Mark terbangun dan melirik ke samping. Dia menghela napas saat sadar sejak semalam tidur sendirian karena Adriana yang biasa menemaninya, kini sudah pergi. Ada rasa penyesalan dan kehilangan yang melanda hati pria itu, menyisakan rasa sedih dan sepi.
Perlahan, Mark menggeliat kemudian duduk, melirik suasana ruangan yang tampak sepi. Dia menatap lemari tempat biasanya Adriana akan mengambilkan pakaian untuknya, merapikan tempat tidur, dan menyiapkan air hangat. Bayangan itu sepertinya terus mengganggu pikirannya, menciptakan rasa sakit yang terus menerus melanda hatinya.
"Kenapa begitu sulit untuk melepaskanmu? Tapi aku juga tidak bisa kehilangan Maura. Aku sadar, aku mencintaimu dan aki juga mencintainya." Mark menghela napas kasar lalu mengacak-acak rambutnya karena kesal.
"ARGHHH!!"
Mark berteriak frustrasi, napasnya tidak stabil lagi. Dia merasa kacau dan segera turun dari tempat tidur. Tapi saat dia hendak pergi, ponselnya yang terletak di atas nakas dekat tempat tidurnya berdering.
Mark segera meraih ponsel itu, dan melihat panggilan dari Maura. Dia segera menjawab panggilan itu dengan malas.
"Halo, Maura," sapa Mark.
"Halo sayang, apa kamu sibuk hari ini?" tanya Maura dari telepon. Suaranya terdengar manis dan bersemangat.
"Maaf, Maura, hari ini aku sibuk karena aku harus menyelesaikan masalahku," kata Mark yang yakin Maura akan mengajaknya bertemu.
"Apa masalah mu?"
"Yang pasti adalah masalah penting. Tolong biarkan aku berpikir jernih," seru Mark lalu mengakhiri panggilan itu. Dia segera meletakkan ponselnya kembali di atas nakas dan turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi, Mark segera melepas pakaiannya dan menyalakan shower, membiarkan tubuhnya yang kekar terguyur air dingin, seperti hatinya yang dingin tanpa senyum hangat Adriana yang biasa menyapanya setiap pagi.
Setelah mandi, Mark buru-buru berbenah diri dengan mengenakan kemeja biru lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans hitam lalu menyisir rambutnya dengan gaya haircut qdan menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
Setelah merasa rapi dan tampan, Mark bergegas mengambil
ponsel, dompet, dan kunci mobilnya di atas nakas lalu berjalan keluar kamar. Dia menuruni tangga menatap ke ruang tamu, membuatnya teringat pada Evan, yang ketika bangun pagi akan bermain di sana dan terkadang membuat pagi jadi agak ramain.tapi tidak sekarang. Semuanya terasa sepi karena anaknya telah dibawa oleh istrinya.
Di lantai dasar, Mark bergegas ke ruang makan tempat ibu dan adiknya sedang sarapan. Dia menghampiri mereka dan mengambil roti lalu mengolesinya dengan selai nanas.
"Ke mana kamu akan pergi? Ini tidak seperti biasanya kamu bangun awal saat weekend." Byanca menatap curiga pada Mark yang terlihat seperti sedang terburu-buru padahal biasanya pada akhir pekan dia akan bangun lebih siang, tapi sekarang masih jam delapan pagi, terlihat sangat rapi. (ingat latar USA ya)
"Aku akan menjemput istri dan anakku," kata Mark.
Margareth yang sedang makan, berhenti dan menatap Mark dengan kesal. "Kenapa harus dijemput padahal tadi malam kamu membiarkan mereka pergi?" Dia bertanya.
"Aku menyadari bahwa aku membutuhkan mereka, Ma. Aku tidak bisa menceraikan Adriana. Evan yang akan malang, dia akan menjadi korban jika aku menuruti Adriana untuk menceraikannya," kata Mark dengan gusar, menatap ibunya penuh permohonan, memohon untuk tidak mengganggu masalah rumah tangganya.
"Apa kamu bodoh, Mark? Lalu bagaimana dengan Maura? Apakah kamu akan melepasnya? Tentu saja dia jauh lebih baik daripada Adriana." Margareth menyebut Maura yang dia tahu sudah lama mencintai Mark.
