Chereads / Senja - Keindahan Sementara Menuju Kegelapan / Chapter 6 - Chapter 6 - Pulau Macan Gundul

Chapter 6 - Chapter 6 - Pulau Macan Gundul

Di pinggir Pulau Macan ini kami bisa melihat dasar laut karena tingginya hanya 50 sampai 100 sentimeter, sekitar sedengkul atau sepinggang orang dewasa. Karena air lautnya bening, jadi kami bisa melihat karang dan ikan-ikan berenang di laut. Aku merasa ini adalah pulau terindah yang pernah ku lihat. Itu juga karena aku jarang travelling sih.

Kami menuju pulau macan gundul tersebut dengan berjalan kaki, menyusuri karang dan dasar laut dengan kedalaman sekitar 60cm sampai 120cm. Jarak yang kami tempuh sekitar 500 meter membutuhkan waktu 15-20 menit. Karena air lautnya jernih, aku bisa melihat banyak ikan yang berenang, karang laut dan bulu babi yang berkelompok di bawah laut. Kami memakai sepatu boot karet, hal ini bertujuan agar kaki tidak kena karang atau menginjak sesuatu yang berbahaya ketika berjalan. Beberapa teman menggunakan board untuk sampai ke pulau macan gundul, sedangkan Papa dan Mama menggunakan kano, mereka terlihat seperti orang berpacaran saja, aku tertawa dalam hati.

Sesampainya di Pulau Macan Gundul, aku melihat indahnya pasir dengan air laut bening. Di sini kami bisa berfoto di pantai atau berenang untuk melihat indahnya karang di bawah laut.

Aku, Keysia dan Gaby bermain di pantai. Aku bermain Paddle Board dan mendayung di sekitar pantai. Keysia bersama Gaby bermain kano. Terlihat Keysia mendayung kembali ke pantai, dia sepertinya bosan jika hanya mendayung. Keysia dan Gaby turun dari kano. Aku juga mengikuti mereka.

"Kamu kenapa, Key?" Aku bertanya ke Keysia.

"Tidak kenapa, Kak. Aku pengen berjemur aja sih." Dia terlihat bermain pasir.

"Kirain kamu kenapa."

"Kakak lanjut main saja dengan Kakak Gaby." Terlihat senyum aneh dari wajah Keysia, ini anak punya rencana apa lagi.

Gaby memotong pembicaraan. "Oh iya, gue naik Paddle Board saja bareng lu, Ken."

"Bukannya lebih baik pakai Kano kalau dua orang?" Aku memberi saran. "Karena kalau pakai Paddle Board, mudah jatuh kalau berdua."

"Bisa kok, yang penting jaga keseimbangan saja, dan tidak harus berdiri kan. Bisa juga duduk." Gaby berseru riang, membantah argumen aku.

"Oke, ayo…. lu di depan ya." Aku mempersilahkan Gaby naik board.

"Dadah kak…." Keysia berseru dengan wajah memerah.

Kami mulai menjauh dari bibir pantai, dan terlihat Mama yang sedang bermain kano menoleh ke arah kami dengan penuh senyum aneh. Terasa canggung memang berduaan dengan Gaby, karena selama ini kami selalu bertiga dengan Keysia.

"Ken, kalau gue pindah saja ke sekolah lu, gimana?" Gaby bertanya kepadaku tanpa menoleh.

"Memangnya sekolah lu kenapa?" Aku bertanya balik, sembari tetap mendayung.

"Kan udah gue ceritain semalam." Gaby menjawab dengan nada sinis.

"Separah itukah sampai lu harus pindah?" Aku kembali memberi pertanyaan tanpa menjawab pertanyaan yang sudah diberikan Gaby.

"Nggak separah itu juga sih, tapi amat membosankan. Gue juga nggak akrab sama teman sekolah di sana." Omongan Gaby penuh keluh-kesah-resah. Gaby membalikkan badan dan melihat ke mataku.

Aku menatap prihatin, nyengir, "Terserah lu aja, kan bukan gue yang jalanin."

"Gue minta saran! Makanya nanya ke elu!" Cetus Gaby.

Aku tertawa melihat wajah Gaby yang sedang kesal. "Ya saran gue itu, terserah lu saja, gue kan nggak merasakan langsung tentang sekolahmu."

