ku sudah tidak punya harapan untuk hidup. Harga diriku hancur, tubuhku tidak lagi suci. Kehormatan yang sudah dijaga selama ini, sudah hilang di tangan tiga lelaki berandal.
Rasa sakit teramat sangat di sekujur tubuh, hawa dingin menusuk tulangku. Ingin diri ini bangkit tetapi tidak bisa. Ya Allah, jika hamba akan mati sore ini juga, hamba mohon pada- Mu, semoga jasad ini ada yang menemukan agar bisa dimandikan juga dikafani dengan layak.
Maafkan aku, Ayah dan Ibu, aku sudah berusaha memper- tahankan kehormatanku dan melawan sebisaku. Namun, semua sia-sia.
***
Apakah aku sudah berada di alam kubur? Kenapa ada cahaya yang menyinariku. Kulihat di sekeliling, ada beberapa orang yang mengenakan pakaian hijau dan memakai masker. Apakah mereka dokter? Syukurlah ....
Kemudian, semua berangsur menjadi gelap.
***
"Nak ," lirih Ibu mengelus pucuk kepalaku.
"Buuu!" pekikku ingin bangkit dan memeluknya.
"Sudah, istirahat dulu, kondisimu masih lemah, Sayang," ucap Ibu seraya menangis, dia terus menghujaniku dengan ciuman di kening.
"Aku diperkosa, Bu ...." Tangisku kembali meledak, ingin sekali memeluk Ibu tetapi badanku masih terasa sangat sakit.
"Ssstttt sudah, enggak apa-apa, yang penting kamu sudah
selamat. Ibu tidak akan ke mana-mana. Istirahatlah dulu," bisik Ibu.
Aku hanya terus menatap wajah malaikatku itu, tidak berani lagi jauh darinya.
Perawat datang dan menyuntikkan cairan ke selang infus.
Setelahnya, aku merasa sangat mengantuk.
***
"Saya menemukan adik ini di pematang sawah hilir, dalam kondisi mengenaskan tanpa busana. Darahnya di mana-mana, ada luka menganga di bagian paha. Saya kira adik ini sudah meninggal, tapi setelah kami periksa nadinya masih berdenyut, Pak. Jadi saya dan suami langsung mengangkatnya dengan gerobak kami."
Terdengar jelas suara seorang ibu. Aku ingin membuka mata, melihat siapa penolongku itu, tetapi tidak bisa.
"Ayah ... Ibu!" pekikku, akan tetapi mereka seolah tidak mendengar. Kenapa?
"Dia akan tertidur lebih lama karena pengaruh obat bius pascaoperasi tadi. Bapak dan Ibu banyak berdoa untuk Dik Vivi, semoga dia bisa melewati masa kritisnya." Samar-samar aku mendengar suara seorang lelaki yang sedang berbicara pada kedua orangtuaku.
***
Perlahan aku membuka kedua mata. Ruangan serba putih serta bau pekat obat menyambutku.
"Alhamdulillah," ucap kedua orangtuaku serempak, ketika mereka menyadari aku sudah sadar.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Ayah sembari mengelus pucuk kepalaku.
"Sakit, Yah ...," jawabku lirih, tidak bisa menahan air mata. Seluruh tubuhku terasa sangat sakit. Bahkan, kaki kiriku tidak bisa digerakkan.
"Kamu sudah dua hari koma, Sayang. Alhamdulillah, Ayah dan Ibu sangat bahagia kamu sudah sadar, Vi," bisik Ibu.
"Vi mau cerita!" pekikku masih menahan rasa sedih yang luar biasa.
"Ceritalah, Sayang, kebetulan di sini ada Bapak dan Ibu Polisi yang siap membantu Vivi," sahut Ibu.
"Jilbab Vi mana, Bu? Vivi enggak mau ketemu orang tanpa jilbab."
Setelah mengenakan jilbab, Ibu dan Ayah lalu mempersilakan kedua polisi penyidik bertanya padaku. Aku menceritakan semuanya dengan rinci, bahkan aku masih ingat betul wajah ketiga berandal itu.
Aku ingat bagaimana tiga lelaki berandal itu menarikku paksa, lalu merobek bajuku. Tidak hanya itu, saat mencoba melakukan perlawanan, salah satu dari mereka menangkap dan menusukkan pisau ke pahaku. Teriakan dan tangisanku justru mengundang nafsu setan mereka semakin besar. Dua orang memegangi tangan dan yang satu orang lagi merenggut kehormatanku, mereka melakukannya bergantian. Bahkan mereka memasukkan banyak rumput ke dalam mulutku, agar tidak bisa berteriak. Setelah puas, mereka berlalu dan meninggalkan tubuhku sekarat sendiri.
"Dik, jangan takut lagi. Kami akan mengusahakan semak- simal mungkin untuk segera menangkap pelaku, sekarang Adik banyak istirahat ya, nanti kami akan menjenguk kamu lagi," ucap Bu Polwan lembut kepadaku.
Aku mengangguk dan membalas senyumannya. Ya Allah ... tunjukkanlah kuasa-Mu.