Chereads / The Legend of Katakuri / Chapter 2 - Teka-teki Katakuri.

Chapter 2 - Teka-teki Katakuri.

Paman Zeko si penjual daging yang hampir di rampok sangatlah berterimakasih kepada Paman kuriki dengan apa yang telah ia lakukan pada penjahat-penjahat yang hampir saja mengambil semua daging-dagingnya.

Namun kuriki tak memberikan sepatah katapun untuk menjawab kalimat terimakasihnya Paman Zeko.

Meski begitu, Paman Zeko memberikan sekantong daging sebagai rasa terimakasihnya kepada Katakuri dan Kuriki karena telah menyelamatkan daging-dagingnya, karena kalau tidak, mungkin daging-dagingnya sudah dirampas habis oleh Izil si pedang panjang dan para anak buahnya itu.

Dasar beban…" Ucap kecil Paman Kuriki sambil menggendong Katakuri dan berjalan kembali kerumah.

Terlihat jelas, perbedaan keponakan dan seorang paman ini, walau mereka sama-sama pengguna kunai, namun Paman Kuriki terlihat seperti orang yang sangatlah dingin, dan lebih memperhatikan sesuatu disekitarnya, sedangkan Katakuri sendiri adalah seseorang yang sangatlah tergesa-gera, menyerang lawan secara langsung tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.

"Apa? Apa kau bilang tadi Pak tua?" Ujar Katakuri di samping telinga paman kurisi dengan sedikit mencekik kesal lehernya dengan kedua tangannya dalam gendongan menuju pulang.

"Beban!"

Paman Kuriki mengulangi kalimatnya sehingga membuat Katakuri semakin jengkel mendengarnya.

"Dasar Pak tua jelek."

Ujar Katakuri yang begitu kesal, bukan malah mencekiknya lagi, tapi ia malah mengalihkan pandangannya dan menoleh kearah yang lain sambil meneteskan air mata.

Katakuri kesal dengan dirinya sendiri, andai saja dia adalah seorang pengguna kunai yang terampil dan hebat serta lincah, dia tidak akan babak belur dan bisa menyelamatkan paman Zeko tanpa bantuan pamannya, yaitu Kuriki.

****

Paman kuriki menggendong Katakuri sampai kembali kerumah, saat diperjalanan pulang, mereka mendapat sapaan-sapaan hangat dan segala pujian, karena telah menyelamatkan daging-dagingnya paman Zeko, lebih dari itu dia disebut penyelamat desa kecil yang bernama Nikugo ini.

Memang agak terasa berlebihan, dari rumah kerumah semua penduduk menyapa, tapi bagaimanapun ini adalah suatu pencapaian yang hebat, karena di suatu desa kecil ini ada seseorang yang ahli dan hebat pengguna kunai, dan seseorang murid pengguna kunai juga walau tidak sehebat Kuriki.

"Tunggu, jangan bergerak." Pinta paman Kuriki kepada Katakuri.

Paman kuriki merebahkan badan Katakuri yang banyak luka itu di tempat tidur dan memintanya menunggu, seperti ada sesuatu yang akan Paman Kuriki lakukan.

Paman Kuriki pergi kedapur, mengambil beberapa daun yang entah apa namanya, dia satukan dan membuatnya seperti sebuah obat.

Paman Kuriki kembali datang, dan membawakan semacam ramuan tapi sepertinya tidak untuk diminum, melainkan untuk dipoleskan kepada luka-luka akibat dari sayatan pedang dari anak buah Izil si pedang panjang.

"Ini, minum dulu air putih ini."

Pamak Kuriki menyodorkan segelas air putih dan meminta Katakuri meminumnya sebelum dia memoleskan obat yang telah ia buat itu.

Katakuri diam, dan menuruti saja apa yang paman Kuriki minta, tak seperti tadi, dia yang selalu keras kepala kepada Paman Kuriki.

"Tahan sedikit, ini akan sedikit lebih perih."

Pinta Paman Kuriki kepada Katakuri agar sedikit menahan rasa perih yang akan dihasilkan oleh obat yang ia buat.

"Akh.. Akh.. Perih!"

Katakuri sedikit merintih, terlihat seperti merasa perih dengan obat yang Paman Kuriki oleskan kesetiap luka-luka yang ada pada sekujur tubuhnya, khususnya yang ada di pipinya.

"Tahan sedikit, ini akan terasa sedikit lebih baik." Ujar Paman Kuriki yang sedikit meyakinkan Katakuri.

