Seminggu berlalu.
Anaya pulang kerumahnya. Ditemani Bi Wati dan sang supir yang sudah lama bekerja dengan keluarganya. Luka Anaya yang terkena pecahan beling sudah mulai membaik. Lukanya sudah mulai mengering. Tapi tidak dengan hatinya.
Menginjakkan kaki lagi setelah bertahun lamanya, mengingat semua kenangan yang terlintas dalam ingatan. Kenangan saat ia disuapi Mamanya di teras sambil bercanda. Di gendong Ayahnya saat pulang kerja. Bermain bersama dengan orang tuanya di taman belakang. Lagi, saat ia meninggalkan Ayahnya sendirian karena pilihan egoisnya. Hingga kepergian Ayahnya yang meninggalkan luka dan sesak didada.
Air mata itu tak hentinya mengalir. Meski divdepan semua orang ia sudah terlihat baik-baik saja, tapi hatinya masih sesak merasakan kehilangan. Sebelumnya ia telah sakit, saat Mama yang ia sayangi, yang sangat ia butuhkan kasih sayangnya, meninggalkannya saat ia beranjak dewasa. Kini, ketika ia dewasa, Ayahnya pun pergi untuk selamanya.