Chereads / Lost in Asteria / Chapter 3 - chit-chat yang berakhir dengan kesialan lainnya

Chapter 3 - chit-chat yang berakhir dengan kesialan lainnya

"Hei, Karhu."

"Apa?" Karhu menoleh, menatap gadis yang duduk di sampingnya itu dengan bosan. Karhu sudah bilang atau belum kalau Varrel terlihat benar-benar kacau?

"Kau punya sesuatu untuk dimakan, tidak?"

"Kenapa? Kau mabuk perjalanan?" Karhu bertanya main-main. Akan tetapi, tebakannya kelihatannya tepat. Gadis ini terlihat pucat.

Sementara itu Varrel tak menjawab. Varrel ingin menyangkal pertanyaannya. Akan tetapi, begitulah adanya. Dia kedinginan (diperparah dia hanya mengenakan sehelai daun sekarang), lalu cairan asam yang naik memenuhi mulutnya karena ketinggian membuatnya tersiksa. Ini bahkan baru lima menit mereka terbang menaiki Inatra, si Burung Hantu. Demi apapun takut ketinggian adalah salah satu masalah terburuk yang Varrel miliki. Sial! Padahal dia ingin sekali melihat pemandangan di bawah sana.

"Aduh, jangan banyak tanya. Kau punya makanannya tidak, perutku sakit. Ughh..."

"Oh tidak, jangan muntah." Karhu dengan tergesa-gesa merogoh sesuatu di dalam tas daunnya.

Varrel melirik Karhu dengan tangan yang menutupi mulutnya. Dia berpikir tas itu mirip kantung Doraemon. Apapun keluar dari sana. Baju, gulungan tali sulur yang ternyata super panjang, peluit. Lalu, apa lagi ini yang akan peri itu ambil...

"Katakan dengan jujur. Sebenarnya tas rombengmu itu tas ajaib, kan, dan kau sebenarnya pesulap?"

Karhu diam saja, mengabaikan pertanyaan mengejek Varrel, membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya.

"Ambil ini." Karhu menyodorkan selebar daun pada Varrel.

Gadis itu mengernyitkan alis. "Hei, aku ini manusia bukan kambing. Kenapa kau malah memberikan aku daun?"

"Ini daun mint. Perutmu akan lebih baik kalau memakannya. Sebenarnya akan lebih ampuh dengan jahe. Tapi, aku tak membawanya," jelas Karhu.

Varrel memandang Karhu tidak yakin. Lalu, daun di telapak tangan peri itu.

"Manusia, kau mau membuat tanganku sakit juga? Cepat ambil ini."

"Aku harus memakan semuanya?"

"Pastikan kau mengunyahnya dulu sampai halus baru menelannya."

Yah... mau bagaimana lagi, ini demi perutnya. Varrel akhirnya mengambilnya, langsung mengunyah lalu menelannya. Meninggalkan sedikit rasa pedas pahit dan dingin di mulutnya.

"Minum ini." Karhu menyodorkan sebuah kantung kecil berisi air.

Varrel segera menerimanya.

Hei, apa efeknya bisa secepat ini? Varrel tak berbohong, perutnya serasa lebih baik sekarang. Apakah Varrel kini harus yakin makhluk di sampingnya itu benar-benar makhluk ajaib? Peri asli. Hebat. Apa Varrel harus merayakannya sekarang?

"Terima kasih," ujar Varrel pendek. Dia mengembalikan kantung air milik Karhu.

"Ha?" Apa Karhu tak salah dengar? Manusia paling menyebalkan nan sombong yang pernah Karhu temui itu mengatakan terima kasih?

"Terima kasih."

"Aku tidak bisa mendengarmu." Karhu menunjuk telinganya dengan senyum lebar. Lalu, membuka dan menutup telapak tangannya. "Bicara lebih keras? Anginnya menenggelamkan suaramu."

"Makannya, suruh peliharaanmu ini untuk terbang lebih rendah dan lambat." Varrel mendengus keras. Menaikkan suaranya satu tingkat. "Dan tidak ada ulangan."

