder tersebut. Dia berjanji untuk memperkenalkan Rex, dengan kedua orangtuanya. Astaga! Bagaimana bisa dia lupa memberitahu orangtuanya kalau dia sudah putus dengan Rex?!
Bodohnya lagi, dia sudah berada di Fons Cafe. Ya memang ini adalah tempat langganannya untuk beristirahat setelah jadwal syuting yang padat dan menyiksa fisiknya. Belum lagi teriakan dari sutradaranya yang hampir-hampir selalu membuatnya sakit jantung tiap kali dia datang terlambat dan tidak paham dengan naskah skenario yang di bacanya.
Kalau kalian berpikir profesi yang di lakoni Steffi adalah seorang artis, tentu saja kalian salah besar. Seorang Steffi tidak memiliki bakat untuk berakting.
Dari kecil, anak bungsu dari dua bersaudara ini selalu terkenal jujur dan tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Sehingga tak jarang dia sering kali diomeli oleh ayahnya untuk belajar, karena yang dia lakukan hanya menonton drama, film dan sejenisnya.
Cita-citanya adalah menjadi sutradara andal seperti ayahnya dan kakaknya yang kini bekerja di New York. Saat ini, dia hanya menjadi seorang astrada--asisten sutradara di Gentum Production House. Tiap kali dia menjadi kru, namanya hanya mentok di posisi ketiga sebagai astrada. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau dia akan naik menjadi astrada dua atau satu.
Pekerjaannya memang terpuruk. Tapi setidaknya dia mendapat perhatian dari Rexi, atau Rex, seorang penata musik film. Mereka berhubungan sejak dua tahun terakhir, setidaknya sampai dua bulan lalu saat Rex melamarnya dan bilang akan memperkenalkan diri sebagai tunangan Steffi.
Minggu lalu dia Steffi mendapatkan telepon dari Rex untuk terakhirnya. Kalian ingin tahu apa yang dikatakannya? Kembalilah membaca kalimat awal bagian ini.
Begitulah yang dikatakannya, dan sekarang Steffi merasa bodoh berada di Fons, dan tidak memberitahu orangtuanya.
"Aku mohon Kris!! Tak bisakah kau membantuku? Bahkan sebagai sepupu kecilmu?"
"Steffi, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Dan seharusnya kau yang mengatakannya," balas Kris.
"Kris... Kau tega melihatku menangis lagi? Sudah cukup satu minggu aku menangisinya tanpa henti, dan membuat tanganku sendiri patah karena tidak fokus."
Kris melirik tangan kiri Steffi yang masih di gantung dengan kain biru. Ya, tangannya memang patah karena kecelakaan di lokasi syuting beberapa hari lalu. Harus Steffi akui bahwa memang dirinya sedang memikirkan Rex yang sudah cuti seminggu sejak dia menelepon Steffi.
Sutradara yang berada disana pun panik saat melihat tangan Steffi yang patah. Di rumah sakit, setelah operasi, yang dilihatnya pertama kali adalah Kris, saudara sepupu jauhnya.
"Setidaknya kau bisa menceritakan pada mereka kenapa tanganku seperti ini, dan kenapa aku bisa putus, Kris... ku mohon.."
"Kenapa kau tidak bohong saja?"
"Kau mengenalku Kris. Aku tidak pandai--ah tidak--aku tidak bisa berbohong sama sekali, Tuan Aikawa!!!!"
Kring-kring-kring.
Pintu Fons terbuka.
Gerombolan laki-laki tampan masuk. Steffi mengenal mereka. Setidaknya dia sudah mengenal mereka berlima selama seminggu berada di Fons, dan merenungi hal apa yang harus di lakukannya.
"Kau masih disini juga, Stef?" Tanya David. "Bukankah.."
"Kumohon bantu aku!!" Pintanya kepada para lelaki itu. "Aku tahu aku ini bodoh, aku tidak bisa berbohong juga. Tapi aku tidak bisa membuat orangtuaku sedih hanya karena aku batal memperkenalkan tunanganku mereka..."
"Mereka orangtuamu, pasti mereka mengerti," kata Alex ringan.
Steffi mendengus dan mengalihkan padangannya keapada kawan-kawan Kris yang lain. Sesungguhnya, Tatsuya merupakan orang yang di lirik Steffi beberapa kali. Dan Alex bisa melihat mata Steffi berbicara; tolonglah aku!! Setiap kali melihat Tatsuya.
"Hentikan tatapan nafsumu itu," tukas Alex. "Tatsuya tidak akan membantumu. Apa kau ingin merusak rumah tangga orang lain?"
Mata sayu Steffi kembali melebar.
"Kau pikir aku buta?" Seru Alex. "Matamu jelas sekali mengatakan supaya Tatsuya bisa membantumu. Tapi jangan harap hal itu mau dia lakukan!"
Tatsuya tersenyum ramah. Dia tahu sebenarnya Steffi ingin agar dirinya dapat membantunya. Gaby juga sengaja diberitahu oleh Tatsuya agar Gaby tidak mendengar gosip-gosip tak sedap dari kawan-kawannya yang lain.
Nadia Stephanie.
Gadis berambut sepundak lebih sedikit dengan model rata. Hidungnya mancung, bibirnya mungil, matanya sayu. Tingginya hanya sebatas tinggi gadis rata-rata Indonesia, 165 cm. Cukup menarik, tapi memiliki sifat yang cukup mengesankan dan menyebalkan juga.