"Sudah istirahatlah sebentar, ada yang akan paman bicarakan padamu nantinya."

Katakuri membalasnya dengan sedikit anggukan kepala menanggapi pinta Paman Katakuri tersebut.

****

Tiba malam setelah pertempuran kecil yang sedikit melelahkan, Paman katakuri membakar Daging-daging yang diberikan oleh Paman Zeko siang tadi.

Dibakarnya diatas kayu api yang menyala-nyala di depan rumahnya sendiri. Dia tak jadi membuat olahan makanan, karena tepung yang ia suruh Katakuri untuk membelinya jatuh tanpa tersisa.

Mau tidak mau dia akan menyantap daging bakar tersebut untuk malam ini bersama Katakuri sampai besok pagi datang untuk bisa kembali membeli bahan makanan.

"Yosh makan daging, makan daging!"

Katakuri datang dengan gembira melihat paman Kuriki sedang membakar daging-daging untuk santapan malam ini.

"Tidak ada jatah daging untukmu malam ini." Ujar paman Kuriki sambil berjalan masuk kedalam rumah untuk mengambil air untuk ia minum setelah makan.

Paman Kuriki yang masuk meninggalkan bakaran dagingnya yang sudah hampir matang bersama Katakuri yang dekat dengan daging tersebut.

"Wahhh… Harumnya…." Ujar Katakuri menghirup harumnya daging sambil memejamkan matanya.

Tanpa basa-basi dan mempersetan apa yang telah pamannya katakana tadi, dia ambil daging yang sudah hampir sedikit matang itu dan menyantapnya dalam keadaan panas saat itu juga.

"Hum… Enak sekali daging bakaran paman Kuriki." Ujar Katakuri saat menikmati daging santapannya itu dengan lahap.

"Ha bocah!"

Seketika paman Kuriki berjalan kembali keluar menjadi terkejut melihat daging yang ia bakar sedari tadi disantap dengan beringas oleh keponakannya itu.

Paman kuriki pun berlarian dengan cepat menuju Katakuri yang sedang menikmati dagingnya dengan lahap dan santai itu.

"Hey! Bocah tengil. sisahin satu untukku!"

Teriak paman katakuri saat merebut daging tersebut dari tangan katakuri yang sedang memegang tombak dagingnya dengan keras.

"Tidakk…. A..."

Mereka berebutan daging yang hanya tinggal 1 potong yang tadinya berjumblah 4 potongan daging yang berukuran cukup besar.

"Akh…. Aku masih lapar Pak tua jelek.."

Katakuri menggerutu saat dagingnya telah berhasil direbut oleh pamannya, dia sedikit kesal karena dia masih sedikit lapar.

"Dasar bocah tak tahu diri." Ujar paman Kuriki dengan suara yang sedikit tidak jelas karena ia yang berbicara sambil menikmati daging sisahan dari keponakannya itu.

"Buk…"

Katakuri menjatuhkan tubuhnya di sebuah padang rumput yang sangat nyaman, sambil melihat kearah langit yang dihiasi oleh keindahan pancaran bulan dan bintang, menekuk kedua tangannya dan bertumpu pada 2 telapak tangannya seperti bantal.

"Hey pak tua!"

Paman kuriki yang dipanggil oleh Katakuri tak menghiraukannya, dia masih saja fokus makan dan menikmatinya di sisa-sisa daging yang akan habis itu.

"Seandainya kita berpetualang, pasti sedikit seru kan pak tua?" Ujar Katakuri dengan santai.

Mendengar itu, Paman Kuriki sontak menoleh kearah Katakuri yang sedang merebahkan badannya itu.

Lagi-lagi Paman Kuriki diam dan tidak menghiraukan apa yang sedang dibicarakan oleh Katakuri yang terdengar sedikit menyimpang.

"Besok pagi kita akan berangkat." Ucap singkat Paman Kuriki.

"Persiapkanlah apa saja barang yang ingin kau bawa." Tambahnya.

"Maksudnya, Pak tua?" Tanyanya pendek, "Mau kemana kita?

Katakuri berdegup kaget mendengar pinta dan ajakan pamannya untuk berangkat di besok pagi, dia seperti berpikir apakah pamannya itu meng-iya kana pa yang barusan ia pinta tadi, atau ada faktor lain yang membuatnya untuk pergi besok.

