Chapter 3 - Episode 2

Saat Albara berumur lima tahun sebuah tragedi tragis menimpa orang tuanya. Nasib naas menimpa Abi Daud ayah Albara, saat akan membayar gaji karyawan kebon kopinya. Istri Abu daud jatuh sakit dan di opname di rumah sakit, sementara uang untuk pembayaran gaji mereka masih harus di ambil di sebuah bank di luar Kota Tapus, sehingga pembayaran gaji karyawan jadi tertunda.

Puluhan karyawan kebun kopi Abu Daud terlihat sedang berdemo untuk menuntut pembayaran gaji mereka yang sudah tertunda selama satu minggu.

"Pokoknya kami tidak mau tau, apapun usaha Abu Daud untuk membayar gaji kami hari ini juga" kata perwakilan karyawan yang menemui Abu Daud.

Di rumah Abu Daud hadir juga beberapa orang pejabat Kelurahan, terlihat Abu Hamid juga hadir sebagai penengah.

"Saya mohon saran dan bantuan bapak bapak yang hadir untuk solusi saat ini" kata Abu Daud pasrah.

"Saya bisa pinjami dulu kebetulan saya sedang ada simpanan uang kontan di rumah" Abu Hamid memberi solusi.

"Benarkah bang hamid? tanya abu Daud.

"Benar tapi kapan kamu akan kembalikan?" tanya Abu Hamid.

"Paling lambat sepuluh hari dari sekarang, jika istri saya sudah sembuh saya ajan keluar kota untuk transfer pembayaran ke rekening bang Hamid" jawab Abu Daud.

"Tidak... saya pinjami uang tunai juga harus di bayar uang tunai, jika tidak terbayar hingga limit yang kamu tentukan jaminannya separoh kebon kopi Abu Daud serahkan pada saya bagaimana" usul Abu Hamid.

"Baiklah saya terima" ucap Abu Daud.

Perjanjian di buat di saksikan oleh perangkat Kelurahan Koto tapus, dan di ketahui oleh Pak Lurah, surat di buat rangkap dua satu di pegang Abu Hamid dan datu lagi di pegang Abu Daud. Semua gaji Karyawan kebun kopi Abu Daud akhirnya terbayar hari itu juga.

Untung tak dapat di diraih kok rugi tak dapat di tolak begitu kata pepatah tentang nasib Abu Daud. Seminggu setelah perjanjian dengan Abu Hamid nasib buruk kembali menimpa Abu daud saat kembali dari luar kota membawa uang untuk melunasi hutangnya. Abu Daud di hadang gerombolan perampok di tengah hutan, suluruh uang yang di bawa untuk melunasi hutangnya pada Abu Hamid ditambah uang untuk membayar gaji karwaan bulan berjalan ludes di embat perampok.

Masih untung Abu Daud bisa kembali dengan selamat, sekalipun dengan luka tusukan di tangan dan punggungnya. Habis jatuh tertimpa tangga itulah pepatah adat yang menggambarkan keadaan Abu Daud saat kembali ke koto tapus. Dalam keadaan berbaring tak berdaya Abu Hamid datang dengan tukang pukulnya menagih hutang yang jatuh tempo. Karena tak terbayar maka sesuai perjanjian separo dari kebun kopi Abu Daud di ambil oleh Abu Hamid.

Karyawan kebun kopi kembali mendatangi rumah Abu Daud meminta pembayaran gaji mereka untuk bulan yang sedang berjalan. Untuk membayar gaji mereka abu daud terpaksa melelang berbagai hartanya, hingga dalam satu minggu seluruh harta abu daud ludes terjual kecuali sebuah rumah yang mereka huni sekarang.

Dengan modal yang masih tersisa deri hasil penjualan Asetnya di Kota Tapus Abu Daud memutuskan untuk pindah ke Ibukota memulai bisnis baru dengan teman kuliahnya dulu.

Albara makin dekat dengan umi Kalsum dan Sultan Murod jakeknya, bahkan Lebih dekat dari orang tuanya sendiri, hingga saat orang tua Albara pindah ke sebuah kota besar untuk memulai bisnis baru yang menjanjikan. Albara menolak mengikuti orang tuanya dan memilih untuk tinggal dengan umi Kalsum dan sekolah di Kota Tapus.