"Halo?" Ponsel Steffi pun berdering. Nama caller IDnya jelas menunjukkan kalau itu adalah ayahnya. Tapi dia tidak melihat dan langsung mengangkatnya. "Ini siapa ya?"
"Siapa? Tanpa Papa kamu tidak akan ada di dunia ini, Steffi!!"
"Papa?!"
"Iya. Kenapa kau seperti melihat setan begitu? Memangnya ada yang salah bila Papa meneleponmu?"
Steffi memejamkan matanya. Mati. Matilah aku!
"Halo? Steffi? Papa dan Mama sudah sampai di sini. Seharusnya kau menjemput kami di Bandara bukan?"
"I—iya. Aku tahu Pa. Tapi hari ini aku tidak bisa menjemput Mama dan Papa karena ada urusan..."
"Pasti ada kaitannya dengan calon menantu kita bukan? Kalian sudah di Fons itu? Tempat yang kau bilang?"
"Aku sudah.."
Entah pernyataan itu langsung saja keluar dari mulutnya. Padahal dia ingin mengatakan tidak.
"Pasanganmu belum datang?"
"Belum.."
"Ya sudah. Kami tiba disana lima belas menit lagi."
"Tapi Pa—halo? Halo? Papa? Halooo?"
Laki-laki yang mengerumuninya di sana langsung penasaran dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya Steffi barusan. Apakah sesuatu yang baik ataukah sebaliknya?
"Ada apa Stef? Orangtuamu kenapa?" Tanya Kris.
Steffi mulai merasakan matanya panas. Dia menahan agar air matanya tidak turun. "Aku mohon, Kris! Sebagai kakak sepupuku, aku mohon. Tolong aku untuk kali ini...."
Kris memang tidak tegaan. Apalagi gadis yang menangis di depannya ini memang gadis yang memiliki hati yang lembut dan baik. Dia tidak akan berbohong. Ah, seumur hidupnya Steffi tidak akan pernah berbohong. Dia bahkan tiga akan tega untuk membiarkan seekor kucing mati kelaparan di jalanan jika dia melihatnya.
"Tolonglah, Kris.."
"Tapi apa yang bisa ku bantu?" Tanyanya balik.
Betul juga. Memang apa yang bisa dia bantu?
Sementara kelima lelaki yang lain bingung juga dengan sikap Steffi yang menunjukkan kesedihannya itu.
"Aku mohon.." pintanya sekali lagi, sambil menangis. Kali ini pipinya sudah mulai basah karena air matanya yang sudah terjun dari matanya beberapa kali.
Kaca Fons pun terlihat bening. Sampai beberapa menit berlalu, dan Kris yang mengenali dua sosok itu pun langsung berkata. "Steffi. Papa dan Mamamu sudah datang. Kau bisa lihat sendiri."
Steffi yang masih berlinangan air mata itu menoleh dikit. Dia melihat dengan kedua matanya kalau orangtuanya datang dengan pakaian santai mereka seperti biasa. Dan dia pun yakin kalau orangtuanya juga datang menggunakan taksi lagi hari ini. Steffi segera mengambil tisu dan menyapu bersih pipinya yang basah akibat tangisannya. Tangan kanannya yang bebas segera mengipas-ngipas wajahnya agar lebih merasa rileks.
"KRISSS! Astaga, senang sekali bisa melihatmu lagi, Nak! Bagaimana kabar saudaraku—maksudku—ibumu di Jepang sana? Dia sehat?"
Kris mengangguk. "Tentu saja, Paman. Okaasan—ibu—baik-baik saja."
Setelah dari Kris, pandangan ayah Steffi tertuju pada gerombolan anak-anak muda lainnya. Yang sedang duduk disana.
"Jadi... aku yakin pasti salah satu di antara kalian berempat adalah tunangan anakku. Tidak usah basa-basi, langsung saja katakan siapa kekasihnya Steffi," katanya riang.
"Papa..."
"Kenapa Steffi?" Mata ayahnya terbelalak saat melihat tangan Steffi di perban dan di gantung di lehernya. "ASTAGA YA TUHAN!!! Apa yang terjadi dengan tanganmu anakku tersayang?!"
Steffi menggeleng. "Nggak. Ini hanya kecelakaan kecil di lokasi syuting saat aku memindahkan lampu sorot--"
"APA LAMPU SOROT?! SIAPA YANG MENYURUHMU MELAKUKANNYA?!"
"Papa, itu kan sudah menjadi pekerjaanku sebagai astrada.."
"Tenanglah Pa, itu memang pekerjaan Steffi sebagai astrada. Bukan begitu?"
Steffi mengangguk.
Papanya tak banyak komentar lagi soal keadaan tangan Steffi, dan kembali bertanya soal tunangannya.
"Jadi, siapa dari kalian yang menjadi tunangan dari putriku? Dan bagaimana bisa, sebagai tunangannya hanya diam saja melihat keadaan tangan Steffi seperti ini?"
Hening cukup lama menyelimuti, karena Steffi bingung harus menjawab pertanyaan Papanya.
"Maaf Om, dan Tante. Aku ingin memberikan kejutan sebenarnya. Namun, sepertinya kalian sudah memberiku kejutan terlebih dulu sebelum aku," kata seseorang yang rapih dengan kemeja putih dan dasinya. Serta jas hitam yang di pegangnya.
"Siapa kau?"
"Ah, maaf. Aku Alexander Kougami, tunangan putrimu, Nadia Stephanie."