Pukul [8:00]
Ya, satu lagi konflik muncul di hadapan mata. Anak laki laki Pak Han, dulunya adalah sahabat dekat Lulu. Sejak kecil mereka selalu bersama, hubungan antar keluarga Pak Han dengan keluarga Lulu juga baik baik saja. Sampai ketika tanggal 20 Juli 2014, dua tahun lalu. Ledakan bom bunuh diri terjadi di supermarket Matsu. Malam itu ternyata Lulu mengajak Anak dari Kepala sekolah ini bersamanya. Entah apa tujuan mereka, aku tidak peduli. Yang penting sekarang adalah cara agar Lulu bebas dari tekanan ini. Masalah yang berlebihan tak baik bagi penyakit asma yang dideritanya itu.
"Pak, aku tahu..., anak bapak itu berharga..., tapi tolong jangan bawa urusan pribadi di sini!" Aku mengajak Lulu bangkit dari kursi interogasi ini.
"Bapak sudah dewasa..., harusnya bapak juga tau perasaan Lulu!" Nadaku sedikit tegas, menuntun Lulu ke pintu keluar ruangan ini.
"Dasar kalian! sekali lagi ada gosip seperti ini! Bapak akan keluarkan kalian dari sekolah!" Peringatan Pak Han saat kami melewati pintu keluar dan menutup pintunya kembali.
"Natsu..., aku mau ke toilet dulu." Kata Lulu berlari membendung air matanya ke arah timur lorong ini.
"Luna!"
Satu kata yang keluar dari pita suara ku itu menghentikan lajunya. Poni rambut merah itu masih menutupi matanya yang menangis. Ia tak menoleh sedikitpun.
"Aku tunggu di kelas...,"
Kata kata ku itu tidak menghentikannya untuk berlari ke kamar belakang. Aku yang tak bisa berbuat apa apa ini pun memutuskan untuk menyusuri lorong sepi ini kembali menuju kelas. Memandang lantai buram gedung ini, aku berfikir keras. Mendapatkan kekuatan baru bukanlah hal yang menyenangkan bagiku. Pikiranku masih bertanya tanya, bagaimana bisa aku berakhir di sini. Melompati waktu demi menyelamatkan seseorang, apa itu tugasku?
Tugas ku sebenarnya adalah menjaga keseimbangan takdir. Namun, hal itu adalah omong kosong. Aku tidak bisa membiarkan Lulu menghilang dari kenyataan ini sebelum dia merasakan apa itu hidup yang sesungguhnya. Walau aku belum tahu juga, namun aku akan mencoba membuatnya bahagia. Fate Keeper hanyalah mainan si Dewa belaka, kami hanya aku hanyalah sebuah alat baginya, aku bahkan tidak tahu siapa dirinya. Fate Keeper, apanya, aku hanya digunakan sebagai hiburan bagi sang Penulis, membunuhku berkali kali, menggunakan diriku yang lain.
Kuat, ya jelas dewa itu bisa menciptakan semesta yang tak terbatas. Baik, tidak sama sekali, dia tampak egois dan mementingkan dirinya sendiri. Alasannya untuk memusnahkan Penyihir antar dimensi itu juga sedikit mencurigakan bagiku. Tidak ingin disaingi oleh sihir, dunia ciptaannya harus bebas dari kekuatan sihir. Jika ia tidak mau Penyihir itu ada di dunianya, mengapa dia tidak menghapusnya langsung?
Tap!
Suara hentakan kaki yang berhenti melangkah di depanku. Seketika aku terperangkap kembali ke dalam kenyataan ini. Ku angkat kepalaku dan lihat siapa yang menghalangi jalanku. Elaine, rambut hitam panjang yang terurai itu mengingatkanku pada sesuatu yang aku lupakan. Bola mata biru yang menusuk langsung ke perhatianku.
"Apa kamu ingat aku?" Pertanyaan yang datang setelah sekian lama kami tidak menjalani percakapan.
Tunggu?!
"Aku ngelupain sesuatu?" Aku memandangnya tajam.
"Hmm, aturan yang paling penting...," Lanjut Elaine memberiku kesadaran akan apa yang telah aku perbuat.
"Oh...,"
Seketika aku memahami apa yang terjadi. Elaine adalah penyihir antar dimensi itu. Walau aku tidak mengingatnya, namun sepertinya Elaine adalah kawan bagiku. Dan mengenai hal yang aku lupakan. Kekuatanku adalah sihir, ciptaan langsung dari Sang Penulis, sekali saja mengaktifkannya. Posisi ku akan langsung terdeteksi olehnya. Sesuatu yang akan terjadi selanjutnya, itulah yang paling merepotkan.
Fate Keeper akan datang untuk menjemput nyawaku. Bukanlah hal yang mengenakan bila dibunuh oleh diriku sendiri. Namun mau tak mau, aku harus siap menerima resiko atas perbuatanku.