Chereads / Pemilik Toko di Death Valley / Chapter 34 - Pilihan Legia

Chapter 34 - Pilihan Legia

Kembali ke waktu pada malam sebelum keberangkatan Putri Sravati dan rombongan dari Toko Kirana ke Blackwinter.

Malam hari itu, Cien meminta Legia untuk menceritakan akan situasi Westya selama sepuluh tahun terakhir. Dia juga menanyakan akan keluarga Millard yang ada di Westya, namun sayangnya sang letnan tidak tahu banyak akan keluarganya.

"Keluarga Millard?"

"Mungkin lebih tepatnya Baron Millard di selatan."

"Mmm … maaf, saya belum pernah mendengarnya. Atau mungkin lebih tepatnya, saya belum pernah ke selatan sehingga kurang tahu akan keadaan di sana."

"Aah… tidak apa, lagipula, walaupun kau ke selatan pun, keluarga Millard bukanlah keluarga ternama. Walaupun tetap seorang Baron dan memiliki wilayah kekuasaan, wilayahnya terhitung sangat kecil, sehingga kontribusinya ke Westya sangat dipertanyakan untuk bisa diingat publik."

"Tuan Millard… apa anda…" saat itu Legia ingin bertanya apakah Cien adalah bagian dari keluarga Baron Millard, namun melihat senyum hangat dan pandangan teduh lelaki tersebut, Legia menghentikan pertanyaannya.

Entah mengapa, Legia merasa takut menanyakan hal yang sensitif pada seseorang yang saat ini merupakan orang yang berjasa akan kehidupannya.

Beberapa saat setelah perbincangan tentang Westya dan keluarga Millard itu selesai. Cien tiba-tiba menanyakan pendapat Legia akan situasi di Blackwinter.

"Kalau rencana Tuan Putri Sravati dan Reiss berhasil dilaksanakan. Blackwinter sudah terjamin akan diambil alih lagi oleh Huntara. Dari sudut pandang saya sebagai warga Westya, itu merupakan hal bagus. Karena jalur dagang antara Huntara, Farnodt dan Westya akan kembali normal, dan kesalahpahaman tentang Huntara akan menjadi bersih, sehingga hubungan politik pun bakal kembali berjalan seperti biasa."

"Bagaimana dengan situasi di timur Huntara?" Tanya Cien kembali, kali ini matanya tampak fokus menyaksikan reaksi dari Legia.

Legia mengerutkan keningnya.

"Sejujurnya, kalau benar serangan di timur itu memang benar terjadi. Saya, atau mungkin militer Westya, berharap serangan bangsa Abyss berhasil dilaksanakan."

"Agar kekuatan militer dan keuangan Huntara berkurang."

Legia mengangguk, dia lalu menoleh ke arah kamar Cien, di mana saat ini sang putri dari Huntara sedang lelap tertidur di dalamnya.

"Mungkin ini sangat tidak manusiawi, tapi berkurangnya kekuatan Huntara sangat menguntungkan bagi Westya. Bila Huntara kalah dalam perang di timur, maka mereka akan sibuk untuk mengambil alih kota yang diduduki Abyss.

"Dengan kekuatan Huntara saat ini, mungkin mengambil alih bagian timur tidak akan sulit. Namun di masa nanti, setelah perang saudara di Blackwinter dan perang di timur pertama kali gagal. Maka kekuatan Huntara akan berkurang drastis. Pada saat itulah mau tidak mau, pihak kerajaan akan meminta bantuan pada kerajaan sekitar."

Cien mengangguk menyetujui pendapat Legia, "Bukan saja tentara, Huntara pun akan membeli senjata dan budak untuk berperang. Dengan ditutupnya jalur timur, maka Huntara hanya bisa berharap pada bagian selatan, yang artinya Farnodt dan juga Westya. Kedua kerajaan ini memiliki keuntungan besar bila itu terjadi."

"Yeah…"

Legia agak murung, walau benar dalam segi keuntungan, kekalahan Huntara di timur nanti merupakan peruntungan besar bagi kerajaannya. Namun, sebagai manusia, Legia merasa kurang enak, membayangkan banyaknya nyawa yang akan jatuh pada perang nanti.

Melihat reaksi Legia, Cien ketika itu lalu beranjak pergi ke lantai bawah sembari menyuruh Legia untuk menunggunya.

Seketika dia kembali, lelaki itu menyerahkan sebuah surat yang sudah disegel dengan cap lilin bersimbolkan huruf K, bercorak kayu dikelilingi oleh daun yang merayap di sekelilingnya.

Cap lilin yang ternyata Cien temui di salah satu laci workshop. Mungkin diberikan oleh aplikasi sebagai cap dan simbol resmi tokonya, Toko Kirana.

Menerima surat itu, Legia seketika bingung.

"Ini…"

Cien menjawab kalau masalah di Huntara bukanlah urusan dia, dan juga Legia, sebagai tentara dari Westya. Tapi dia bisa melihat kalau masih ada kebimbangan dalam diri Legia. Oleh karena itulah, Cien memberikan surat itu.

