Pemberitahuan
1. Sejak awal cerita ini memang tidak punya gambar/foto tokoh. Sekalipun hanya sebagai perumpamaan, saya tidak mau mengambil foto orang lain.
2. Cerita ini akan di private untuk judul-judul selanjutnya. Jadi kalian harus memFOLLOW akun penulis.
Tapi boong
3. Penulis hanyalah pemula
4. Penulis tidak menerbitkan tulisan di tempat lain.
5. Jangan lupa Vote dan Comment ya
6. Kisahnya di ketik di hp jadi kalau ada banyak typo, Mohon Maaf yang sebesar-besarnya.
####
Mentari baru saja menampakkan dirinya saat aku telah jauh melangkah meninggalkan rumah, berjalan melewati deretan rumah megah yang penghuninya mungkin masih terlelap. Angin berhembus pelan, menambah dingginnya suasana pagi. Aku terus berjalan dengan semangat yang membara, sehingga tak kurasakan dingginnya pagi.
"Aku harus bekerja lebih giat agar bisa membeli rumah megah dan mobil mewah"
Entah sudah berapa kali aku mendengar kalimat yang sama, aku hanya tersenyum kecut saat orang-orang melontarkan begitu saja kata-kata itu. Bukan, bukan aku menyalahkan mereka, hanya saja untuk apa mereka berambisi seperti itu? Kebahagian? Ketenaran? Atau apa? Entahlah. Jika mereka berambisi untuk semua itu, aku yakin sekali mereka menjadi seperti orang tuaku. Pergi kerja pagi dan pulang entah kapan, namun ku yakin malam telah larut. Itukah kebahagiaan? Mungkin iya bagi mereka, tapi tidak bagi keluarganya. Aku tidak membenci orang tuaku tapi setidaknya mereka memberi sedikit perhatian dan kasih sayang pada anaknya itu, sepertinya semua hanya angan belaka. Sejak kecil aku diasuh dan dididik oleh bi Minah, sejak itu pula aku lebih mendengarkan bi Minah daripada orang tuaku. Aku bersyukur karena aku tumbuh di tangan orang yang benar-benar menyayangiku juga mendidik ku dengan baik.
Oh iya namaku Teuku Iqbal Mahendra, orang-orang memanggilku Iqbal tapi bi Minah memanggilku Ibal dan ya, aku berada di keluarga Mahendra yang sangat terkenal di kalangan pengusaha. Entah apa yang special dari itu semua, yang ku rasakan hanya keluarga Mahendra yang kerja terus dan lupa waktu untuk anaknya, meski hanya untuk berbicara tentang keadaan sekolah anaknya. Sejak SMP, aku memutuskan untuk mencari uang sendiri agar bisa membayar SPP juga mencukupi semua kebutuhanku. Meskipun orang tuaku tetap ngotot memberikan uang SPP dan belanja sehari-hari, aku memang menerimanya namun aku tidak menggunakannya. Aku hanya menyimpannya di Bank yang mungkin suatu saat nanti mereka akan membutuhkan uang itu, aku juga menabung uang hasil kerja kerasku namun tidak satu Bank dengan uang mereka.
"Pagi-pagi melamun aja nih"
"Eh, Nis. Enggak kok, cuma lagi mikir aja"
Dia Dianisa Putri Rajasa, Anis, anak kaya, populer, pintar dan cantik. Aku sendiri agak sedikit kurang percaya diri berjalan di samping sahabatku ini, bagaimana tidak? Dia adalah juaranya sekolah juga salah satu Most Wanted SMA Harapan. Meski aku juga populer dan pintar di sekolah, tetap saja ada rasa minder berjalan di sampingnya.
"Mikirin apa? Masa iya orang yang otaknya seencer kamu bisa mikir lama."
Aku hanya tersenyum, meski belum bisa merebut tahta juara darinya, dia selalu mengatakan bahwa aku jauh lebih pintar dan jauh layak mendapatkan tahta juara.
"Kehidupan kita baik-baik aja, apa tetap akan seperti ini?"
Kami saling tersenyum, sudah berulang kali pertanyaan itu terlontar. Bukan, bukan karena kami takut, hanya saja kami merasa kehidupan kami berjalan seperti tanpa beban. Dan disinilah kami, di sebuah ruangan yang sempit dan sesak, ada banyak orang yang sejak tadi duduk dan berdiri menunggu sebuah angkutan yang lewat. Bukan, bukan karena kami tidak di fasilitasi oleh orang tua. Kami punya motor dan mobil pribadi tapi kami sama-sama tidak memakainya karena semua itu hasil kerja keras orang tua bukan hasil keringat kami. Tidak mudah untuk mendapatkan ijin kerja dan naik angkutan umum dari orang tua masing-masing, namun kami berjanji bahwa semua yang kami lakukan tidak akan mengganggu prestasi di sekolah, yang tentunya sudah kami buktikan dengan kemajuan-kemajuan prestasi. Semua teman-teman dan pihak sekolah tidak tahu bahwa aku berasal dari keluarga Mahendra karena saat memperkenalkan diri, aku hanya menyebut Teuku Iqbal M, yang tentunya Anis pengecualian. Begitu pula dengan Anis, tak ada yang tahu bahwa dia berasal dari keluarga Rajasa, tentunya kecuali aku.
***
"Ke perpus dulu yuk"
Sudah menjadi kebiasaan kami, sehabis turun dari angkutan umum langsung ke perpus. Bukan,bukan karena kami kutu buku, hanya saja kami merasa nyaman kesana. Untungnya SMA yang favorit semua siswa ini, perpustakaannya selalu buka pagi. Selain untuk meminjam buku, kami kesana hanya untuk membantu petugas perpus. Mungkin hanya untuk menata buku atau sekedar menyapu, namun kami begitu senang membantu, setidaknya beban petugas itu sedikit lebih ringan.
