Samuel mengangguk. Charles tinggal di rumah neneknya dan membantu semampunya. Orang tuanya bekerja di negara lain dan tidak banyak membantu sama sekali.
"Bagaimana dengan bibimu?" Tanya Charles. "Kupikir dia biasa membantumu saat keadaan menjadi sulit seperti ini."
Samuel menunduk lalu menatap Charles. "Dia meninggal tahun lalu Charles. Aku sudah memberitahumu hal itu."
Wajah Charles memerah padam. "Sial, maafkan aku….. aku tidak tahu bagaimana aku…."
Samuel menggelengkan kepalanya. "Lupakan. Bukan itu masalahnya sekarang Charles, itu tidak penting." Charles sangat ramah dan memiliki lebih banyak teman daripada kenalan Samuel. Tidak heran hal itu terlepas dari pikirannya.
"Bagaimana dengan sepupumu, Sage?" Charles tersenyum malu. "Lihat, aku tidak sepenuhnya putus asa! Aku ingat dengan dia!"
Samuel tertawa. "Kamu putus asa. Dia baru saja keluar dari penjara, dan dia perlu mengatur hidupnya untuk saat ini. Dia tidak akan mempedulikan masalah ku di atas masalahnya sendiri. Lagi pula, Aku tidak pernah bertanya tentang uang. Maksudku Profesor Rowandy. Jika Aku tidak mendapatkan nilai bagus di kelasnya, Aku akan kehilangan beasiswa dan harus putus sekolah." Meskipun terkadang Samuel bertanya-tanya apakah akan lebih baik untuk putus sekolah. Jika dia tidak bersekolah, itu akan meningkatkan dirinya dalam peluang menemukan pekerjaan yang setengah layak. Kecuali gelar sarjana akan meningkatkan peluangnya untuk menemukan pekerjaan bergaji tinggi lalu memberi Emma dan Barbie semua yang mereka butuhkan saat mereka tumbuh dewasa.
"Sebenarnya," kata Charles tiba-tiba. "Aku pernah mendengar desas-desus menarik tentang Rowandy."
"Rumor apa?"
Charles melihat sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang bisa mendengarnya, sebelum mencondongkan tubuh dan bergumam ke telinga Samuel, "Tony bilang Profesor Rowandy memiliki kelemahan untuk anak laki-laki yang cakep."
Samuel mengerjap. "Tidak mungkin. Dia hanya mempermainkanmu!"
"Tidak, dia sangat serius. Rupanya seseorang pernah melihat Rowandy dengan seorang pria muda di sekujur tubuhnya."
Samuel terkekeh lalu menggelengkan kepalanya. "Bahkan jika itu benar, apa hubungannya denganku?"
Charles memberinya tatapan tajam. Membuka mulut, lalu menutupnya, dan kemudian membukanya lagi.
"Kamu pasti bercanda." Charles langsung mengernyitkan alisnya. "Tony bilang Rowandy menyukai wanita pirang."
"Tidak beruntung bagimu kalau begitu." Sambil tersenyum, Charles mengusap rambut cokelatnya yang berantakan. "Pfft….. Jika Aku mau, itu tidak masalah. Tapi Kamu bisa melakukannya dengan mudah pirang. Ayolah, ini solusi yang tepat!" Samuel memberinya tatapan tajam kembali.
"Tapi ada masalah kecil. Aku ini pria normal." Jawab Samuel
Temannya tidak tampak terganggu, dia benar-benar punya keberanian untuk tertawa. "Terus? Aku tidak menyuruhmu untuk memacarinya. Meskipun sebenarnya sangat terasa bisa, sangat baik jika orang lain tahu apa yang dia lakukan." Charles menyeringai, dan Samuel mendengus. Charles adalah biseksual dan tidak masalah karena dia sudah mengakuinya.
"Charles"
"Aku hanya mengatakan bahwa kamu bisa menjadi genit dan sedikit manja tanpa benar-benar melakukan apa pun dengannya, kamu tahu? Kamu punya penampilan yang keren. Maksudku… kau bukan tipeku, tapi aku tidak buta. Kamu pria yang tampan, hot, dan seksi. Mudah sekali menjadi pria terpanas di sekolah ini da itu adalah kamu Samuel."
"Kamu juga bukan pria yang jelek." Semua orang mencintai Charles. Dia mungkin tidak tampan secara klasik, tetapi hampir semua orang menganggapnya menarik. Charles sulit untuk berpaling. Samuel mungkin normal, tetapi dia terkadang berhenti dan menatap ketika temannya tersenyum.
Charles mengedipkan mata. "Jelas bukan pria yang jelek, tapi aku tidak setampan dirimu, pangeran."
"Oh, akan kutunjukkan padamu, tuan putri!" Samuel membuat Charles terjepit diantara meja, lalu mereka berdua langsung tertawa.
"Samuel, Charles, apakah Kalian sudah selesai?" Terdengar suara dingin dari belakang mereka.
Samuel membeku sebelum melepaskan temannya dan menegakkan tubuhnya. Dia tidak berani menatap Rowandy saat pria itu melewati mereka menuju mejanya. Ruang kuliah tiba-tiba menjadi sunyi.
"Persetan," bisik Charles ketika Rowandy berhenti di depan mejanya dan tetap diam.
