Cien mengaktifkan satu inti mana yang terdapat pada Fire Glove miliknya. Berbeda dengan yang dia jual, Fire Glove yang dia miliki mempunyai kekuatan yang lebih kuat. Satu inti mana dapat mengeluarkan sihir sekuat rank 2.
Semerta Cien mengaktifkan sihir itu, sebuah lingkaran sihir yang cukup besar tercipta di depan jari telunjuknya. Dari lingkaran sihir itu lalu munculah semburan api sebesar dua kali bola basket yang menerjang pria codet di depannya.
Pria itu terbakar dan terhempas beberapa meter ke belakang. Orang-orang di sekitar tertegun, termasuk Veronica yang membuka matanya lebar-lebar.
Kekuatan serangan yang dikerahkan Cien hanyalah sekuat rank 2. Bukan serangan yang kuat dan ampuh untuk mengalahkan si pria codet, yang terlihat kini sudah kembali berdiri dengan wajah geram, karena bajunya telah terbakar habis.
Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri, kalau sihir yang dikerahkan Cien berasal dari sarung tangan yang dipakainya. Yang artinya, terdapat benda magis lain selain yang dibawa oleh Jeanne.
"Paman masih punya benda magis?!"
Teriak Veronica yang baru sadar dari lamunannya. Dia bahkan menyadari kalau Fire Glove yang digunakan oleh Cien saat ini lebih kuat daripada sebelumnya.
Cien mengangkat bahu, "Aku punya, tapi bukan untuk dijual."
Untuk Cien, Fire Glove itu bukan saja untuk melindungi diri, tapi dia gunakan juga untuk membakar tungku di penempaan. Dengan cara ini jugalah, dia berhasil menempa proyek greatswordnya.
Orang-orang tentu mendengar jawaban dari Cien, jawaban yang sukses membuat semuanya terdiam. Bahkan pria yang tadi terbakar oleh sang penjual menurunkan sedikit amarahnya, dia lalu berjalan mendekati dengan senyum lebar di wajah, namun tetap dengan hawa mengintimidasi.
"Pak Tua, bagaimana kau ini? Kalau kau masih punya benda magis lain, kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau begini, kita tidak perlu memakai kekerasan, kan?"
"Sudah kubilang, sarung tangan ini tidak dijual."
Pria codet itu terdiam sejenak, dia lalu mendekat, memegangi pundak Cien dengan erat.
"Pak Tua, tidakkah kau tahu siapa orang yang saya layani? Kau akan menyesali perbuatanmu ini! Sebaiknya kau setuju, daripada hidupmu hancur!"
"Ooo~ benarkah begitu? Aku bahkan bukan warga dari Huntara, tuanmu tidak berpengaruh sama sekali terhadap hidupku."
"Kau pikir bisa keluar dari kota ini dengan selamat?"
Cien tertegun, dia tidak menyangka kalau orang di balik pria rusuh ini akan segitunya. Terdapat dua identitas yang bisa dia pikirkan dari si Tuan yang dikatakan oleh pria di depannya.
Pertama keluarga bangsawan, dan bukan bangsawan rendahan, setidaknya minimal Viscount. Untuk Baron, Cien tahu jelas kekuatan seorang Baron tidak sekuat itu, ini dikarenakan dia adalah seorang Baron sebelum terjebak di Death Valley.
Kedua, adalah kelompok organisasi underground, mungkin kriminal, tapi mungkin juga dari pasar gelap.
'Hmm, selain itu, dari pihak pelelangan pun mungkin saja. Tapi, kurasa mereka akan lebih suka langsung menawarkan diri, daripada memakai kekerasan.'
Well, pada akhirnya semua itu tidak menakutinya sama sekali. Toh, dia akan keluar dari kota ini dengan diteleportasi oleh ponselnya.
Pada akhirnya Cien hanya tertawa kecil.
"Apanya yang lucu?" Tanya pria itu dengan sedikit kesal.
"Tidak ada. Hanya berpikir bodohnya dirimu yang ingin membuatku takut hanya karena ancaman seperti itu. Kalau mau mengancam, seharusnya kamu lakukan seperti ini."
Cien lagi-lagi mengaktifkan Fire Glove-nya. Kali ini dia tidak segan-segan menggunakan empat inti mana yang ada di tangan kanannya.
Untuk serangan kali ini, Cien menempatkan lingkaran sihir di langit tempatnya berada. Membuat sebuah lingkaran sihir merah, dengan bahasa yang tidak diketahui muncul menyinari mereka yang ada di bawahnya.
Lingkaran sihir besar itu setidaknya memiliki diameter seluas lapangan sepak bola. Sangat besar dan mencekam. Empat inti mana, yang artinya saat ini Cien mengaktifkan kekuatan yang setara serangan rank 8.