"Kalau kau merasa ingin membantu gadis kecil itu, bukan sebagai tentara Westya, tapi sebagai teman. Maka kirimkan suratku ini padanya."

"Pada siapa?"

"Signa Wayde."

"!!!"

Mendengar nama itu, Legia seketika membulatkan mata lebar. Karena nama Signa Wayde sama sekali tidak asing di telinganya. Champion dari Huntara. Siapa yang tidak mengenal namanya di seantero Kastia.

"Apa Signa akan menerima surat ini?" Tanya Legia dengan agak gugup.

"Dia akan menerimanya. Beritahu dia kalau pemilik toko dari Death Valley mengirimkan surat ini. Ah, dan jangan biarkan Sravati tahu akan hal ini."

"Kenapa? Bukankah lebih baik kalau Tuan Putri yang menyampaikan surat ini sendiri? Itu bahkan akan lebih cepat."

Cien menggeleng, "Belum waktunya gadis kecil itu untuk berhadapan dengan tikus-tikus yang bersembunyi di sana. Masih terlalu dini, nyawanya akan hilang dalam waktu singkat bila itu terjadi."

"???"

Legia tidak mengerti apa yang dimaksudkan Cien. Bahkan walau dia meminta penjelasan pun, lelaki itu hanya tersenyum tanpa menjelaskan apa pun. Dia hanya menekankan, kalau surat itu harus dikirim ke Signa tanpa ada seorang pun yang tahu.

***

Kembali ke masa kini.

Legia yang mengingat pembicaraan malam itu, memasukkan kembali surat ke dalam baju zirahnya. Pandangannya penuh dengan keteguhan.

Walaupun sadar keuntungan Westya akan lebih besar bila dia membiarkan situasi terjadi sebagaimana semestinya. Dengan kemungkinan kalau Huntara kalah di timur sana lebih besar.

Namun, pada akhirnya Legia merasa kalau dia diam saja, maka kemanusiaan dalam dirinya akan dipertanyakan.

Bukan untuk menolong Putri Sravati, bukan juga untuk menolong Huntara. Tapi untuk menolong mereka, penduduk tidak berdosa yang akan menjadi korban perang yang tiba-tiba terjadi di timur sana.

Legia pun di tengah gelapnya hutan. Bergerak menuju Kota Skaldia, tempat di mana pasukan Jenderal dan pasukan inti dari Huntara akan lewat.

Tempat di mana, Signa Wayde yang pasti ikut dalam rombongan pasukan itu akan singgah.

***

Keesokan harinya.

Siang hari, Kota Marina, Kerajaan Farnodt.

Reiss yang telah kembali ke kota asalnya, langsung melapor ke markas militer tempat dirinya bekerja.

Kepala militer di sana, terkejut dan menyambut hangat keselamatan diri Reiss. Sebagai seorang prajurit dengan kekuatan Rank 5, keselamatan Reiss merupakan kabar baik bagi kekuatan militer Marina.

Namun, ketika Reiss menjelaskan kenyataan yang terjadi ketika pasukannya dibantai oleh pasukan Blackwinter, dan juga kenyataan Huntara yang ternyata tidak bersekongkol dengan iblis, malah sedang mengalami perang saudara di Blackwinter. Petinggi militer Marina semerta terkejut dan terdiam.

Kalau kenyataan yang diberitahukan oleh Reiss adalah benar. Maka mereka, dan seluruh Farnodt telah melakukan kesalahan besar, dengan melakukan persekusi ke setiap warga Huntara di kerajaan.

Reiss bertanya seburuk apa persekusi itu terjadi, yang dibalas kalau Reiss hanya perlu membayangkan kemungkinan terburuk yang ada di kepalanya. Yang langsung diartikan oleh Reiss sebagai sangat buruk, bahkan membuat wajah atasan Reiss pucat pasi.

Untungnya, Kota Marina sebagai kota perbatasan, tidak melakukan tindakan ekstrim seperti di ibukota.

Mereka tidak membunuh atau menyiksa para warga Huntara. Mereka hanya mengurung mereka di penjara, bahkan tetap memberikan mereka makan dan minum walau sekadar sehari sekali.

Mendengar itu Reiss tidak tahu harus bersyukur atau bersedih. Tapi untuk saat ini, hal itu belumlah penting. Karena dia mengingat janji dan rencananya dengan Putri Sravati, memberikan bantuan kepada sang putri dengan memobilisasi pasukan ke selatan Blackwinter.

Reiss menjelaskan rencana tersebut ke atasannya, namun tidak disangka, rencana tersebut langsung ditolak. Bukan oleh atasan militernya, namun oleh penguasa Kota Marina, Viscount Marina.

Militer Marina dan Reiss tidak bisa berbuat apa-apa. Sekuat apapun Reiss meyakinkan Viscount Marina untuk bergerak, entah mengapa bangsawan itu kukuh menolak permintaan Reiss.

Tengah malam hari, di depan sebuah bar.

