Keluarga Chang, khususnya istriku, gemar sekali beramal. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk membagikan pakaian-pakaian lamanya kepada para pembantu seperti Ayu.
Pakaian bekas dari istriku banyak yang masih kebesaran di tubuh Ayu yang mungil.
Baju terusan tanpa lengan dengan warna cerah, adalah baju kesukaanku bila dikenakan oleh Ayu. Tubuh moleknya dan kulit kecoklatannya menjadi lebih manis dengan setelan itu. Aku dapat mengamati ketiak dan sebagian buah dadanya dari celah di bawah lengannya.
Entah aku yang kesetanan, ataukah dirumahku ini sekarang sudah ada setan yang namanya Ayu. Geliat tubuhnya dan manis wajahnya menggoda ku setiap saat. Tatapan mataku padanya kini penuh nafsu. Biasanya, Ayu tak perduli akan itu, tapi setelah kedua peristiwa itu, Ayu jadi lebih berhati-hati dan menghindari aku.
Aku pun merana karena kesempatan untuk mengajaknya membicarakan apa yang dia lakukan padaku tak pernah kunjung datang, apalagi untuk mengajaknya melakukannya lagi.
Rasanya mustahil sekali, aku segan sama ibunya; Mbok Yan. Aku tak mau kedapatan telah menghianati nyonyanya. Aku tak mau kehilangan keistimewaanku sebagai anak mantu Tuan Chang, lantaran nafsu sama anaknya yang masih dibawah umur.
Tapi, bagaimana itu?
Ayu itu mengulum ku! Tuannya.
Dia yang mulai duluan.
Bagaimana coba?
Bagaimana aku tidak tergiur padanya?
Pikiranku jadi mumet tak karuan.
Kapankah Mbok Yan dapat pergi cukup lama?
Kapankah istriku tak ada dirumah?
Oh iya, Anakku itu juga, dia harus sudah terlelap agar kebejatan ini dapat ku tunaikan.
"Aku harus punya siasat!" kataku bertekad.
Berhari-hari aku memelihara ingatan akan hangat kulumannya dan kepalanya yang turun naik di selangkanganku.
Kini, setiap Ayu mengangkat-angkat tangannya ke atas; Ketiaknya yang mulus seperti mencontohkan padaku seperti apa isi celana dalamnya. Lipatan-lipatan di ketiaknya seperti mesra memanggil-manggil ku, Memintaku menjilatinya.
Aku ngiler pada nya, dan setiap dia tahu itu, dia menghindari tatapanku, gerakan tubuhnya seperti mengucap "Jangan tuan. aku ini cuman pembantu!"
Sebuah kebetulan pula akhirnya.
Pada sebuah pagi Sofi menunggu supir dari rumah sakit yang biasa menjemput yang tak juga datang, Dia meminta aku mengantarnya.
Istriku mengajak anakku beserta Ayu agar ikut mengantarnya bersama aku. Sofi mau anaku menemaninya. Anakku sedang lucu-lucunya memang.
Kini Ayu terjebak sudah. Sepanjang perjalanan, dia canggung padaku, sementara istriku bercanda geli dengan anakku di kursi belakang. Ayu tahu aku memperhatikannya sepanjang perjalanan.
Bagaimana tidak mataku membuatnya bergindik? Aku telah dibuatnya seperti ini.
Betapa tidak sabarnya aku untuk menerkamnya, begitu istriku turun dari mobil.
"Koh!" panggil istriku menepuk pundakku. "Aku turun yah! Si dede biarin tidur dulu." Pintahnya kemudian ke Ayu agar menjaga anakku di bangku belakang.
Sofi mengecup pipiku dan berlalu ke dalam rumah sakit meninggalkan kami di dalam mobil yang tiba-tiba sepi.
Ayu sadar telah membuat aku nafsu padanya. Dia kini membuang wajahnya melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Sesekali Ayu tersenyum-senyum saat tahu aku mengamatinya dari kaca spion.
"Yu. kamu suka nonton aku dan si non?" tanyaku membuka pembicaraan.
Ayu tak menjawab, dia hanya tersenyum dan menunduk, sesekali juga memberi perhatian ke anakku yang sedang terlelap.
"Kamu mau lanjutin yang kemarin?" tanyaku melirik melalui kaca spion.
Ayu tersenyum tak berani menjawab.
"Mau?" tanya aku lagi. Ayu tetap mengacuhkan pertanyaanku.
"Wan, jangan genit ya!" Balasnya bernada manja. "Loh kok aku yang genit?" tanyaku padanya.
Ayu terdiam. Aku bisa menangkap senyum yang coba disembunyikannya.
"Baiklah Yu. kalau kamu tidak mau. Saya ceritakan ya; kenakalan mu ke Mbokmu."
Sontak, Ayu segera membalasku; "Ih! Jangan wan!"
"Makanya kalau ditanya itu jawab." balasku menekannya.
"Kamu mau gak?" tanyaku sekali lagi.
"Wan! Ayu takut." balasnya malu-malu.
