"Aku harus kembali ke anak laki-lakiku," kataku, melawan dorongan untuk menyentuhnya, menciumnya, melakukan sesuatu, apa saja untuk memuaskan kebutuhan yang tumbuh di dalam diriku yang semuanya berkaitan dengan tarikan gila yang kurasakan padanya.
"Kamu benar-benar sesuatu yang lain." Dia berjinjit, mendekatkan mulutnya yang indah ke mulutku. "Kamu bilang kamu tidak punya waktu untuk bermain game. Jelas, itu bohong, karena kamu sepertinya ahli dalam mempermainkan emosiku." Dia jatuh ke kakinya yang rata lalu mendorong kedua tangannya ke dadaku dengan kekuatan lebih dari sebelumnya, membuatku mundur selangkah. "Sekarang aku tahu persis seperti apa kau brengsek, aku akan kembali untuk makan malam bersama keluargaku, dan sungguh, kuharap aku tidak akan pernah melihatmu lagi."
"Bara." Aku meraihnya sebelum dia bisa pergi, dan matanya menyipit pada jari-jariku yang melingkari pergelangan tangannya.
"Jangan panggil aku seperti itu."
