Kepergian Anne dari rumah sakit itu tanpa sepengetahuan Bu Sulistiani, karena waktu yang tidak memungkinkan untuk menunggu. Anne harus segera di selamatkan, seakan bu Sulistiani sudah tidak terfikir lagi. Karena ia tidak menjamin keselamatanya.
Di sepanjang jalan bu Sulistiani hanya terduduk lemas, ponsel yang biasanya tidak pernah lepas dari genggaman tanganya pun tidak tau di mana ia menaruhnya.
Ia menyebut nama putrinya itu dengan rintihan lirih, sambil menatap ke luar melalui kaca mobilnya. Tidak ada bayangan di otaknya kecuali wajah Anne yang terbaring lemas, dengan satu-satunya harapan ia harus menjalani perawatan yang berbeda dari yang lain. Mulai dari Dokter, sampai fasilitas pengobatanya, ia harus menghabiskan se paruh dari harta mamanya.
Dan untuk saat itu, bu Sulistiani tidaj peduli lagi. Bahkan ia rela jika Tuhan mengizinkan nyawanya itu ia serahkan untuk Anne, agar ia masih bisa melanjutkan hidupnya, mimpi-mimpinya Dan semua apa yang belum berhasil ia capai.