"Kumohon jangan .... Sebaiknya kalian bunuh saja aku daripada merenggut kehormatanku," ucapku memohon pada tiga lelaki itu. Tetapi, mereka makin beringas. Aku masih mencoba melawan sekuat tenaga.
Bug!
Kepalan tangan salah satu lelaki itu tepat mengenai hidungku. Sakit teramat sangat, membuat pandanganku seketika kabur. Terasa darah mengalir ke bibir.
Dengan tenaga yang masih tersisa, aku membalas dengan menendang kemaluan salah satu lelaki itu. Dia marah lalu menusuk pahaku dengan pisau. Merobeknya. Dua orang lagi memegangi tanganku. Lalu, merampas kehormatanku secara paksa.
"Ibu!!!" teriakku terbangun dengan napas tidak beraturan.
Ibu datang, lalu menenangkanku. Sudah tiga hari ini aku terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit. Mimpi buruk tentang apa yang sudah kualami, terus terulang. Menyisakan trauma dan amarah yang luar biasa di dalam hati. Ah, kapan Bapak dan Ibu Polisi membawa kabar baik untukku.
"Bu, apakah sudah ada kabar dari kepolisian?" tanyaku, kembali menangis terisak.
"Sabar, Sayang, yakinlah mereka pasti akan menemukan pelakunya," bisik Ibu ikut menangis.
"Vi akan balas dengan tangan Vi sendiri. Mereka juga harus hancur. Vi tidak terima dengan perlakuan bejat mereka!" pekikku kembali histeris, mengamuk. Ibu memelukku erat, membacakan ayat suci Al-Qur'an ke telingaku. Suaranya berat diiringi tangisan yang membuatku merasa bertambah hancur.
"Nak, bukankah ada Sang Mahahakim. Ada mahkamah tertinggi di atas mahkamah dunia. Teruslah berdoa, minta yang terbaik dari Allah," ucap Ayah menenangkanku.
Perawat datang kembali memberikanku suntikan penenang dosis rendah, rasanya nyaman seketika melandaku. Kemudian aku tertidur.
Tiga hari kembali berlalu, pihak kepolisiaan membawa kabar baik, bahwa pelakunya sudah ditangkap. Dua orang di antaranya ditemukan meninggal karena overdosis, dan satu orang lagi, sudah diamankan di polres. Setelah diamuki massa terlebih dahulu.
Yang paling memprihatinkan adalah, usia mereka lebih muda dariku. Anak-anak orang kaya yang tidak mendapatkan kasih sayang orangtua mereka.
Aku bersikeras ingin menemui pelaku, hanya saja tidak diizinkan. Padahal ingin sekali aku menampar wajahnya bertubi- tubi.
"Ayah, bagaimana dengan hukuman anak di bawah umur?" "Serahkan semua pada pihak berwajib, Nak. Vi sekarang
fokus dengan kesehatanmu saja. Ingat, ada Allah. Balasan itu sesuai dengan perbuatan," bisik Ayah.
"Vi harap hukumannya setimpal, Yah," lirihku.
"Iya, Nak, sekarang tenanglah," jawab Ayah tersenyum. Beliau membimbingku terus beristigfar mengingat Allah. Begitu bersyukurnya aku memiliki orangtua yang bisa menjadi air di saat hati tersiram panasnya api dendam.
Entah apakah aku akan kembali melanjutkan sekolah, sedangkan perasaan malu terus menghantui. Bahkan meski guru dan teman-teman mengunjungiku silih berganti. Memberikan semangat dan dorongan agar aku tetap melanjutkan pendidikan. Trauma yang kualami semakin dalam, aku bahkan tidak bisa lagi percaya orang lain. Selain orangtuaku.
"Maaf, hasil pemeriksaan bekas tusukan di paha Dek Vivi mengalami infeksi. Mungkin Adek akan kembali dirawat beberapa hari lagi. Perbanyak makan sayur, ya," ucap Ibu Dokter tersenyum padaku.
Saat mendengar ucapan dokter tadi rasanya harapan hidupku semakin sirna. Ya Allah, kenapa sungguh berat ujian-Mu. "Bu, apakah Vi akan baik-baik saja?" tanyaku menangis
pada Ibu.
"Insyaallah akan baik-baik saja, Sayang. Ingatlah setelah badai akan ada ketenangan, cahaya yang menyinari jalan Vi menuju masa depan yang indah."
"Di mana Allah, Bu, saat Vi diperkosa? Bagaimana Vi bisa menjalani hidup ke depannya?" tanyaku lagi, kali ini rasanya dadaku sangat sakit.
"Sttt ... Allah itu selalu ada, Sayang. Allah itu selalu bersama orang-orang beriman. Vi anak salihah, selalu menurut apa kata orangtua. Insyaallah ini semua karena Allah sayang. Kita wajib mengimani qada dan kadar. Takdir buruk tidak selamanya buruk jika dijalani dengan ikhlas. Anak Ibu kuat, hebat. Ibu yakin kamu pasti bisa melalui semuanya," jawab Ibu kembali menenangkanku. "Nak, apa yang menurut kita baik itu belum tentu menurut
Allah baik, dan apa yang menurut kita tidak baik, belum tentu menurut Allah tidak baik. Maka yang paling tepat adalah berdoa pada Allah mintalah yang terbaik menurut-Nya. Kita tidak tahu tentang masa depan, tetapi Allah tahu. Jadi, saat ini cobalah rida untuk ketetapan Allah. Yang pasti, Ayah dan Ibu terus berusaha yang terbaik untuk Vi," tutur Ayah berusaha menenangkanku.
Beberapa hari selanjutnya aku masih dirawat, sambil menunggu kabar lebih lanjut dari pihak kepolisian yang sedang melakukan olah TKP. Orangtua pelaku datang menemuiku, meminta tolong agar aku bisa memaafkan anaknya. Namun, bagaimana aku bisa memaafkan orang yang sudah merusak masa depanku? Membuat badanku penuh dengan jahitan, kakiku terinfeksi, dan merusak kehormatanku.
Menatap wajah ibu si pelaku membuatku muak. Tidak tampak guratan iba dalam ekspresinya saat dia melihat kondisiku. Dia hanya meminta maaf karena anaknya belum dewasa dan masih labil. Spontan, kusiramkan air ke wajah ibu itu. Ayah dan Ibu kembali menenangkanku. Ibu mendekapku erat, agar tidak sampai mengamuk.
"Walau bagaimanapun, aku tidak akan memaafkan anak Ibu, sekarang silakan keluar!" teriakku.
"Kami akan membayar semua biaya pengobatanmu. Juga membiayaimu hingga ke perguruan tinggi, Ibu mohon," ucap ibu itu kembali.
Kutarik selimut menutupi wajah, tidak ingin menatap ibu pelaku itu lagi.
Cobalah mengerti kondisiku. Kenapa bukan permintaan maaf tulus yang dia lontarkan? Kenapa dia justru memaksaku memberikan maaf untuk anaknya. Seperti itukah adab orang kaya? Dia kaya harta, tetapi miskin hati.
"Tunggulah aku bertemu anakmu nanti. Akan kubuat dia menyesal," lirihku menangis di balik selimut.