*

Varrel sadar mereka terbang menuju bukit yang tak jauh di belakang rumah neneknya.

Di siang hari, bukit itu terlihat lebat dengan pohon-pohon hijau yang menjulang tinggi. Kini Varrel seperti makhluk liliput di antara raksasa-raksasa pohon itu.

Inatra terbang melewati pepohonan dengan mahir. Walaupun, Varrel harus beberapa kali menundukkan kepalanya, menghindari ranting dan dedaunan. Lengah sedikit saja Varrel pasti akan terjatuh ke tanah.

Varrel ingat saat kecil terkadang dia berpikir, apa yang tersembunyi di balik dedaunan dan pepohonan di hutan (selain mungkin hantu)? Apakah ada monster yang mendiami kegelapan di kedalaman lautan yang luas itu? Kehidupan ajaib apa yang mungkin ada di dunia ini selain kehidupan menjadi manusia. Apakah di luar angkasa ada alien? Dan banyak pertanyaan remeh dan fantasi lainnya.

Namun, sejak beranjak remaja semua pertanyaannya dahulu terasa tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada karena terbawa kisah dari dongeng-dongeng di dalam buku. Jaman sekarang segala sesuatunya harus dibuktikan secara ilmiah, dan Varrel menyetujuinya. Akan tetapi, sekarang ini Varrel, dengan tubuhnya yang tiba-tiba menjadi mini, dan perjalanannya ke Asteria bersama seorang peri...

"Hei, Tuan Peri, jika kau benar-benar peri, apakah putri duyung itu juga ada?"

Haaa... Sepertinya manusia ini tak bisa menutup mulutnya sama sekali. Karhu yang sudah mengistirahatkan tubuhnya berbantalkan tas beralaskan tubuh Inatra yang terbang tenang itu akhirnya kembali membuka matanya. Padahal Karhu sudah memperingatkan gadis manusia itu untuk tidak mengganggu tidurnya sepuluh detik yang lalu.

Karhu beranjak, kembali duduk bersila dengan malas.

"Aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan putri duyung itu. Tapi, kalau sirene aku pernah mendengar senandungnya," jawab Karhu datar.

Suara sirene itu benar-benar mengganggu, bahkan kaum peri bisa mendengarnya dari jarak yang sangat jauh.

"Apa? Serius?" Varrel tak bisa berkata-kata.

"Hm."

"Kalau naga? Unicorn?"

"Entahlah... mungkin ada di suatu tempat."

Varrel terdiam sesaat, memandang wajah Karhu yang terlihat sama sekali sedang tidak mempermainkannya. Varrel akhirnya tertawa terbahak.

"Hahaha sial!" Luar biasa. "Semuanya nyata! Dongengnya nyata! Tak perlu bukti ilmiah!"

Karhu memandang Varrel yang tertawa hingga mengeluarkan air matanya dengan heran. Kini dia semakin yakin otak anak manusia di sampingnya itu mulai error. Karhu menggelengkan kepalanya miris.

Varrel menghapus air matanya, dan menetralkan tawanya. Dia balas menatap Karhu dengan serius. "Baiklah, sekarang ceritakan padaku tentang kaum peri di Asteria."

Karhu mengerutkan keningnya. Kenapa manusia ini tiba-tiba ingin tahu tentang kaumnya? Jangan-jangan...

"Hilangkan kecurigaanmu itu. Aku tak ada niat jahat, oke? Aku, kan, akan ke Asteria... tentu aku harus tahu tentang kehidupan dan kebiasaan kaummu itu, benar atau benar?" Varrel berusaha meyakinkan Karhu. Varrel benar-benar berkata jujur. "Kau tak ingin aku berbuat masalah dan kekacauan yang akan menyusahkan kaumu karena tidak tahu apa-apa, 'kan?"

Karhu menghela nafas.

"Kaum kami sangat membenci manusia." Karhu menatap wajah Varrel, melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Akan tetapi, gadis manusia itu terlihat tenang memperhatikan. Jadi, dia melanjutkan, "Jadi, ketika tiba di Asteria kau akan menyamar menjadi salah satu dari kami. Hindari sekecil apapun kontak dengan peri lain. Jika tak terhindarkan dan ada yang bertanya, jawab saja kau adalah saudara jauh dari keluarga Meira."

