Lantunan musik menemani dua pasang kaki yang berdiri di atas lantai lift ini. Perlahan menuruni level ketinggian tanpa menguras tenaga. Beberapa tetes air yang tersisa masih berjatuhan dari poni dan daguku. Kemeja putih yang aku kenakan ini setengah basah. Akan tetapi aku tak lagi sendiri, seorang perempuan mendampingiku di kanan. Punggungnya sedikit basah karena terkena air hujan. Ini semua juga salahku, karena Lulu mengulurkan payungnya padaku, seragamnya jadi sedikit basah.
"Ukhuk! Ukhuk!!" Lulu terbatuk sembari memegang bagian dadanya.
"Lulu? ga apa apa kan?" Tanyaku membungkukkan kepalaku sedikit.
"Cih, padahal aku asma... dia pasti lupa!" Gumamnya mengungkapkan kekesalan di hati.
"Asma? terus kenapa kamu keluar?" Aku sedikit memberikan empati ku padanya. Aku memang amnesia, namun entah kenapa aku tahu, udara dingin itu berbahaya bagi kesehatannya.
"Ini semua salahmu! kenapa juga ujan ujanan?" Semprot Lulu mengungkapkan rasa khawatir dan marah di saat yang sama.
"Uhm...., ya maaf." Aku menghela nafas sejenak.
Sembilan belas, delapan belas, dan tujuh belas. Lulu akhirnya mengeluarkan kami dari sepi.
"Alexandra Luna...," Kata Lulu menyebutkan nama yang tak ku kenal.
"Huh? Sapa tuh?" Tanyaku penasaran.
"Menurutmu siapa?" Lulu membalikan pertanyaan ku .
"Umm...," aku memandang ke atas sembari berfikir.
Alexandra, Luna. Luna, Lulu. Yaa akhirnya aku mengerti siapa pemilik dari nama itu.
"Kamu?" Tebak ku sedikit tak yakin.
"Itu tau!" Ia mengalihkan pandangannya dariku.
"Lulu..., kok kamu di sini?" Pertanyaan ku karena tak ingin dilanda sepi lagi.
"Uh emm..., jenguk temen!" Jawabnya memainkan payung merah muda yang tertutup itu di tangan kanan.
"Ohh...," Aku kehabisan pertanyaan untuk melanjutkan percakapan kami.
Sepuluh, sembilan, delapan. Lulu pun mengucapkan kata yang membuatku tersadar dari lamunan.
"Selamat ulang tahun!" Ucap Lulu lembut, diiringi dengan pipi merona yang bersembunyi di balik rambutnya.
"Uh? aku? ultah? iya kah?" Tentu saja aku tidak mengingatnya, amnesia di hari kelahiranku bukanlah hal yang menyenangkan.
"Dasar pikun!" Lulu mendorong dahiku lembut.
"Ya..., maaf...," Kata kataku itu menutup lagi pembicaraan kami berdua.
Lulu terus menundukkan kepalanya, entah memikirkan apa. Tapi ia terus menggenggam kuat gagang payung di tangan kanannya itu. Tanpa sadar tangan kiri Lulu meraih lengan bajuku dan merematnya kuat. Hal ini membuatku yakin bahwa dia tidak sedang baik baik saja.
"Lulu? kenapa?" Aku membungkuk berusaha melihat wajahnya.
"Ga apa apa kok!" Ucapannya itu tentu saja adalah kebohongan.
Bibir pucatnya, suara lemasnya, dan nafas tak beraturan. Dia tidak mungkin baik baik saja. Instingku membuat tubuhku bergerak secara otomatis, ku letakan punggung tangan kananku di dahi Lulu, dan benar saja. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Ting!!!!
Bunyi disertai pintu lift yang terbuka otomatis, dan ternyata kami sudah berada di lobby rumah sakit ini. Ku bimbing Lulu keluar dari lift seraya bertanya.
"Mau ku panggilin dokter?"
"Ga usah, anter aja aku pulang, ini kunci mobilnya!" Tolak Lulu lemas memberikan kunci mobil dari saku kemejanya.
"Yakin?" Aku memberikan kesempatan sekali lagi baginya bila ingin mengubah pikiran.
"Iya udah ayok! Ukhuk!!" Ia langsung batuk ketika berbicara lantang sedikit saja.
Ku rebut payung darinya, lalu melingkarkan tangan Lulu di bahu ku. Berjalan perlahan keluar dari pintu gedung tinggi ini. Sesekali menarik perhatian pengunjung lain melihat keadaan lulu yang memprihatinkan.
"Itu disana!" Lulu menunjuk ke arah satu mobil sedan hitam yang terdiam di parkiran rumah sakit ini.
"Huff...," aku menghentikan langkahku setelah sadar bahwa tanpa perlindungan dari atap teras gedung ini, kami akan diserang oleh air hujan.