"Mmmm….. nanti deh gue pikirin lagi, dan mau tanya ke Papa dulu." Gaby membalikkan badan kembali menghadap ke depan.

"Iya, kan gue bilang terserah lu." Aku mendesah pelan.

"Tau ah! Lu nyebelin." Gaby menjawab dengan ketus.

Aku tertawa lebar, "Gabs… kita balik ke pantai, sekalian ambil peralatan snorkeling."

"Ayo…."

Kami berdua balik ke bibir pantai, terlihat Keysia sedang bermain pasir. Tunggu, kok ada istana pasir di samping Keysia, nggak mungkin Keysia membuatnya secepat ini. Aku melihat sekitar, dan terlihat beberapa orang menghampiri Keysia, dan juga ada 2 orang di balik istana pasir itu. Mungkin mereka yang membuat istana pasir tersebut dengan Keysia.

"Kamu yang buat ini, Key?" Aku duduk menatap kagum, melihat istana pasir ini.

"Iya dong…." Suara riang dan terkesan sombong dari Keysia.

"Wah hebat." Gila… dia bisa membuat sebagus ini, padahal belum lama kami tinggalkan dia sendirian bermain pasir.

"Keren banget ni, Key….." Gaby menyergah.

Keysia tertawa pelan "Iya, Kak. Banyak yang bantuin tadi."

"Tadi kami melihat Keysia sendirian bermain pasir, jadi kami datang dan ada ide untuk bangun Sand Castle bersama-sama." Tiba-tiba terdengar suara yang begitu berwibawa di sebelahku. "Oh… iya perkenalkan saya Aslan, teman kantor papa kamu. Mmm kamu Kenzie, kan?"

Aku menoleh, "Eh… Eh-iya om. Terima kasih sudah bantu adik aku."

"Sebenarnya detail pembuatan ini, si Keysia yang kerjain, kami hanya bantu ambil pasir dan campur dengan air. Dia memang hebat buat beginian, ya?" Pak Aslan tertawa takzim melihat Keysia yang masih kecil tapi punya kemampuan seperti ini.

"Kebetulan Keysia memang punya ketertarikan khusus terhadap seni, dia juga sering menggambar di rumah. Walau banyakan gambar abstrak sih." Aku menceritakan kemampuan Keysia sembari tersenyum bangga melihat dia yang masih asyik membuat detail pintu dan jendela istana pasirnya. Gaby juga sedang menatap takzim di dekatnya. Beberapa orang juga sudah selesai membuat bangunan-bangunan besarnya, sisa menunggu Keysia membuat detail dari istana pasir tersebut.

"Dari kecil udah punya ketertarikan dan kemampuan terhadap seni, pasti nanti saat dewasa Keysia akan menjadi seniman berbakat." Pak Aslan terus memuji Keysia yang sedang fokus. Aku hanya bisa tersenyum bangga.

Terlihat Papa dan Mama juga berjalan menghampiri kami.

"Wah…. Wah…. Siapa yang buat ini?" Papa kagum melihat istana pasir yang dibuat Keysia.

"Keysia pa, keren kan?" Aku menjawab dengan penuh semangat.

"Emang anak mama pintar banget ni…." Mama menyergah.

"Halo Pak Galen." Pak Aslan menyapa Papa, "Anak bapak cukup berbakat dalam seni. Kami kagum melihatnya."

"Iya Pak Aslan, terima kasih. Keysia memang sudah tertarik dengan kesenian gitu." Papa tersenyum.

"Pak…. Sering-sering buat libur seperti ini dong." Pak Aslan berbicara pelan sambil tersenyum.

Papa hanya menanggapi dengan tawa kecil.

"Nggak jadi snorkeling?" Gaby mendesah pelan.

"Eh… ergh nggak jadi deh, kita bantu Keysia saja, dan udah mulai panas juga..." Aku menoleh ke arah Gaby "Lu pengen banget yah? Bukannya lu sudah sering kemari? Pasti sering snorkeling juga."

"Bukan pengen banget. Kan tadi lu yang ngajak, jadi gue nanya ulang." Wajahnya memerah, Gaby terlihat malu, kenapa dia malu? Kayaknya nggak ada hal aneh deh.

"Key, aku ikut bantu buat jendelanya yah…." Gaby mengambil alat seperti sendok semen, seperti yang digunakan Keysia.