"Baiklah..." Varrel mengangguk. Varrel tebak Meira adalah nama belakang Karhu. Apakah keluarganya cukup terkenal di negeri peri? "Lalu?"

Karhu menatap ke belakang punggung Varrel sekilas. "Lalu tentang sayapmu... katakan kau mengalami kecelakaan dan merusaknya." Walau, Karhu tak yakin akan ada yang percaya, dan kalau dipikirkan sekarang, dia bahkan tak tahu bagaimana menjelaskan tentang eksistensi Varrel pada kakeknya nanti.

Varrel mengangguk. Terdengar menyusahkan. Tapi, lagi-lagi Varrel harus terpaksa menuruti perkataan Karhu. Dia menggantungkan nyawanya pada peri itu sekarang. Tidak lucu jika dia tertangkap dan di panggang dan menjadi tontonan oleh ratusan peri di hari pertamanya memasuki Asteria.

Tapi, ada sesuatu yang lebih mengganjal di pikiran Varrel.

"Lebih penting dari semua itu, kau juga harus menghindari peri buangan." Karhu memandang Varrel dengan serius dan terlihat enggan.

"Peri buangan?"

"Ya, peri yang--"

Ucapan Karhu terpotong.

Varrel merasakan sesuatu menghantam kepalanya dengan keras, sebelum tubuhnya terpental dari tubuh Inatra lalu jatuh.

"Varrel!" Karhu berteriak panik.

Peri itu langsung terbang menukik turun meraih tubuh Varrel yang terjun bebas. Tubuh Varrel berhasil diraihnya. Namun, pada akhirnya mereka jatuh bersama di atas tanah dengan Karhu yang berada di bawah tubuh Varrel.

Varrel menggulingkan tubuhnya kesamping.

"Kepalaku..." rintih Varrel kesakitan. Dia mengusap pelipisnya untuk menemukan bercak darah di telapak tangannya. "Sialan! Apa-apaan itu tadi?"

Varrel yakin tadi kepalanya menghantam batang atau ranting pohon. Akhirnya terjadi juga, dia lengah. Untung saja Inatra terbang tak terlalu tinggi. Burung itu pasti tak tahu kalau penunggangnya jatuh sekarang, Varrel tak melihat makhluk itu. Bahkan burung itu tak menangkapnya tadi. Karhu yang menangkapnya tadi...

"Hei, Tuan Peri..." Varrel menoleh. "Kau tidak apa-apa, 'kan?"

Tubuh Karhu tergeletak di sampingnya. Tak bergerak sedikitpun dan kedua netranya tertutup rapat.

Varrel langsung bergerak duduk, walau pening langsung menyerang kepalanya. "Karhu!" Kepanikan langsung menyerang Varrel ketika Karhu bahkan tak menjawab panggilan berulangnya.

"Jangan bercanda." Varrel menepuk pipi dingin peri itu. Tak ada reaksi.

Varrel menempelkan telinganya pada dada Karhu, memeriksa detak jantungnya. Masih berdetak, akan tetapi detaknya terdengar sama sekali tak normal. Netra Varrel semakin melebar kala dia melihat sayap kanan peri itu tertekuk patah. "Ya Tuhan..."

Karhu benar-benar menyayangi sayapnya. Begitulah yang Varrel lihat, sepanjang perjalanan bahkan peri itu selalu membanggakannya. Sekarang patah, apa yang akan terjadi? Varrel akan menyentuh sayap transparannya itu.

"Berhenti di sana!" Akan tetapi, suara bariton seseorang menghentikannya. Sebuah benda runcing menodong lehernya. Satu gerakan saja leher Varrel akan terpotong menjadi dua. Tangan Varrel mengambang di udara.

Itu jelas-jelas sebuah tombak. Netra Varrel terangkat, menilik siapa sosok pemilik benda mengerikan itu.

Seorang pria berdiri di depannya dengan pongah. Menatapnya dengan dingin dari sepasang netranya yang berwarna emerald.[]