"Disini sudah tidak aman, kita harus pergi dari sini." Ujar Paman Kurikisan tanpa memberikan satupun alasan yang jelas.

"Yosh!"

Teriak keras Katakuri seraya melompat mengiyakan pinta Pamannya tanpa tahu dulu apa sebenarnya yang terjadi, dia benar-benar tak peduli apapun alasannya, dia hanya peduli dengan apa yang ia inginkan, yaitu petualangan.

*****

Pagi menjelang, matahari setengah terbit, setelah tidur panjang, inilah saatnya Katakuri dan Pamannya berjalan menuju petualangan, beberapa kebutuhan sudah dipersiapkan, tak lupa masing-masing kunai yang akan selalu terikat di pinggang Katakuri dan pamannya.

"Yosh, Pagi yang cerah untuk memulaipetualangan!"

Teriak Katakuri saat mereka akan pergi, tapi entah kemana mereka akan pergi masih menjadi misteri, karena Pamannya sendiri tak member tahu kemana mereka kelak akan pergi.

Berjalanlah mereka melewati rumah-rumah warga, sapa-sapa warga menghiasi pagi, debu-debu yang tersapu bersedih, dan beberapa warga meneteskan air mata atas kepergian Katakuri.

"Aku ganya ada beberapa 10 gen yang mungkin bisa membantu kalian dalam perjalanan."

"Aku hanya ada beberapa jeruk, yang mungkin bisa kalian makan dalam perjalanan."

"Maaf aku belum bisa member apa-apa untuk perjalanan kalian."

"Aku hanya bisa member sedikit air kelapa dalam kenci ini, yang mungkin suatu saat bisa kalian minum."

Semua penduduk desa sangatlah baik, dari hujung kehujung semuanya antusias atas kepergian Katakuri dan Pamannya dari desa ini walaupun tidak ada alasan yang sebenarnya.

Desa yang sangat ramah, penduduk yang tidaklah banyak, akan tetapi sangat peduli terhadap sesama. Begitu nyaman desa seperti ini, sebuah tempat yang sangat didambakan semua orang, tapi entahlah, Katakuri dan Pamannya mungkin ada maksud lain sehingga harus meninggalkan desa ini.

Di ujung desa Nikugo, rumah terakhir menuju awal perjalanan Katakuri dan Pamannya, ada seseorang Kakek-Kakek yang menunggu, dia seperti memegang kanan dan tangan dua benda di tangan kanannya dan di tangan kirinya.

Kakek yang terlihat cukup tua, rambutnya sudah memutih, kulinya sudah keriput, dia menghadang Katakuri dan pamannya saat akan menuju perjalanan keluar desa Nikugo.

"Nak, Pakailah ini!" Ujar Kakek tua yang menghadang jalannya Katakuri dan Pamannya.

Kakek tua itu memberikan sebuat penutup kepala, atau sebuah tupi yang cekung, yang agak sedikit menutup wajah, entah apa maksudnya, kakek tersebut seperti tahu tentang suatu hal yang tidak dapat dipahami apa maksudnya.

"Wah boleh juga nih kek!" Ujar Katakuri kepada kakek tersebut dan langsung memakai penutup kepala itu.

"Wah terima kasih banyak kek." Ucap terimakasih Paman Kuriki kepada seorang Kakek yang ditemuinya di ujung desa Nikugo saat akan melakukan perjalanan jauh diluar desa.

Sudah pasti, jika itu memang hanya sebuah penutup kepala, sudah dapat dipastikan hanya untuk melindungi dari terik panasnya matahari, tapi entahla, mungkin ada maksud lain dibalik semua itu.

*****

Tiba sudah waktunya Katakuri dan pamannya melakukan perjalanan yang entah kemana tujuannya, yang jelas mereka akan meninggalkan desa yang mereka tempati selama 20 tahun tersebut, yaitu desa Nikugo.

Sebuah perjalanan tanpa tujuan sudah pasti nantinya akan melelahkah, tidak mungkin mereka akan melakukan perjalanan tanpa alasan, pasti ada alasannya, mungkin belum waktunya saja Paman Kuriki memberi tahunya kepada Katakuri.

"Hey Pak tua Kuriki!"

"Kita mau kemana?" Ucap Katakuri dalam perjalanan yang sudah diluar wilayah desa Nikugo.

Sambil berjalan santai, Katakuri iseng menanyakan kemana sebenarnya tujuan mereka. karena ia belum tahu jelas kemana mereka akan pergi.