Aku pun tersenyum mendengar jawabnya.
"Sini Yu, Kamu pindah ke depan Yu", suruhku padanya. Aku menghentikan mobil di tepian jalan yang sepi, dan membukakan dia pintu.
"Pindah ke sini, si dede biar tidur sendiri." Pintaku padanya.
"Wan mau ngapain?" tanya Ayu gemetar.
"Aku mau kamu selesaikan yang kemarin dong Yu."
"Maksud tuan?"
"Ya Tuhan, Yu!" balasku kesal.
"Sini! isep anuku. Selesaikan yang kamu bikin kemarin." kataku memaksanya.
"Wan, gila ya!?" Jawabnya menolak sambil menoleh ke segala penjuru mengamati keadaan.
"Oh, jadi kamu maunya di depan si mbok? ya?" balasku mengancam dan memaksanya. "Sini! cepet!"
Ayu pun menurutiku melawan ketakutannya. Dia pindah ke bangku depan menunduk takut terlihat orang.
"Kapan lagi sih Yu, bisa sama kamu begini." kataku membuka resletingku mengeluarkan penisku yang sudah ereksi membayangkan genitnya Ayu ketika memainkan kontolku dengan mulutnya.
Ayu masih saja menoleh kekiri dan kanan, tak percaya keadaan sudah sepi bagi dia dan aku, dan perlahan-lahan menyusuri selangkanganku.
"Nah! begitu dong Yu." kataku senang.
Terjawab sudah kerinduan ku untuk merasakan kembali mulut Ayu. Rambutnya kubelai-belai sambil menikmati serumputannya. Sedap sekali rasanya melihat wajahnya yang manis mengulum kontolku perlahan-lahan.
"Kamu suka yu?" tanyaku menggodanya. "Enak banget loh kamu. Pinter!" Pujiku padanya.
"Yu! gini Yu!" Kataku mendorong selangkanganku melesakkan batang penisku masuk ke mulutnya, diikuti dengan mata Ayu memejam segera lalu terbatuk-batuk.
"Jangan Wan! Belum bisa!" jawabnya menyeka mulutnya yang penuh dengan liur, matanya berair, dan pipinya memerah.
Perlahan Ayu kembali menjilati kepala kontolku seperti yang dia lakukan pagi itu. Lidahnya melumuri seluruh kontolku dengan liurnya, kulum bibirnya dan gerakan lidahnya membuat aku nyaman sekali. Jelas dia belajar karena sering melihat istriku, dia melakukannya persis istriku. Dia penonton yang baik!
Dijilatnya kepala kontolku dengan nakal; Dikulum dan disedot-sedot perlahan. Diangkatnya batang penisku untuk dijilatinya terus menerus dari bawah hingga ujungnya. Kanan, kiri, tengah lalu kembali dikulumnya.
Setelah ereksiku memuncak, Ayu meremasnya dan mengambil nafas sebelum berusaha menelannya lebih dalam memaksa dirinya menjadi lebih dewasa.
"Itu Pintar!" pujiku padanya. Aku mengusap wajahnya, dan air matanya pun jatuh berlinang.
"Kok kamu nangis yu?" tanyaku membelai. Ayu memukul pahaku, dan menjawab terengah-engah. "Ini! agan punya jahat!" lalu kembali mengulumnya.
Dorongan hasratku tak terbendung, segera aku ejakulasi dibuatnya. Spermaku muncrat ke wajah dan mulutnya. Aku pun mengerang keenakan.
Ayu bangkit menjauhi selangkang ku, segera membersihkan wajahnya dengan ujung bajunya.
"Wan! Ayu takut wan!" ujarnya mengamati penis ku yang masih berdenyut-denyut.
"Takut apa sih?" tanyaku sambil menariknya kembali mendekat.
"Ayu takut hamil, Wan!" Jawabnya lugu memandangku polos.
"Ah kamu! di mulut mah ndak hamil dong." balasku menarik kembali kepalanya ke selangkanganku.
"Ayo, Buka mulutmu!" pintaku memaksanya "Hisap semua Yu! aku suka banget diginiin."
Ayu pun menurutiku.
"Bersihkan Yu! biar ndak ada yang tahu." kataku mempermainkannya, "kita tidak mau orang pada tahu, kan?" pintaku agar dia menjilat sisa spermaku.
Wajah Ayu terasa kaku melakukan ini padaku. "Wan! jangan lapor si mbok ya." Katanya kemudian
Dia tidak tahu, aku lebih takut ketimbang dirinya.
Beberapa hari kemudian.
Istriku, harus berangkat ke daerah lain selama 3 hari, untuk sebuah proyek sosial gereja, yang dia kerjakan bersama teman-temannya. Sofi meminta aku untuk sementara tidak ke pabrik agar dapat memberi perhatian pada anakku, bagaimanapun dia merasa akan tenang bila aku mengawasi anakku yang diasuh oleh Ayu selama dia tidak dirumah.
Iblis didalam diriku akhirnya menggelar tahtanya.