Cliera yang masih berada di garasi mendengus kesal lantaran ban mobil yang akan ia tumpangi kempes, sementara mobil yang lain tak tahu kuncinya dimana. Sebal rasanya. Sudah tidak salah lagi, ini pasti kerjaannya si Ulin.
"ULIN, SIALAN LO!"
Astaga. Ingin rasanya Cliera membanting barang yang ada disekelilingnya. Namun sayangnya terpaksa Cliera tunda karena jam yang melingkar di tangannya kini menunjukkan pukul setengah tujuh. Gawat, bisa-bisa Cliera telat kalau begini! Cliera secepatnya ngibrit dan pergi dari rumahnya.
Lagi pula percuma saja bila Cliera ke sekolah dengan mobilnya, toh di pasti akan memakan waktu lama, tau sendiri padatnya kendaraan di Jakarta saat pagi?
"Mana ojol pake cancel segala lagi. Gue ke sekolahnya gimana dong?"
Cliera merutuki dirinya sendiri. Ini semua pasti sudah direncanakan oleh papanya. Semalam Cliera tidak sengaja tersandung saat membawakan kopi untuk papanya, dan kopi tersebut tumpah membasahi seluruh berkas penting yang sedang papanya kerjakan. Akhirnya, Cliera dihukum tidak boleh mengendarai mobil lagi ke sekolah.
"Masa gue harus naik bis sih?" monolog Cliera. "Ihh, ogah banget! Pasti sumpek deh, udah gitu didalem pasti desak-desakan. GUE GAK MAU!"
Cliera mencoba meminta bantuan kepada teman-temannya, tapi sialnya mereka sudah tiba di sekolah semua.
Gawat! Setengah jam lagi bel masuk!
Terpaksa, Cliera berlari menuju halte. Untung saja dia tidak ketinggalan bis yang mengarah ke sekolahnya.
Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, Cliera akhirnya tepat waktu sampai di halte. Bis yang akan dia tumpangi tiba. Tak mau buang waktu, Cliera segera masuk kedalam bis.
Ramai penumpang, dan ini yang paling Cliera benci! Harus berdesak-desakan, mana didalam bis bau banget. Rasanya Cliera mau muntah sekarang juga.
Cliera hendak duduk, tapi seorang cowok malah mengagetkannya dan tiba-tiba saja menyerobot tempatnya.
"Woy, lo gak punya sopan san-"
Cliera membelalakkan matanya, melihat siapa lawan bicaranya membuat Cliera ingin memaki orang itu.
"ELO?!"
"Eh, ada Lie juga ternyata?"
Rayhan. Cowok gaje itu lagi.
"Ooh, lo mau duduk disini? Yaudah, silakan."
"Eh, eng-nggak usah. Gak apa-apa, biar gue berdiri aja." Cliera memalingkan wajahnya.
"Gak apa-apa kali, santai aja. Kalo berdiri nanti kaki lo pegel, mending lo duduk."
Bener juga sih. "Yaudah deh gue duduk."
Rayhan beranjak dan membiarkan Cliera duduk di kursi penumpangnya.
"Lo... gak apa-apa?" tanya Cliera ragu.
"Gue? Emangnya gue kenapa?" Rayhan balik bertanya. "Tenang aja, gue udah biasa kok desak-desakan kek gini." Rayhan mengacak-acak rambut Cliera dan membuat si empunya menggeram kesal.
Cliera berdecak kesal, "apaan sih! Kan jadinya berantakan!"
"Manis."
"Apa?!"
"Hah? Apa?"
"Elo yang apa?"
"Gue apa? Gue... iron men?"
"Dasar gaje!"
Rayhan terkekeh kecil sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Cliera. Kenapa gadis itu begitu menggemaskan sih? Boleh Rayhan karungin terus bawa pulang?
"Dihukum lagi Ray?" tanya mang Iwan-kenek bis.
"Iya, mang. Miris banget dah idup gua,"
Mang Iwan memang sudah mengenal Rayhan dari SMP, dia tau Rayhan anaknya seorang polisi, tapi karena bandel dia sering dihukum ayahnya ke sekolah sendiri naik bis dan kebetulan Rayhan adalah penumpang langganannya.
"Ketauan bolos lagi?" tanya mang Iwan.
"Mang Iwan banyak tanya ah, kaya investigasi penjual boraks!"
"Yee, budak bangor!" Mang Iwan menoyor kepala Rayhan dan membuatnya meringis kesakitan.
Melihat seorang nenek-nenek yang masih kebingungan mencari tempat duduk, Cliera menarik lengan si nenek dan menyuruhnya untuk duduk di tempatnya.
"Nenek duduk disini aja." Cliera tersenyum hangat pada nenek-nenek itu.
"Makasih ya, Cu."
"Iya, sama-sama."
Dari sekian banyak gadis yang dia kenal, baru kali ini dia bertemu dengan gadis seperti Cliera.
"Kenapa tempat duduknya di kasih ke si nenek?" tanya Rayhan.
"Lo gak liat? Nenek itu udah tua, dia pasti gak kuat berdiri lama. Sedangkan gue? Gue masih sehat, mau berdiri berjam-jam pun gue masih kuat kok."