"Pagi mas ganteng dan mbak cantik kesayangan aku"
Kami tersenyum, sudah biasa.
"Pagi Mbak,, eh Mas" Jawabku
"Mbak juga nggak apa-apa kok mas ganteng, kan ntar istrimu"
"Udah ya, jangan banyak basa-basi, kerjain yang bisa di kerjain,ntar malah nggak bisa"
Anis buru-buru menghentikan percakapan kami yang mungkin tak faedahnya.
"Ih, mbak cantik cemburu ya, tenang aja kok, ntar kita sama-sama jadi istrinya"
"Sintingmu itu lho" Jawab Anis Kesal.
" Udahlah, Pagi-pagi udah nekuk aja tuh wajah" Aku mencoba menengahi.
Begitulah keadaan pagi di sekolah, meski siswa yang datang masih bisa di hitung dengan jari tapi perpustakaan ini udah buka, daripada nggak ada kerjaan, kami memilih menghabiskan waktu pagi di perpus.
***
Teet,,,,teet,,,,, teet,,,,,,
Bel pulang berbunyi.
"Nis, ntar malam Lo ada waktu Ndak? Dinner yuk"
Itu Farhan, orang yang sejak SMP mencoba berbagai cara agar bisa jalan sama Anis. Dia pintar, anak orang kaya, ganteng, atletis, dia juga sangat populer bahkan kepopuleranku kalah darinya. Bukan, bukan karena aku tidak ganteng, hanya saja dia aktif di berbagai eksul olahraga yang membuat namanya melambung tinggi. Dan entah kenapa dia seakan benci kepadaku, mungkin karena aku dekat dengan Anis. Aku berbanding terbalik dengannya, aku lebih memilih ekskul jurnalis daripada olahraga, bukan karena aku tidak suka hanya saja sepertinya ekskul olahraga menyita waktuku lebih banyak sedangkan ekskul jurnalis lebih fleksibel apalagi aku harus kerja di sore hari. Dari segi apapun aku tidak darinya, badan kita sama-sama mulai terbentuk, tinggi juga sama, ganteng pun sama. Tapi aku tidak mempermasalahkan kepopulerannya, toh semua itu tidak ada kaitannya denganku.
"Duh maaf han, aku masih jalan sama Iqbal" Jawab Anis.
Seketika aku merasa matanya melotot padaku, atau hanya perasaanku saja. Aku dan Anis pun langsung ke tempat kerja. Ya seperti biasa, pulang sekolah langsung kerja sampai nanti Magrib.
***
"Aku pulang,,,,"
Aku kaget melihat kedua orang tuaku yang sedang duduk manis di ruang keluarga.
"Ibal pasti lelah, bi Minah udah bikin jus alpukat kesukaan Ibal." ucap bi Minah sambil berlari kecil ke dapur untuk mengambil jus yang di maksud.
Aku menyalami kedua orang tuaku.
"Ayah sama Bunda kok tumben udah pulang?" Tanyaku bingung.
"Ini Ibal Jusnya" kata bi Minah
Aku menerima jus dari Bi Minah lalu meneguknya sedikit.
" Paman Sam dan Bibi Santi mu meninggal dalam kecelakaan tadi pagi." Ucap Ayah dengan sedikit menahan air mata.
"Innalilahi wa innailaihi Raji'un. Kok nggak ngabarin Ibal yah, kan Ibal juga mau melayat." Ucapku kaget.
"Ndak sempet nak, Ayah sama Bunda aja kaget dan langsung pergi kesana." Jawab Ayah tegar.
"Terus anaknya gimana? Bang Ilham sama siapa sekarang?" Tanyaku
"Itu dia yang Ayah dan Bunda pikiran rkan daritadi. Apa kamu Ndak apa-apa kalau dia disini dan sekolah bareng kamu."
Sebenarnya aku kurang suka dengan keluarga Paman Sam, bukan karena apa tapi karena sikapnya dulu. Dulu aku pernah di ejek Ndak bisa apa-aoa bahkan saat anaknya Ilham yang salah karena memukulku pun mereka dengan entengnya menyalahkan dan menghajarku. Tapi aku yakin setiap manusia pasti bisa berubah, jadi tidak ada salahnya memberikan kesempatan yang kedua.
"Lho emangnya kenapa yah, kan disini masih ada kamar tamu juga yang nggak di gunakan. Ibal sih santai aja, justru senang kalau ada teman."
"Betul ya? Berarti besok Ayah akan jemput dia"
" Iya hati-hati yah, Ibal mau mandi, udah bau busuk"
Ayah dan Bunda hanya tersenyum melihatku yang berlalu di hadapan mereka.
"Apa Ndak apa-apa to Ibal?" Tanya bi Minah
"Apanya bi?" Tanyaku bingung.
"Itu Ilham serumah dengan Ibal?" Tanya bi Minah ragu.
"Oh bi Minah masih mengingat kejadian dulu ya?"
Bi Minah mengangguk
"Udahlah bi, kan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, toh nanti kalau ada apa-apa, aku masih punya bi Minah." Ucapku sedikit menggodanya.
"Ih,Ibal mah selalu gitu, yaudah mandi habis itu belajar. BI Minah ambilin air anget dulu."
Aku tersenyum melihat bi Minah yang berlalu di hadapanku, bukan karena apa, hanya saja bi Minah tahu semuanya. Bi Minah tahu tentang kebusukan keluarga paman Sam dan tentunya tahu bahwa aku tidak akan aman kalau Deket keluarga itu. Aku hanya berharap bahwa Ilham yang ku kenal sudah berubah menjadi lebih baik, setidaknya dia tidak berbuat se mena-mena terhadapku.