Chapter 12 - dua belas

"Bang stop"

Namun diluar dugaan Tasya, Agung malah memfokuskan pandangannya pada setiap luka lebam di tubuhnya, wajah penuh kebingungan itu membuat Tasya gugup, dia harus jawab apa tentang semua pertanyaan yang pasti akan Agung layangkan untuknya.

"Lo kenapa?"

"Gue? Ah ini? Gue jatoh trus lebam"

"Jatoh dimana yang bisa lebam sebadan-badan Sya?, Lo kecelakaan? Lo ikut kecelakaan sama Bumi?"

"Bumi?"

"Iya Sya, kan sebulan lalu Bumi nabrak cewe tu, apa ini karena kecelakaan itu? Makanya dia sibuk diluar ngurusin tu cewe katanya, dari tadi pagi dia bilang hari ini tu ponaan tu cewe ada ulang tahun jadi dia bakal di dorm aja gak keluar"

Agung cukup penasaran dengan segala hal yang terjadi pada Tasya, namun wanita itu tak kunjung menjawab, dan dapat disimpulkan kalau Bumi tak mengatakan apapun kepada istrinya.

"Lo beneran gak tau Sya?"

"Gak Bang"

"Ya udah lo tanyain aja ke Bumi ntar, gue balik ya, ntar gue telphone Bumi aja trus baru balik lagi"

"Hati-hati Bang"

Sepeninggalan Agung, Tasya terdiam, bukan karena Agung curiga dengan lukanya tidak, tapi tentang Bumi yang tak cerita apapun tentang kecelaan yang dialaminya, dan siapa cewe yang dimaksud oleh Agung.

"Pantes lo pulang tengah malem mulu ya Mi, ada cewe lain yang lo prioritasin"

Lagi dan lagi, senyum pasrah adalah senjata ampuh untuknya, karena bagaimanapun dia marah nantinya toh Bumi tidak pernah peduli dengan perasaannya.

🔺🔻🔺

Tasya POV.

lucu ya, kadang hidup gak pernah sesuai dengan apa yang aku inginkan, tapi malah selalu berjalan dengan apa yang aku takutkan, kalau masalah Bumi tidak menganggap ku mungkin bukan lagi hal yang membuatku kaget sih, cuma banyak cerita yang mulai menjadi rahasia diantara aku dan Bumi.

Hari ini aku juga sakit, tapi dia malah berespon biasa aja, gak pernah sepanik tadi pagi, apa yang menghubunginya tadi pagi itu adalah cewe yang Bang Agung bilang?, Ya masa aku nanya itu ke Bumi nanti dia marah lagi, cuma kalau gak aku tanya ya aku mati penasaran lah.

Rada takut sih kalau nanti suami ku, eh suami ku kan panggilannya? Walaupun cuma aku yang anggap pernikahan ini ada?.

Jujur sih siapa istri yang bakal biasa aja kalau taunya suami yang dia percaya malah ngerawat cewe lain di luaran sana, iya aku tau itu mungkin sebatas tanggung jawab cuma kayak gak etis aja gak sih kalau Bumi ngabisin waktu ampe tengah malem cuma buat ngurusin dia, emang dia gak punya temen sekamar apa?.

Tapi aku mau marah juga gak berhak, mau ngambek juga siapa yang peduli, paling nanti kalau aku ikut campur malah dipukul.

Kalau soal kekerasan sih aku udah khatam sih, soalnya orang tua ku juga mainnya kekerasan, makanya aku coba milih tinggal sama nenek di Korea, ya sekalian juga Papa dulu di tugasin di sana, cuma waktu ku lebih banyak sama Nenek, jujur wanita paruh baya itu lebih baik dari pada siapapun yang pernah aku temui.

Tapi sayang, aku hanya bisa bersamanya selama tiga tahun, penyakit asma yang dia derita merenggut nyawanya seketika pada musim panas waktu itu.

Aku terpukul? Ya jelas, aku bahkan hilang arah, karena selain diriku, hanya Nenek yang ku percaya, tapi Tuhan sepertinya tidak memberikanku kesempatan untuk memiliki apa yang aku mau dan butuhkan.

