Chereads / Secret From the Past (LitRPG) / Chapter 20 - BAB 7: Turnament Make Me Realize (2/4)

Chapter 20 - BAB 7: Turnament Make Me Realize (2/4)

"Ryn, gimana bisa?" Aku memandang Ryn dengan tatapan terbelalak.

"Ah kamu tahu, ya?"

Ryn sengaja menahan monster sebanyak mungkin. Dia membuat mereka tidak berdaya dan mengumpulkannya dalam sebuah wadah yang dapat diisi benda apapun sebanyak apapun. Ryn membunuh sekadarnya hanya agar peringkatnya bertahan di posisi bawah. Pada menit-menit terakhir, dia memasukkan racun ke dalam wadah tersebut, dan semua monster yang ada di dalamnya langsung tewas.

Ryn membawa tiga wadah. Racunnya dimasukkan satu persatu. Saat peringkatnya tidak naik lagi, Ryn memasukkan racun ke wadah yang lain. Waktu itu Ryn berada di posisi sepuluh. Dia terbang menjauh dari peserta lain dan mengeluarkan monster-monster yang lain. Monster yang ditangkap Ryn beraneka wujud. Monster berkepala tikus, monster dengan pedang samurai, monster dengan kaki menjulang tinggi, dan lainnya. Dia membunuh acak 30 monster itu agar peringkatnya berada di posisi ke empat.

Jadi itu yang terjadi saat berada di jebakan gua? Pantas saja dia dapat membawa mayat sebegitu banyaknya tanpa kerepotan. Memasukkan mayat ke dalam penyimpanan lebih merepotkan daripada alat yang dipakai Ryn. Alat Ryn menyedot monster ke dalamnya, sedangkan penyimpanan, aku perlu memasukkannya sendiri ke dalam portal yang terbentuk.

"Posisi itu tidak terlihat. Aku tidak ingin tampil mencolok."

Aku tertawa canggung. Bagaimanapun, semua orang akan mencurigai dia karena dia tiba-tiba berada di posisi atas secepat kilat. Aku bingung dengan yang dipikirkan Ryn. Jika tidak ingin mencolok, tentu saja seharusnya dia cukup berada di peringkat bawah, atau berada di peringkat tengah dengan cara yang lebih konstan.

"Kamu sendiri gimana?" Ryn menanyakan bagaimana aku lolos karena dia tidak melihatku selama turnamen itu.

Seperti yang kuduga dari Ryn, dia mencariku saat itu. Jika kupikir-pikir, dia pasti menyimpan semua monster itu untuk membantuku lolos dari babak itu. Ryn tidak mengatakan apa-apa memang, tapi aku sangat yakin dengan hal itu. Sejak awal dia memang selalu ada untukku. Jadi sudah pasti dia akan membantuku untuk lolos pada tahap pertama.

Terbesit pikiran bahwa aku menyukainya. Tapi kubuang pikiran itu jauh-jauh. Ryn hanya menganggapku sebagai pengganti sementara adiknya. Jadi, dia pasti melakukan itu untuk membantunya kalau-kalau tantangan selanjutnya memperlukan pertolongan dan kerjasama dariku.

"Kira-kira tantangan selanjutnya apa, ya?" Aku bertanya untuk menutupi hatiku yang sedang tidak karuan.

Ryn menceritakan turnamen-turnamen sebelumnya. Setiap turnamen selalu memiliki makna dibaliknya. Pada turnamen tahun lalu menceritakan tentang bagaimana kehidupan masa kini yang sudah serba praktis. Orang yang merancang atau pemilik ide turnamen ini memiliki tujuan untuk mengingatkan orang-orang agar tidak lupa untuk selalu bekerja keras dan menjadi pribadi yang tangguh, tidak hanya mengandalkan apa yang ada di sekitar namun mengandalkan kemampuan diri sendiri terlebih dahulu.

Pemberitahuan muncul. Setiap peserta yang lolos disuruh segera berkumpul ke ruang tamu rumah. Belum selesai kami bercerita, kami sudah harus ke sana. Tapi aku menegaskan pada Ryn agar menceritakan padaku kemungkinan pertandingan pada tahap selanjutnya. Meski dia tidak dapat menebak apa yang ada pada tahap ke-dua, mungkin saja dia bisa menebaknya pada tahap ke-tiga.

Tak kurasa pembicaraan kami terlampau lama. Di ruang tamunya bergaya pedesaan, dengan furnitur kayu elegan, serta beberapa lukisan-lukisan pegunungan yang asri itu, sudah banyak peserta yang berkumpul di sana. Tapi aku lebih tertarik pada kucing-kucing berbulu tebal yang berlarian di lantai. Peserta lain tidak memperdulikan itu.

Kedatangan kami membuat mereka semua memandangi kami bergantian dengan sangat waspada. Tatapan mereka terus melekat menelanjangi ujung rambut hingga ujung kaki kami berdua. Namun sepertinya bukan kami. Aku berpikir kalau mereka memandangi Ryn yang memang memiliki level jauh di atasku yang pastinya perlu mereka waspadai. Atau jangan-jangan...

"Kalian berteman? Serius? Di turnamen ini?"

