"Lo kuat! Gue yakin lo pasti bisa ngelewatin semua ini. Pasti!"
Cliera tidak tahu lagi harus bercerita pada siapa, satu-satunya orang yang selalu ada menghibur Cliera hanya Rayhan, hanya dia yang mampu membuatnya tersenyum. Cliera menceritakan semuanya pada Rasya, dia tidak kuat menahan semuanya sendirian.
"G-gue gak tau harus gimana la-gi, Ray? Gue s-sayang sama nyokap gue. Kenap-pa dia jahat? Kenapa dia tega nyakitin hati gue sama bokap gue?Gue-" Cliera semakin mengencangkan tangisnya.
Rayhan mengelus rambut Cliera, menyalurkan semangat pada gadis itu. "Udah, semuanya udah terjadi, Ra. Sekarang cuma satu yang harus lo pikirin, gimana caranya supaya orang tua lo balik lagi. Mereka akur lagi. Mungkin semuanya cuma salah paham, nyokap lo pasti punya alasan."
Cliera mendongkrak, "salah paham lo bilang? Lo gak tau kejadian yang sebenarnya! Lo gak tau apa-apa, Rayhan!" Cliera menunduk. Lagi, dia menangis tersedu, lagi.
"Sekarang gue tanya sama lo. Apa dengan lo nangis semuanya akan kembali kaya semula? Gak ada gunanya lo nangis, cuma buang-buang air mata!"
Benar. Percuma Cliera menangis dan memberontak pada keadaan. Nyatanya, semua tidak akan berubah.
"Gue tau gak mudah jadi lo, karena gue juga pernah berada di posisi lo. Tapi gue janji, gue akan bantu lo bangkit. Lie yang gue kenal gak cengeng kaya gini, dia kuat. Lo pasti bisa!" Rayhan mengusap air mata Cliera, dia sangat iba melihat sosok Cliera yang seperti ini.
"Kita pulang sekarang ya? Orang tua lo pasti udah nungguin anaknya, mereka sayang sama lo, Ra. Meskipun nyokap lo udah ngecewain lo, seenggaknya lo maafin dia. Semua manusia pasti melakukan kesalahan, kan?"
Rayhan benar. Semua manusia pasti pernah salah, tidak selamanya benar. Cliera mengangguk dan meminta Rayhan untuk mengantarnya pulang.
"Bangun!"
"Hah?"
Rayhan mengulurkan tangannya, "Io harus bangkit dari semuanya, semua kesedihan lo harus lo buang jauh-jauh."
"Caranya?"
Rayhan menggerakkan tangannya agar Cliera meraihnya. "Lo mau kan ngerubah hidup lo?"
Cliera mengangguk, jelas dia sangat mau.
"Pegang tangan gue. Kita lewatin semuanya sama-sama ya? Gue yang akan nemenin lo bangkit."
Cliera menerima uluran tanga Rayhan, tersenyum lalu beranjak dari duduknya.
"Lo gak akan ninggalin gue kan, Ray?"
Walaupun tidak yakin, tapi Cliera dapat melihat ada ketulusan dari sorot mata Rayhan.
"Iya, gue gak akan pernah ninggalin lo, Lie."
"Makasih, gue sayang sama lo," Cliera menarik Rayhan kedalam pelukannya, walaupun dia tau Rayhan hanya diam tak membalas.
Rayhan berharap Cliera tidak sungguh-sungguh mengucapkannya. Kenapa disaat mengetahui bahwa gadis itu menyayangi Rayhan pun merasakan hal yang sama? Apa dia juga menyayangi Cliera?
"Gue... gue anterin lo pulang ya?" Rayhan mengurai pelukannya.
Cliera tersenyum kecut, untuk apa juga dia harus berharap Rayhan mengatakan hal yang sama? Dan kenapa juga dia harus... kecewa?
"Rayhan?"
"Hmm?"
"Gue..."
Cliera menjeda ucapannya, "gue boleh minta tolong gak?"
"Apapun itu, minta tolong apaan?"
"Anterin gue ke rumahnya Gian, gue masih belum pengen pulang, males juga dengerin mereka berantem. Pliss ya? Anterin gue kesana?"
"Kalo udah di rumahnya Iyan, lo mau apa?" ketus Rayhan, kenapa sih Cliera harus bawa-bawa nama Gian?
"Ya, gue mau nginep di rumahnya dia."
"Hah?!"
Rayhan berbohong. Dia tidak mengantarkan Cliera ke rumah Gian melainkan rumahnya sendiri. Cliera sudah mencoba untuk membujuk Rayhan, tapi cowok itu sama sekali tak menghiraukannya.
"Gue gak mau pulang, Rayhan!"
"Ini udah sore, bentar lagi gelap. Kalo lo gak pulang lo mau kemana?"
"Kan udah gue bilang kalau gue mau ke rumahnya Gian, lo lupa?"
"Gue gak bego ya untuk ngebiarin lo tinggal di rumahnya dia. Lo pikir aja, Ra, Gian itu tinggal sendirian, apa kata orang kalo kalian tinggal serumah? Lo mau dituduh yang macem-macem?"