"Kak, nggak perlu, biar aku sendiri saja." Keysia menyergah, "Biar terlihat original kak, dan aku nggak ingin nyusahin orang…. Maaf ya kak." Key tertawa pelan.

"Lu duduk saja, sini samping gue…. Anggap saja sedang berjemur." Aku menarik tangan Gaby.

Kami berdua duduk sembari menunggu Keysia menyelesaikan Sand Castle yang dibuatnya. Papa dan mama ngobrol bersama teman-teman yang lain. Mungkin hanya aku dan Gaby yang berusia belasan tahun, sisanya terlihat berusia 25 tahunan bahkan lebih.

"Gabs, gue sebenarnya lagi masa kampanye di sekolah."

"Kampanye apa?" Tanyanya.

"Pencalonan ketua osis." Sahutku.

"Wah Keren, gak nyangka orang kayak lu mau jadi ketua osis." Katanya sinis.

Aku tertawa lepas, "Image gue jelek amat ya?"

"Bukan, tapi lu sepertinya tipe orang yang nggak suka rutinitas." Gaby menyindir.

"Sebenarnya gue malas urus yang beginian, tapi teman sekelasku maksa agar gue mau." Aku menghela napas.

"Mereka maksa kenapa?"

"Soalnya kalau gue nggak nyalonin diri, maka lawan gue pasti jadi Ketuanya. Dia cewek soalnya."

"Loh, emang kenapa kalau dia cewek? Nggak boleh jadi ketua? Rasis banget kalian!" Gaby berkata ketus.

"Bukan karena itu juga, tapi sekolah kami itu unik. Beberapa aturan yang berlaku untuk siswa tidak langsung diputuskan sepihak oleh guru ataupun kepala sekolah, melainkan di bicarakan dengan para siswa, dan Osis yang mewakili suara semua siswa. Jadi keputusan secara musyawarah, dan suara Osis berpengaruh sekitar 50% untuk menentukan aturan yang berlaku. Keren kan sekolah gue." Aku memberi seringai miring.

Tampak kekaguman di wajahnya, "Keren, gue jadi tambah pengen masuk sekolah lu. Ehmm…. Berarti kalian bisa buat aturan sesuai dengan keinginan kalian dong."

"Iya bisa, tapi suara kami hanya 50%, jadi kalau aturan yang kita buat seenaknya, pasti nggak ada satupun guru setuju."

"Oh…. Iya paham gue." Gaby mengangguk.

"Tapi sayangnya, Ketua Osis yang terpilih selama ini adalah orang-orang yang nurut sama guru disiplin. Makanya aturan di sekolahku tetap disiplin seperti pada umumnya. Jadi lawan gue ini didukung oleh guru tersebut, namanya Pak Raka."

"Mmm…. Menurutku nggak ada yang salah dengan aturan untuk mendisiplinkan, Ken." Ucap Gaby.

"Memang nggak salah, tapi menurut gue jangan terlalu kaku soal kedisiplinan, dan poin utamanya gue nggak ingin mempersulit organisasi ekstrakurikuler, bahkan jika lebih banyak yang terbentuk lebih bagus lagi. Gue punya visi bahwa teman-teman gue bisa nyaman di sekolah, jangan menganggap sekolah seperti sangkar burung atau penjara." Aku menatap langit yang sedang ceria.

"Gue setuju sih, sama lu. Tapi perubahan seperti itu harus dipikirkan dengan matang, dan tim lu harus solid."

"Iya, untuk sementara gue jalanin saja dulu. Kan bisa jadi gue kalah dalam pemilihan." Aku menoleh, tersenyum.

"Tepat sekali, sudah jauh memikirkan visi yang ingin dicapai, ternyata kalah." Gaby tertawa lepas.

Tidak terasa Keysia telah menyelesaikan sand castle buatannya, jika ada orang pertama kali melihat sand castle ini tanpa melihat prosesnya, pasti dia takkan percaya kalau ini buatan anak kecil berumur 8 tahun. Kami takzim melihatnya. Sayangnya sand castle tidak akan bertahan lama, jadi kami mengabadikannya lewat foto bersama.

"Ayo kita foto bersama karyanya Keysia." Papa berseru.