Lamunanku membuyar. Seorang lelaki dengan paras rupawan bertubuh tinggi kekar melihatku dan Ryn bergantian. Kita berdua tidak menjawab pertanyaan itu. Bahkan aku tidak mengerti apa yang ia maksud. Menurutku, menjalin pertemanan di turnamen akan menguntungkan karena dapat melawan musuh bersama-sama.

Kulirik Ryn. Dia terlihat sangat kesal dengan lelaki itu yang tak lain dan tak bukan adalah Doni. Setelah melihat kemenangannya pada babak pertama, aku yakin babak kali ini akan berjalan dengan sangat berat.

Muncul dua pesan dalam layarku. Tentu saja itu dari Ryn. "Berteman di turnamen artinya saling membunuh dan mengkhianati."

"Aku akan melepaskan... Pertemanan kita selama menjalani turnamen ini. Itu jika kamu mau melakukannya."

Aku tidak bisa mencerna pesan itu. Terlalu tiba-tiba. Ada sesuatu dalam diriku yang bergejolak begitu keras. Entah apa itu namun rasanya sangat sakit. Kulirik Ryn sekilas, dia pergi meninggalkanku tanpa memandangku sedikitpun menuju kursi tempat para peserta berkumpul. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Sebagian besar diriku tidak menginginkan hal itu terjadi, tapi aku tidak tahu harus bagaimana memberitahukannya.

Aku menghampiri salah satu kucing untuk sekadar mengelus kepalanya. Setidaknya ini dapat menenangkanku sementara. Tanpa kuhiraukan peserta lain termasuk Ryn, aku membawa kucing itu duduk ke sisa kursi yang ada.

Kucingnya sangat penurut. Dia duduk di pangkuanku dengan sangat tenang. Kehangatan tubuhnya menjalar ke dalam tubuhku. Nyaman sekali. Selama beberapa menit aku terus disibukkan dengan kucing lucu yang kupangku.

Tak terasa waktu berlalu tanpa kusadari. aku baru tersadar ketika terdapat papan pengumuman dimulainya babak ke dua. Pada babak ini, peserta dalam satu ruangan dituntut untuk saling bekerja sama. Saat diumumkan jenis tantangannya, mendadak ruang tamu ini berubah. Kecuali tempat duduk, semua berubah. Tidak lagi seperti ruang tamu, ruangan ini lebih seperti laboratorium. Banyak cairan-cairan yang tidak kuketahui di sini.

[ Turnamen Putaran ke-Dua ]

[ Tanangan pada babak kedua adalah membuat ramuan. ]

[ Buatlah ramuan dengan efek yang kuat. ]

[ Kelompok yang dapat lolos pada putaran ke-dua: 6 kelompok. ]

Kucing yang sedari tadi tenang dipangkuanku kini mulai turun ke lantai. Kukira dia akan menghilang seperti kucing lainnya, namun ternyata dia hanya berpindah ke bawah untuk memutari kakiku. Lucu sekali rasanya.

"Ada yang sudah pernah membuat ramuan?" Doni bertanya kepada semua orang. Tidak ada jawaban. Orang yang ada di Laonnda cenderung mengasah kemampuan bertarung sehingga menjadi lebih kuat dengan cepat bukannya membuat ramuan yang tidak terlalu berpengaruh pada peringkat.

"Kalau begitu, sepertinya kita harus bereksperimen sendiri-sendiri. Tapi..." Dia memandang satu persatu mata peserta lain dengan tajam. "Ada yang mau mencoba ramuannya?" Saat mengatakan itu, pandangannya mengarah tepat pada mataku.

Aku bergidik ngeri, padahal hanya ditatap. Tapi aku lebih ngeri jika aku akan babak belur karena dipaksa peserta lain untuk mengajukan diri menjadi pengicip, atau aku akan menjadi parah efek dari meminum ramuannya.

Sementara itu, kucing yang memutari kakiku terus mengeong dengan keras sampai-sampai semua peserta terganggu olehnya. Pun aku. Aku tidak begitu bisa mengikuti pembicaraan mereka.

"Ya?" Peserta disampingku menepuk pundakku.

"Iya." Aku mengatakannya secara otomatis meskipun aku tidak tau aku mengiyakan hal apa.

Setiap peserta membuat ramuannya masing-masing. Begitupun aku. Susunan cairannya berderet dan setiap deret memiliki warna yang sama jadi kita semua berasumsi bahwa isinya juga sama. Aku membuat ramuan berdasarkan warna. Kupilih warna-warna biru lalu asal kutuangkan dalam gelas kimia beberapa tetes hingga penuh. Sepertinya aku sudah cukup seperti ini saja. Aku berjalan dengan sangat hati-hati untuk meletakkan gelas di meja sambil menunggu yang lain.

Gubrak!!!! Kakiku tersandung tubuh kucing yang tiba-tiba berada di depan kakiku. Spontan aku langsung meminta maaf atas kecerobohanku. Kulihat mereka semua terpaku melihat ke depanku. Mereka melihat kucing itu sekarang menjilati ramuan yang terjatuh ke lantai dengan lahap. Aku tidak habis pikir. Belum habis keterkejutan kita, ternyata kucing itu memiliki kemampuan unik.