"Apa peduli gue sama omongan mereka? Lagian siapa juga sih yang mau macem-macem sama Gian? Orang gue sama dia itu-"
"Lo sama dia apa? Kalian berdua ada hubungan apa sih sebenernya?"
Cliera diam sejenak, membasahi bibirnya yang kering.
"Umm... itu, gue sama Gian... kita cuma temenan! Iya, lo kan tau kalo gue sama Gian sahabatan dari kecil,"
"Tapi kedekatan kalian itu gak wajar,"
"Gak wajar gimana maksudnya? Udah ah gue kesana sendirian aja, minggir!"
Rayhan merentangkan kedua tangannya menghalangi jalan Cliera, "lo gak boleh pergi! Kalo Io kesana gue juga harus ikut!"
"Lo apa-apaan sih, Ray? Tadi lo ngelarang gue, sekarang Io bilang mau ikut. Mau Io apa?!"
"Mau gue lo jauh-jauh dari Gian!" hardik Rayhan.
Cliera berdecih, "hak Io apa ngelarang gue gak boleh deket sama Gian? Denger ya, Rasya, gue kenal Gian jauh sebelum lo kenal sama dia. Jadi jangan sekali-kali Io ikut campur urusan gue sama dia, karena disini lo gak tau apa-apa!"
Cliera berjalan dengan tergesa sampai menyenggol tubuh Rayhan. Namun sayang, Rayhan kembali mencekal lengan Cliera.
"Gue anterin, kerumah Abigail."
Ah iya! Cliera sampai lupa kalau Gian dan Abigail itu tetanggaan.
"Oke."
***
Cliera melihat jam yang melingkar di tangannya kini sudah pukul setengah enam pagi, dan dia masih menggeliat di atas kasurnya. Astaga! Dia lupa kalau dia menginap dirumahnya Abigail.
Cliera mengambil ponsel yang ia taruh di nakas karena dari tadi sudah berdering. Cliera pikir ada yang menelponnya, dan benar saja, terdapat puluhan panggilan tak terjawab dari Gian.
Cliera melirik orang disampingnya, dia masing tertidur pulas. Biar Cliera tebak, Abigail pasti bergadang semalaman. Gadis itu paling tidak bisa tidur dibawah jam 12 malam.
Seperkian detik, Cliera mendengar ada yang menggedor jendela kamar Abigail, Cliera tidak tau siapa pelakunya karena kebetulan gorden masih tertutup. Dia mendengar seseorang membisikkan sesuatu, lantas beranjak dan menghampiri orang tersebut. Dibuka gorden tersebut dan,
"Iyan?"
"Kebo! Gue telpon dari subuh, padahal HP lo aktif Iho, Ra, tapi kenapa gak diangkat?" gerutu Gian, dengan tidak tahu malunya cowok itu menerobos masuk ke dalam kamar.
Jika dilihat-lihat, sepertinya cowok itu sudah mandi, terlihat dari rambutnya yang masih basah dan jangan lupakan cowok itu tidak pernah absen menunaikan kewajibannya.
"Lie?" terdengar Abigail menggeliat, "lo udah bangun? Eh itu sia-IYAN?!" pekik Abigail saking kagetnya. "Lo ngapain ke kamar gue pagi-pagi buta? Lo ngigo ya?"
"Siapa juga yang ngigo sih? Orang gue kesini mau nyamperin Cliera,"
Abigail membulatkan mulutnya, "yaudah, kalian berdua ngobrol aja, gue mau ke kamar mandi dulu." pamit Abigail, sebenarnya ada perasaan tidak rela sih meninggalkan Cliera dan Gian berduaan, di dalam kamar pula. "Jangan acak-acak kamar gue lo, awas aja!" tuduh Abigail pada Gian.
"Iye ah, bawel lo. Udah sana mandi!" Abigail turun dari kamar.
Menatap gadis di depannya itu sambil bersedekap dada, Gian tau masalah gadis ini tidak pulang ke rumah. Kenapa Gian bisa tau? Karena gadis itu yang selalu cerita padanya, Cliera paling tidak bisa menyimpan masalahnya sendiri.
"Berantem lagi?"
Cliera mengangguk samar, "ya gitu,"
"Masalahnya?"
"Papa sama mama mau cerai, mereka berantem karena gue." ucap Cliera, "gue bingung, Iyan. Gue gak tau harus ngapain sekarang,"
Gian mengangguk paham, "yaudah, untuk sekarang gue izinin lo tenangin diri. Tapi jangan lama-lama, lo juga harus pulang, Ra."
"Lo sendiri? Kapan mau pulang?"
"Udah siang, cepat sana mandi!" titah Gian.
Cliera mendengus kesal, "jangan ngalihin pembicaraan, Iyan. Gue tau Io sebenarnya-"
"Gue balik dulu," Gian membuka jendela kamar lalu meloncat keluar.
Cliera menyenderkan punggungnya pada dinding, "menghindar mungkin jauh lebih baik," gumam Cliera.