"Lo cewek baik, Lie." Rayhan tersenyum lebar hingga menampilkan sederet gigi putihnya.
"Gue gak sebaik yang lo kira, Rayhan."
Senyumnya perlahan memudar. "maksudnya?"
"Lupain!"
Tak lama kemudian segerombolan anak sekolahan sepantaran mereka memasuki bis dan membuat bis semakin padat.
Cliera merasa sesak karena terhimpit oleh orang-orang yang lewat.
Sadar jika Cliera terusik oleh orang-orang itu, Rayhan sigap menghalangi tubuh Cliera dengan tubuhnya. Tangan kanan Rayhan digunakan untuk berpegang, sedangkan yang satunya memegang kursi dan mengunci tubuh Cliera. Posisi mereka seperti sedang saling berpelukan.
"Lo aman." bisik Rayhan. Cliera mendongkrak, jarak diantara mereka sangatlah dekat. Hembusan nafas Rayhan
juga dapat Cliera rasakan.
"Jangan terlalu serius ngeliatin nya, nanti suka gue gak tanggung jawab!"
Cliera membuang wajahnya sebal. "Apaan sih!"
Rayhan terkekeh kembali.
Lima belas menit berlalu, mereka sampai di sekolah tepat waktu. Rayhan menghampiri kenek bis dan membayar dengan selembar uang kertas berwarna biru.
"Waduh, gak ada kembaliannya, Ray." ujar Mang Iwan.
"Beneran gak ada mang?" tanya Rayhan.
"Iya, gak ada." jawab Mang Iwan.
"Nyelip di sempak kali, periksa dulu!" celetuk Rayhan.
"Beneran gak ada, Rasa!"
"Rayhan! Bukan Rasa!" ralat Rayhan. Kenek bis malah cengengesan saja.
Rayhan menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. "Terus gimana dong? Gratis aja lah, itung-itung sedekah sama penumpang langganan yang paling ganteng ini!"
Perlu diberi apresiasi. Tingkat kepedean Rayhan memang sudah berkelas.
"Rugi atuh, Ray! Kasbon yang minggu kemarin juga belum di bayar. Lagian duit kamu kan banyak, harusnya kamu yang sedekah sama saya!"
"Dih, Mang Iwan minta sedekah sama anak SMA?"
Rayhan itu pelit, medit. Pernah Rayhan tidak sengaja tertipu tukang bubur yang suka mangkal di sekitaran rumahnya. Kembalian kurang gope doang padahal, tapi selalu dia permasalahkan. Katanya, gak boleh serakah, hak orang harus dikembalikan ke pemiliknya.
Rayhan bahkan mengancam si tukang bubur kalo dia sudah korupsi, dan akan bilang ke ayahnya melaporkannya ke KPK bila kembaliannya masih kurang. Sampai sekarang, kabar si tukang bubur menghilang. Mungkin parno ketemu orang sinting macam Rayhan.
Cliera yang mendengar samar-samar percakapan yang terjadi di antara Rayhan dan supir angkot merasa sedikit risih. Dia menepuk pundak si kenek bis dan membayar ongkosnya.
"Ongkos saya. Kembaliannya buat bayar punya dia!" ketus Cliera yang mendelik tajam pada Rayhan.
Rayhan mendongkrak wajahnya menatap Cliera. Apakah barusan Cliera menolongnya? Duh! Rayhan kan jadi kepedean.
Cliera turun dari bis dan segera masuk ke dalam sekolah sebelum gerbang ditutup. Tapi langkahnya terhenti karena Rayhan mencekal lengan kanannya.
"Lie, makasih ya?"
Rayhan memberikan cengiran tak berdosa nya pada Cliera, geli sih tapi lucu. Namun gadis berkulit putih itu selalu mengacuhkannya. Lebih tepatnya, mengacuhkan semua orang yang mengganggunya.
"Gak usah ge'er! Gue cuma mau balas budi!"
Bangke! Memang modal tampang doang gak menjamin menarik semua perempuan, buktinya Cliera, dia sama sekali tidak tertarik pada Rayhan. Rayhan sempat berpikir kalau Cliera itu tidak menyukai laki-laki alias lesbi, tapi pikirannya ia jauhkan saat melihat Cliera mengobrol dengan Gian tempo hari. Mana keliatan ketawa-ketiwi lagi. Bikin ngiri aja!
"Si Budi aja di bales, masa chat gue yang semalem gak dibales sih?" celetuk Rayhan.
"Males!" cuek Cliera.
Rayhan pasrah. Dia ngalah. Daripada membuat Cliera semakin membencinya, kan bahaya?!
"Eh, Lie. Btw nanti kalo duit gue udah receh gue ganti kok, tenang aja!"
"Di pikir gue pengamen apa dikasih duit receh?!" sewot Cliera.
"Ah Lie, lawakannya kurang lucu ih, nanti belajar sama gue ya?"
"Haram!" sarkas Cliera.
"Emangnya gue daging babi apa ya dibilang haram?" gumam Rayhan.
Cliera melepas cekalan tangan Rayhan dan pergi begitu saja. Lagi-lagi Cliera menghembus nafas kasar. Sekumpulan orang gila tengah menghadangnya.