Mark semakin kesal karena ingatan tentang Maura juga membuatnya bingung dan semakin dilema. akhirnya, dia melemparkan roti yang belum sempat dia makan dengan geram, emosi dan matanya menajam.
"Sial! Biarkan aku berpikir jernih, Jangan hanya karena mama tidak menyukai Adriana,
mama terus memintaku untuk membuat keputusan yang salah!" Mark menatap kesal pada Margareth.
"Dan ini yang mama benci karena kamu punya hubungan dengan Adriana, kamu berani berkata kasar ke mama!" Margareth menatap Mark dengan kecewa, lalu bangkit dari kursi dan berjalan ke ruang tamu, meninggalkan makanannya yang belum habis.
"Kamu keterlaluan, merusak suasana!" seru Byanca yang juga meninggalkan ruang makan. Nafsu makan gadis itu menghilang karena emosi Mark yang tidak terkendali, membuat suasana pagi yang segar dan dingin, jadi pengap dan panas.
Mark menatap kepergian Byanca dengan kesal lalu melirik meja makan. Dia melirik kursi yang biasa diduduki oleh Adriana dan Evan, membuatnya merindukan mereka lagi. Dia meraih apa pun yang ada di sana dan membantingnya.
Prackk...
Gelas yang menjadi sasaran kekesalan Mark terlempar ke lantai dan pecah berserakan.
"BRENGSEK!" umpat Mark lalu bergegas keluar dari ruang makan dan berjalan melintasi ruang tamu dan ruang tamu. Dia bergegas ke garasi menuju mobilnya dan segera masuk kemudian mengemudikannya keluar gerbang. Ke mana dia akan pergi? Mungkin dia akan menjemput Adriana?
Oke, kita lihat yang dijemput mau pulang atau tidak?
-____
Usai memandikan Evan dan dirinya juga sudah mandi, Adriana bergegas ke ruang makan untuk sarapan bersama ibunya yang sudah menunggu di kursi meja makan.
"Mana Amanda, Bu?" tanya Adriana yang sudah tampak lebih fresh mengenakan dress berwarna cokelat susu selutut yang dipadukan dengan atasan tipis berwarna pink. Dia segera mengambilkan sedikit nasi dan omelette untuk Evan yang sudah duduk di sampingnya.
"Adikmu ada di toko karena mobil barang akan datang," jawab Emma, tersenyum muram pada cucunya, yang begitu tampan dan rapi dalam setelan kuning dengan mobil balap merah animasi yang bersuara.
"Kalau keadaan sudah tenang, biar aku yang buka toko. Ibu di rumah bersama Evan, dan Amanda juga harus fokus pada pendidikannya," kata Adriana dengan semburat kesedihan masih terlihat di wajahnya.
Emma menatap kasihan pada Adriana yang sudah terlanjur terluka kemudian menoleh ke arah Evan yang sudah pasti akan menjadi korban perceraian. "Apa kamu yakin ingin bercerai?" Dia bertanya.
"Aku cukup yakin, Bu," jawab Adriana dengan suara tegas.
"Lalu bagaimana dengan Evan?" tanya Emma lagi.
"Dia akan tetap bersamaku, aku tidak akan membiarkan dia diambil oleh Mark ... karena jika Mark membawanya berarti dia akan diasuh oleh Maura yang akan menjadi ibu tirinya," kata Adriana.
Emma menghela nafas dan hanya bisa mendukung keputusan Adriana.
Ting Tong...
Suara bel yang tidak terlalu keras terdengar, Adriana segera meletakkan piringnya di atas meja dan bangkit dari kursi.
"Biar aku buka pintunya," kata Adriana kepada ibunya yang hanya mengangguk. Dia segera berjalan menuju ruang tamu dengan melintasi ruang tengah.
Setibanya di pintu utama dan membukanya, Adriana menghela napas kasar saat melihat siapa yang datang.
"Kita harus bicara," kata Mark dengan tatapan datar. Hem, dia tiba sangat cepat. Akankah Adriana menuruti keinginannya untuk pulang dan kembali tinggal di rumah mewah namun terasa seperti ruang siksaan batin untuknya?
.