"Bi Albara sekolah di Kota Tapus aja, biar bisa tinggal dengan umi Kalsum" pinta Albara pada abi Daud.

"Baik lah nak, jika nanti Albara pingen sekolah di kota besar tinggal sama abi dan umi, Albara segera telpon umi atau abi" kata abi Daud.

"Iya bi, kan kasian kakek kalau Bara ikut Abi, kakek jadi tinggal sendirian" ucap Albara berargumen.

"Umi Kalsum... Sarah titip Albara untuk sementara ya" pinta Umi Sarah ibunya Albara sebelum berangkat.

"Iyaa Sarah" ucap umi kalsum singkat

****

Memasuki umur 7 tahun prediksi kemajuan yang diyakini leluhur Albara mulai menjadi kenyataan. Kota Tapus yang dulunya terusolir sekatang menjadi kora terbuka yang berkembang pesat, jalan ke kota merka sudah lancar, jaringan PLN, tower hape sudah berdiri di kota mereka. Tiap anak sesusianya sudah memiliki hand pon pintar termasuk Albara.

Siang itu Albara menuju parkiran sepeda di sekolah dasar berniat untuk pulang kerumahnya, namun diparkiran Albara berpapasan dengan Laila teman sekelas nya.

"Halo teman ku apa kita akan pulang bareng" ucap Albara pada Laila.

"Tidak aku masih akan mampir di rumah abi Sodik" ucap Laila karena memang mereka memiliki arah yang berbeda.

"oya Lai apa Khoiril masih suka ganggu kamu?" tanya Albara.

"Iya Bar kemaren kami sama Doni di pukuli lagi sama Khoiril, gara gara kami nolak saat di suruh beli cincin mainan seharga lima puluh ribu" kata Laila sedih.

"cincin apaan kok segitu mahalnya!?" tanya Albara.

"Kata Khoiril itu cincin pintak pinto, apa saja yang kita minta akan terkabul" kata Laila.

"Ku dengar abi Sodik membuka gelanggang silat dan mulai menerima murid baru, makanya Laila mau belajar silat biar bisa melawan Khoiril ." sambung Laila.

"Apa Albara juga mau daftar,?" tanya Laila.

Berpikir sejenak, memang belakangan perguruan bela diri juga marak di kota mereka, dari kungfu, karate, tekwado, tarung drajat, bahkan silat lokal seperti berlomba menerima murid. Karena teman akrabnya Laila akan nendaptar di gelanggang silat, tanpa ragu Albara memutuskan untuk mendaftar juga.

"Ok aku juga mau daftar" jawab Albara.

Dengan sepeda masing masing, mereka menuju rumah abi Sodik.Teman sekelas Albara hanya Laila yang mendaftar di gelanggang silat, hal ini membuat mereka semakin akrab. Pencak silat yang mereka pelajari adalah silat kono yang turun temurun.

Pada zaman dulu kepulawan indonesia merupakan satu kesatuan dan masih nyambung dengan dataran asia kota mereka adalah kota kuno yang di lewati jalur perdagangan dari benua Kunlun atau di kenal dengan Daratan Hindia (dataran yang meliputi kepulawan Nusantara zaman dahulu) sehingga di Asia mereka di kenal sebagai orang Hindia, dan ilmu silat nya dikenal dengan jurus Hindia, dan ilmu pedang mereka di kenal dengan ilmu pedang Hindia (Kun Lun Pay).

Begitulah ilmu silat ini sangat di segani di dunia sejajar dengan ilmu silat Saolin dan lain lain. Albara dan Laila sangat berbakat dalam dua tahun mereka sudah menguasai jurus Hindia dari tangan kosong, tongkat, tombak, cambuk, dan ilmu pedang. Baik jurus tangan kosong atau bersenjata, silat Hindia bertolak pada keahlian menghindari serangan lawan, mengelak, menangkis kemudian memberikan serangan maut pada lawan