Samuel menggigit bibirnya dengan keras dan mencuri pandang ke arah profesor. Mata gelap Rowandy tertuju pada Charles, alisnya yang gelap berkerut dan bibirnya mengerucut tidak senang. Bahkan ketika dia tidak senang dengan seseorang, tatapan Profesor Rowandy bisa membuat siapa pun menggeliat. Ketika dia benar-benar tidak bahagia, tidak ada yang ingin menerima tatapan tajamnya. Samuel mengira dia tampak seperti elang, siap menukik dan menangkap mangsanya.
Mata Rowandy berpindah dari Charles ke Samuel. Jika memungkinkan, dia tampak lebih tidak senang sekarang, otot pipinya berdenyut. Perut Samuel menegang menjadi simpul. Dia membasahi bibirnya yang kering dan berusaha terlihat setenang mungkin, memaksa dirinya untuk menatap mata profesor dengan tegas. Dia bukan pengecut. Sialan, Rowandy hanyalah seorang pria biasa.
Bibir Rowandy perlahan menipis. "Samuel….," katanya pelan.
Samuel menelan ludah dengan susah payah. Ada sesuatu tentang suara Rowandy yang membuatnya semakin mengancam dan semakin sunyi. "Ya Profesor!"
"Jika Kamu dan Charles tidak tertarik dengan apa yang Aku ajarkan di sini, Kalian boleh keluar."
Melihat ekspresi keras pria itu, Samuel tiba-tiba teringat nasihat Charles dan hampir tertawa terbahak-bahak merasa sangat konyol.
"Tidak pak. Ma… maksudku, kami sangat tertarik sekali." Ketika tidak ada satu otot pun yang bergerak di wajah Rowandy, Samuel menambahkan, "Sebenarnya, Aku ingin berbicara dengan Bapak setelah kelas selesai tentang nilai ku."
Rowandy memandangnya beberapa saat sebelum memberikan tanggapan dingin, "Aku tidak punya jam kantor hari ini." Dia duduk di belakang mejanya dan memulai kuliahnya.
Samuel menatapnya kosong, tidak yakin apa maksud jawaban Rowandy. Apakah itu ya atau tidak? "Aku tidak punya jam kantor, jadi Kamu boleh datang" atau "Aku tidak punya jam kantor, jadi Kamu tidak bisa menemuiku"?
Sangat menjengkelkan. Fantastis.
Samuel menghela nafas.
********
Pintu ke kantor Profesor Rowandy gelap dan sangat berkilau.
Samuel menatapnya, mencoba mengabaikan perasaan tidak enak di dalam perutnya. Telapak tangannya mulai berkeringat, jadi dia menyeka ke celana jinsnya.
Jangan konyol, kata Samuel pada dirinya sendiri. Rowandy hanyalah seorang pria biasa, bukanlah monster. Hal terburuk yang bisa dilakukan pria itu adalah mengatakan tidak saja.
Dia hanya akan berbicara dengan Samuel, menjelaskan situasinya dan berharap Rowandy bukan bajingan yang semua orang pikirkan.
"Apakah Kamu menginginkan sesuatu Samuel?" Suara halus dan rendah berkata.
Samuel hampir melompat terkejut. Dia berbalik, lalu mencoba memikirkan sesuatu untuk dikatakan.
"Samuel…..!" Rowandy mengerutkan kening, kerutan berada di antara alisnya.
"Aku ingin berbicara denganmu, Pak."
"Ini bukan jam kantor," kata Rowandy, seraya membuka kunci kantornya dan masuk ke dalam.
Dia tidak menutup pintu di belakangnya, dan Samuel merasa ragu-ragu, tidak yakin apakah yang dimaksudkan dia untuk mengikutinya masuk.
Rowandy duduk di belakang meja besarnya dan menyalakan komputer. "Aku tidak punya waktu seharian Samuel," kata Rowandy tanpa memandangnya.
Samuel memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. Dia menutup pintu, lalu berjalan ke meja dan berhenti. Dia melihat ke sekeliling, tetapi tidak banyak yang bisa dilihat.
"Kamu Sehat?"
Samuel memaksa dirinya untuk melihat pria lain.
Rowandy mengamatinya dengan sedikit ketidaksabaran.
Samuel mencengkeram bagian belakang kursi di depannya. "Seperti yang Aku katakana tadi, Aku ingin berbicara tentang nilai ku."
Bibir Rowandy menekan menjadi garis tipis. "Aku tidak yakin apa yang harus dibicarakan. Aku tidak memberikan sedetik kesempatan kepada siswa yang tidak pantas mendapatkannya. Kamu tidak perlu repot-repot menghadiri sebagian besar kuliah ku, kualitas tugas kuliah Kamu sangat buruk sekali, dan sekarang Kamu menginginkan nilai kelulusan. Kebijakan tentang kehadiran di kelas tercantum dengan jelas pada silabus kelas, siswa harus membaca kebijakan ini dengan cermat dan harus merencanakan untuk mematuhinya. Terus terang, Aku terkejut Kalau Kamu adalah Mahasiswa penerima beasiswa. Jika Kamu khawatir tentang beasiswa mu, Aku khawatir satu-satunya hal yang dapat Kamu lakukan adalah meninggalkan kelas tersebut."