Reiss terduduk lunglai bersandar di dinding bar. Dia menyaksikan orang-orang berlalu lalang di depannya dengan tatapan kosong.

"Benar kata Tuan Millard, meminta bantuan militer di Farnodt memang mustahil. Tapi, kenapa? Kalau mereka tahu kenyataan akan Huntara, seharusnya dengan membantu Huntara, walaupun sedikit ini bisa mengurangi rasa bersalah setelah mempersekusi penduduk secara tidak adil! Kenapa tetap tidak mau membantu?"

Pada saat inilah, Reiss semerta sadar pada suatu fakta. Berita akan persengkokolan antara Huntara dan iblis, dimulai dari Marina.

Penguasa Marina dan petinggi militernya tidak memeriksa lebih teliti berita yang mereka dapat. Mereka malah langsung melaporkannya ke pusat pemerintahan di ibukota, yang menjadikan berita dari satu orang itu pun sebagai sumber biang keladi akan munculnya rumor persengkokolan tersebut.

Rumor tersebar. Putusan ekstrim pun tercipta. Persekusi.

Semuanya karena satu berita dari Marina.

"Melihat situasi di Marina, sepertinya militer Marina tidak terlibat. Itu artinya, Viscount…"

Reiss kini tahu tempat pengkhianat atau orang yang bersekongkol dengan Abyss berada. Di pemerintahan Kota Marina, entah itu Viscount Marina sendiri, atau orang-orang yang ada di dekatnya.

"Sigh… walaupun tahu, apa yang bisa kulakukan. Tinggal dua hari menuju hari yang dijanjikan dengan Putri Sravati."

Reiss pusing menghadapi situasinya saat ini. Meyakinkan militer adalah jalan buntu. Menyewa adventurer, dia tidak punya cukup dana demi menyewa banyak orang untuk ikut berperang dengannya.

Kalau dia menyewa sedikit. Tidak akan ada yang mau menerima tawarannya. Siapa yang mau ikut berperang hanya dengan jumlah satuan atau belasan orang? Itu tidak ubahnya bunuh diri.

Reiss melihat kedua tangannya yang kini memakai sepasang Fire Glove.

Satu dari Cien dan satu lagi dipinjamkan Sravati untuk membantunya melawan pasukan Blackwinter nanti.

"Dengan ini belasan orang pun seharusnya cukup untuk membuat konsentrasi Blackwinter lengah. Tapi… tetap saja tidak akan ada yang mau ikut denganku. Sigh… apa yang harus kulakukan?"

Reiss memejamkan matanya, lalu menatap bulan di langit yang bersinar terang.

"Pergi sendiri… mungkin memang hanya ini jalannya."

Reiss hanya bisa tersenyum masam. Membayangkan dirinya diserang ratusan tentara Kota Blackwinter.

Brak!

Tiba-tiba pintu bar yang tidak jauh dari sampingnya terbuka dengan keras. Reiss agak tercengang, lalu melihat seorang pria besar berotot dengan kapak besar di punggungnya keluar dari bar dengan raut kesal.

"ORANG-ORANG DI SINI SUDAH GILA!!" Teriak pria besar itu.

"Tenangkan dirimu Logan, kau tahu situasinya saat ini. Setidaknya kita tetap bisa mengamankan gadis kecil ini," ucap seorang pria lain, yang mengikut orang besar bernama Logan keluar. Pria itu langsing dengan paras tampan. Rambut pirang panjang dengan busur panah di punggungnya.

Mengikuti kedua pria tersebut, seorang perempuan dengan lengan berotot keluar menggendong seorang gadis kecil, sambil menepuk-nepuk punggung gadis kecil tersebut.

"Bagaimana bisa tenang?! Mereka sudah gila, mau membawa gadis kecil ini ke penjara hanya karena dia lahir di Huntara!"

"Kau sudah menghajar prajurit-prajurit itu, sebaiknya kita kembali penginapan. Keadaan akan lebih rumit kalau bantuan dari pasukan kota datang," ujar perempuan berotot, yang menyuruh rekan-rekannya untuk cepat pergi.

Reiss yang melihat kejadian tersebut terdiam sejenak. Dia tertegun dengan ketiga orang tersebut, tapi yang lebih mengejutkannya adalah baju zirah yang dipakai ketiganya.

Baju zirah berwarna biru tua dengan simbol burung hantu di dada. Baju zirah yang sama seperti yang dipakai oleh Legia dan Jamie.

'Prajurit Ethyria dari Westya!'

Melihat secercah harapan, Reiss langsung beranjak dan mengejar ketiganya.

"Tunggu! Kalian bertiga, tunggu sebentar!"

"Huh? Siapa dia?"

"Anjir, seragam itu, prajurit Marina!"

"Cepat sekali!"

Reiss tiba di depan ketiganya, dia lalu menggeleng, menyebutkan kalau dirinya bukanlah musuh.

"Tolong aku! Bantu aku menyerang selatan Blackwinter!"

""Huh?!""

Ketiganya seketika bingung.

"Apa ini orang sudah gila?"