Semua pengunjung selain teman kantor papa menjadi akrab dengan kami lewat karya Keysia, semua senang berfoto dengan hasil karyanya.

"Key, Ken, ayo kita foto bertiga…." Gaby berseru riang.

"Sini papa fotoin." Papa menawarkan diri.

"Eh…. Om, maaf merepotin." Gaby merasa canggung.

"Nggak papah, Siap ya. 1…. 2…. 3." Papa mengambil foto kami.

"Sekali lagi, 1…. 2…. 3. Yah bagus hasilnya, nanti Om kirimin sama kenzie, kamu minta sama dia ya." Papa berbicara ke Gaby.

"Emmmm,… iya om, makasih." Gaby tersenyum tanggung.

"Papa masih mau di sini?" Aku bertanya ke Papa.

"Kenapa, Ken?"

"Aku udah mau balik, udah siang juga. Mulai lapar…." Aku tertawa sambil menepuk perut. "Key, kamu ikut?"

"Iya Kak, aku ikut."

"Papa nanti bareng sama teman-teman yang lain. Kalian duluan yah…." Papa mengelus rambut Keysia.

"Gabs, lu ikut?"

"Iyalah, nggak mungkin gue sendirian di sini tanpa teman. Kan Cuma lu yang seumuran dengan gue." Gaby cemberut, berbisik pelan.

Aku tertawa, "Ayo…, Pa kami duluan yah."

***

Kami bertiga kembali untuk menikmati makan siang. Menu yang ditawarkan sangat beragam, dari ikan, sayur hingga buah. Yang paling utama adalah Resort ini tidak menyediakan menu dengan penyedap rasa atau mecin.

"Ken, kenalin…. Head Chef Resort ini, yang gue ceritain ke lu, bibi Endah." Gaby mendekati ibu tersebut, "Bi…. Ini Kenzie, anaknya Pak Galen."

"Halo Bi…. Aku suka dengan masakannya bibi, enak sekali…." Aku memberi salam kepada bu Endah dengan mencium tangannya.

Bu Endah tersenyum, "Kamu berlebihan Ah….. Masakan bibi biasa saja kok."

"Ini adik aku Bi, Keysia." Aku memegang pundak Keysia, "Key…. Salam sama bibi." Key memberi tangannya, "Bibi ini yang masakin makanan yang kita makan, Key."

"Wah…. Bi, masakan bibi enak semua, ajarin Keysia nanti ya." Mata Keysia berbinar-binar penuh kekaguman.

"Kamu suka masak juga ya?" Bu Endah bertanya.

"Baru mau belajar bi, soalnya aku kan cewek, jadi harus pintar masak." Keysia tersenyum simpul. Rona merah terkuras dari wajah Gaby, dia mengernyitkan wajahnya. Ekspresi malu yang ditunjukkan Gaby membuat aku berpikir kalau dia ini nggak bisa masak. Aku menyeringai, membuat Gaby memicingkan matanya, sinis terhadapku.

"Wah, pintar kamu. Padahal masih kecil." Bu Endah mengelus rambut Keysia.

"Bi, Keysia ini jago buat istana pasir juga…. Tadi dia membuat istana pasir di pantai, dan semua orang jadi berkumpul untuk melihatnya." Gaby terlihat bersemangat menceritakan Keysia.

"Dia jago menggambar juga loh, Gabs. Walaupun gambarnya kebanyakan gambar abstrak tapi terlihat punya makna, bukan coretan biasa." Aku menyergah.

Keysia menanggapi dengan tawa kecil.

"Wah cocok ni…. Gaby juga jago loh soal desain-desain gitu di laptop." Bu Endah tersenyum.

"Lu bisa desain grafis ya. Keren tuh, skill yang sangat berguna." Gaby tersipu malu.

"Eh….Kalian makan dulu. Makanannya sudah siap." Bu Endah menawarkan.

"Iya Bi, sudah nggak sabar ni makan masakannya Bibi." Aku melihat makanan yang disajikan dengan ekspresi tidak sabar ingin menikmatinya. Aku, Gaby dan Keysia menikmati sajian makan siang yang disediakan Bu Endah.

Terlihat Papa, Mama serta pengunjung lainnya telah kembali dari pulau macan gundul. Mereka juga terlihat lapar, rombongan itu berhilir ke tempat kami untuk menyantap bersama sajian dari Resort.