Aku terjebak karena perasaan ku sendiri, ah aku benci rasa ini, memaafkan, mengerti, mengulanginya lagi, jujur aku capek, cuma udah kepalang tanggung kan, aku udah nikah sama dia, udah jalan 2 bulan juga, ya udah lah ya nikmatin aja.

Aku juga berulang kali menyelamatkannya dari Mama mertuaku, aku selalu menyiapkan banyak alasan kalau Bumi gak ada di rumah, dari kuliah lah, nge-gym lah, olahraga lah, ya syukurnya dia tau aku gak suka aktifitas berkeringat itu, yang ku suka dapur, sumur dan kasur, eh kalau yang terakhir kecanduan sih.

Ada fakta yang belum aku ceritakan, Bumi tidak normal dalam masalah ranjang, dia menyukai kekerasan bahkan sampai menyakiti partnernya saat melakukan hal intim itu, ini alasan kenapa aku selalu lebam di sekujur tubuhku, di tambah lagi dia memang senang memukulku, ya aku rasa itu obat gilanya, menyiksaku.

Tapi setiap dia melakukan itu, hatiku berdebar, bukan karena takut, tapi aku menyukai ekspresi marahnya, aku menggilai makiannya, walaupun tak pernah ku pungkiri juga kalau aku sakit hati dengan semua perkataannya, tapi aku tak bisa menghentikan perasaan gila ini, dia membuatku begitu ingin selalu berada di dekat Bumi apapun yang terjadi, walaupun aku mengorbankan tubuhku untuk dia jadikan pelampiasan kekesalannya, aku tak peduli tentang itu.

Tapi banyak pertanyaan yang muncul di otak ku tentang Bumi, bagaimana perasaannya tentang ku atau setelah melukai ku secara fisik maupun psikis, apa dia baik-baik aja?, Atau pernah gak sih dia ngerasa nyesel gitu?, Aku emang gak pernah nangis terang-terangan di depan dia, karena aku benci dianggap lemah, tapi setiap hari tanpa dia sadari aku kesulitan bernafas karena keseringan menangis bahkan untuk hal yang sama, perlakuan Bumi.

Aku juga pernah menanyakan kepada hatiku, apa aku harus nyerah aja?, Toh Bumi juga gak suka aku, tapi hatiku selalu menjawab, masak jalannya udah jauh mau puter balik, ya jadinya aku berenti lama banget di tengah-tengah kisahku, jujur aku ingin selesai, bukan selesai pernikahannya, tapi selesai dengan semua penderitaannya.

Sebentar, Mama Bumi menelphone ku, demi apapun aku gak tau mau boong apa lagi, masa setiap Mamanya hubungin aku Bumi selalu gak ada di rumah, mau pagi, siang, sore, malem bahkan dini hari sekalipun tu anak gak pernah keliatan ada di rumah.

"Hallo Ma"

"Hallo sayang, di sana udah sore ya? Jam berapa Sya?"

Aku menyukai suara riang Ibu mertuaku ini, dia baik bahkan jauh lebih baik dari Mamaku, ya selevel dengan Nenek ku lah, dia juga menyelamatkanku dari keluarga yang gila harta itu, ya katanya beliau juga akan menjagaku jika sewaktu-waktu Ayahku akan mengambil dan menjual ku kepada saudagar kaya, lucu ya dunia ini, Yang gak siapa-siapa kita itu yang perhatian, yang kandung malah lebih tega.

"Udah makan Sya?"

"Udah Ma, tadi sebelum pergi ke kampus Bumi beliin makanan Asia gitu deket kampusnya itu kotaknya"

Ah aku selamat, untung belum ku buang kotak makanan itu, aku melihat beliau mengangguk, lalu dia mengatakan dia juga mengirim aku sesuatu, kalau sampainya dia tidak tau juga kapan, kan beda benua tapi dia berharap aku menyukainya.

Ya pasti aku akan menyukai segala hal yang Mama mertuaku berikan kepadaku, termasuk Bumi.