"Kita Akan pergi ke Kerajaan Kokoro!" Ucap serius Paman Kuriki pada Katakuri.

"Ha Kokoro?"

"Dimana itu Pak tua? Apakah disana banyak daging?"

Dengan polos Katakuri bertanya dimana Kerajaan Kokoro dan malah menanyakan hal yang yang sangat kocak.

Dia tidak tahu bahwa Kokoro adalah salah satu kerajaan dari 5 kerajaan besar didunia selatan, yang ,menjjadi kiblat atau pusat semua orang untuk mencapai berbagai aspek, yaitu tempat para pendatang mencari nasip, mencari kemakmuran, mencari keadilan dan ketenangan.

Namun, sebenarnya Kokoro bukanlah kerajaan yang seperti itu lagi, melainkan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang rakus akan kekuasaan, dan berkerja sama dengan dunia kegelapan.

Bisa dianggap wajar jika Katakuri sama sekali tidak tahu dimana itu Kerajaan Kokoro dan kerajaan yang seperti apa kerajaan kokoro, karena di desa tempat dia tinggal sangatlah jauh dari tempat dimana desa kokoro itu berada, ditambah lagi kalau desa Nikugo ini sangatlah jarang menjadi tempat orang bersinggah, karena tempatnya tidaklah strategis.

"Dasar bocah tukang makan!" Ujar Paman Kuriki sambil memukul kepala Katakuri dengan tangan kanannya.

"Aduh… Sakit… Dasar tua Bangka!" Ceplos Katakuri pada paman kuriki.

"Dasar bocah tak tahu diri!"

Ucap paman Kuriki sambil akan memukul kepalanya sekali lagi, namun Katakuri menghindar dan berlari duluan mendahuluinya.

Untuk mencapai Kerajaan Kokoro, mereka harus melakukan perjalanan yang sangat jauh, harus melewati hutan, sungai, dan beberapa desa untuk sampai ke jalur arah Kerajaan Kokoro. Lagi pula, itu baru hanya sampai ke jalurnya saja, mereka harus melewati salah satu kerajaan besar dari 4 kerajaan besay yang berada mengelilingi gunung tempat Kerajaan Kokoro berada.

"Apakah masih jauh paman?"

Tanya Katakuri kembali yang sudah tak sabaran dalam perjalanan.

"Jauh, masih sangatlah jauh, kita akan istirahat siang di desa Nano yang tidak lama lagi kita akan sampai setelah melewati hutan ini."

Mereka akan istirahat di sebuah desa kecil yang bernama Nano yang ada di belakang hutan belantara yang sedang mereka lalui.

Kini mereka berada di tengah-tengah hutan yang lebat dan cukup gelap, yang matahari tidak langsung mengenai kepala mereka, hanya ada sedikit percikan sinarnya yang lolos diantara dedaunan pohon yang rimbun.

"Stop!"

Ada 2 orang yang berotot kekar, memakai baju biru yang sama, berkepala botak, dan membawa masing-masing 2 mata pedang yang mereka kaitkan diantara rantai yang mereka pegang.

"Ada apa?"

Katakuri hampir menarik kunai dari pinggangnya, akan tetapi di tahan oleh paman Kuriki dan menutupi kunai itu dengan jubahnya, lalu bertanya dengan tenang sambil menundukkan kepala.

"Apakah kalian kenal dengan orang yang bernama Katakuri?"

Katakuri sontak kaget, mengapa mereka tahu namanya dan mengapa mereka mencarinya, karena dia sendiripun hanya anak kecil yang ceroboh dan polos, yang tidak mungkin dikenal orang-orang apalagi itu seseorang penjahat.

"Tidak! Siapa itu Katakuri?" Ujar paman kuriki secara mengejutkan pula.

Semakin kaget katakuri mendengar apa yang dikatakan oleh paman Kuriki, apa alasannya berbicara itu.

"Apa kalian berasal dari desa Nikugo?" Tanya 2 penjahat itu kembali.

"Tidak…. Kami hanyalah pengembara yang kebetulan saja lewat sini." Ujar Paman Kuriki.

Menyaksikan itu, Katakuri semakin berpikir keras, apa maksud semua ini, tapi ia dipaksa untuk diam karena dia melihat isyarat jari telunjuk yang disingkapkan dari balik jubah pamannya, dan mencoba mengerti situasi itu.

"Hah! Ayo kita pergi!"