Mereka yang ada di rank 8 adalah mereka yang bisa mempengaruhi jalannya perang.
Pria codet itu menganga melihat langit. Kekuatan yang dia miliki berada di rank 5. Kalau sihir itu jatuh padanya, dia yakin tubuhnya akan hangus terbakar.
"Bangsat! Apa kau gila?"
"Bukankah sudah kubilang, aku bukan warga Huntara. Walaupun aku sedikit bersalah, tapi aku pun tidak mau mati. Jadi, hanya inilah yang bisa kulakukan untuk melindungi diri? Bagaimana? Apa pilihanmu, mundur atau masih mau merebut Fire Glove dan gadis kecil ini? Keputusanmu akan menentukan nasib orang-orang di sini."
Mendapatkan peringatan seperti itu, si pria codet pun melepaskan cengkramannya dari pundak Cien. Dia perlahan mundur dengan raut kelam. Tidak menyangka kalau penjual yang dihadapinya saat ini merupakan orang gila.
Cien yang telah lepas, lalu melirik ke orang-orang yang mengitari Veronica, berniat menculiknya. Dengan gerakan kepala, dia menyuruh orang-orang itu untuk mundur.
Tidak ada satu orang pun yang berani bersuara dengan lingkaran besar di atas kepala mereka.
Warga yang tadinya hanya menonton pun, bahkan mulai berlari menjauh dari radius serangan sihir Cien. Takut-takut, penjual gila itu menjatuhkan api dari atas sana.
Melihat semuanya telah kembali terkendali. Cien duduk kembali di kursi kayunya, menunggu perempuan yang merebut Fire Glove kembali untuk membayar.
"Paman…" Veronica bergumam lirih.
"Tenang saja," ucap Cien lalu mengambil boneka kayu milik Veronica dari atas meja, "Main saja kayak tadi. Tidak perlu memikirkan mereka."
"Umm, bukan itu. Tapi, apa Paman nanti akan baik-baik saja?" Veronica ragu untuk bertanya.
Gadis kecil itu tahu kalau yang dilakukan oleh Cien adalah sesuatu yang membahayakan keselamatan publik. Yang dilakukannya, bisa saja dianggap sebagai aksi terorisme oleh militer kerajaan.
Dengan lingkaran sihir sebesar itu, siapa yang tidak bisa melihatnya?
Veronica yakin, pada saat ini pasti pihak kerajaan sudah mulai memobilisasi pasukan untuk datang kemari.
"Hmm, well, kalau sudah tersudut. Aku akan keluar dari kota ini. Hanya saja, kalau kakak sepupumu tidak kembali menebusmu. Aku akan membawamu pergi dari sini juga. Jadi lebih baik, kamu yang berdoa akan nasibmu sendiri."
Ujar Cien kepada Veronica yang tahu kalau gadis kecil itu mencemaskannya. Tapi sejujurnya, dia sama sekali tidak cemas. Dia bisa berteleportasi kapan saja dia mau.
Hanya saja, akan sangat disayangkan kalau itu terjadi. Karena, pertama, misinya belum berhasil. Kedua, kain-kain kulit monsternya belum dia ambil, dan terakhir, dia belum berpamitan pada pemilik penginapan dan beberapa kenalan lain yang ditemuinya di sini.
Cien sungguh berharap, pihak kerajaan tidak memaksanya harus pergi dari kota ini.
***
Di lain tempat, kediaman Viscount Amary.
Jeanne telah menjelaskan semua yang terjadi di pasar terbuka kepada paman dan bibinya. Dia menceritakan bagaimana dia menggadaikan Veronica demi Fire Glove di dua pasang tatapan murka kedua suami istri tersebut.
Shiwa Amary, istri dari Viscount Nicolas Amary, mendesah pelan lalu memegangi keningnya. Tidak habis pikir akan perilaku dari keponakannya.
"Apa kamu yakin kalau Veronica aman di sana?" Tanya Shiwa.
"Mungkin, tidak, Pasti!"
"..."
Shiwa kehabisan kata, dan kembali mendesah pelan.
Sedangkan Nicolas tampak berpikir. Dalam kepalanya, tercipta beberapa skenario yang mungkin terjadi di pasar terbuka tempat Veronica berada. Dan sungguh, mayoritas skenario yang dia pikirkan bukanlah hal yang bagus.
Mengetahui adanya orang-orang yang membututi keponakannya, itu artinya ada kemungkinan juga, akan ada orang yang mengincar putrinya.
'Ini tidak bisa ditunda lagi. Aku harus ke sana sekarang juga!'