"Kalau papa sayang Reiji, kenapa bukan papa saja yang mendonorkan ginjal papa, hah?! Bukankah Reiji juga anaknya papa sendiri? Kenapa harus menyuruh Abang, yang saat itu bahkan baru berusia 15 tahun dan belum tahu rasanya pacaran!!"
Siji menjeda kalimatnya untuk menoleh ke arahku. Aku tahu, pasti saat ini aku terlihat sangat menyedihkan di mata putraku sendiri. Aku meminta hal yang mustahil seperti ini. Mungkin, aku adalah orang tua yang paling dzalim kepada anaknya sendiri.
Aku hanya tertunduk dan tidak bisa menjawab protesan dari Siji lagi. Setelah itu, Siji menghempaskan tangaku yang berada di lengannya. Lalu, Siji pergi begitu saja.
Aku menatap sendu ke arah putra sulungku yang semakin menjauh. Siji berjalan gontai menuju gerbang rumah sakit. Aku tahu pasti dia sangat kecewa, dan mungkin tidak akan kembali ke rumah sakit ini lagi. Aku yang bodoh dan tidak berguna ini telah menyakiti hati anak-anakku dalam waktu yang bersamaan.