"Jeffa, Jeffry, Emily?"
Ketiga nama itu terus terngiang-ngiang di benak Sean. Bahkan saat ini, dirinya tengah menyapu halaman belakang rumah Bu Darmi, Sean masih memikirkan ketiga orang yang ia temui ketika dirinya sedang berada di tengah laut.
Otaknya berpikir keras mengenai ketiga orang itu yang menyelam tengah malam seperti tadi, bukankah tidak bisa siang hari?
Usai ketiga orang itu memperkenalkan diri mereka masing-masing, Sean tak sempat menyebutkan namanya lantaran Pak Jo lebih dulu memanggilnya untuk cepat mengangkat jaring yang ia lemparkan tadi ke tengah laut, dan yang membuat Sean tidak menyangka adalah dirinya bisa mendapatkan ikan dengan sangat banyak.
Bukan hanya Pak Jo saja, tetapi para nelayan yang lain memandangnya dengan takjub. Padahal ini untuk yang pertama kalinya bagi Sean untuk menjala ikan, tetapi ini adalah satu hal yang sangat ia banggakan dari dirinya sendiri.
"Kak Sean?"
Sean tersentak kaget saat Geladis tiba-tiba memanggilnya, hampir saja sapu lidi yang tengah ia pegang jatuh begitu saja jika ia tidak cepat mengeratkan tangannya pada gagang sapu lidi tersebut. Geladis yang melihat ekspresi terkejut yang Sean tunjukkan membuatnya terkekeh geli.
"Kak Sean lagi mikir apa? Sampai-sampai terlihat terkejut seperti tadi," tanya Geladis diselingi tawanya, yang mampu membuat lesung pipinya terlihat.
"Tidak, Kakak sedang tidak memikirkan apa-apa." Sahut Sean sambil tersenyum tipis, ia terlalu terpesona melihat senyuman manis yang diberikan Geladis.
"Kak Sean sudah selesai bekerjanya belum?" tanya Geladis.
"Belum, memangnya ada apa, Geladis?" tanya balik Sean. Sean menatap Geladis yang tampak ragu, namun ia tidak tahu apa yang membuat gadis itu ragu seperti saat ini.
Geladis tersenyum kikuk. "G-Geladis mau ajak Kakak untuk menemani Geladis membeli mainan. Mama dan Papa ada urusan dan Kak Zyan tidak bisa menemani Geladis karena akan bermain dengan teman-temannya." Tutur Geladis.
Melihat raut wajah penuh harap dari Geladis membuat Sean merasa tidak enak jika harus menolaknya, tetapi ia juga berpikir kalau menemani Geladis sudah dipastikan orang tua dari gadis itu—ralat, hanya papa dari gadis itu saja, Pak Fizi pasti akan marah besar.
"Emm... maaf, Geladis. Kakak tidak bisa menemani Geladis membeli mainan, bagaimana kalau kamu minta temanmu untuk menemani?" Sean meringis saat melihat raut wajah Geladis yang lansung murung.
"Iya, tidak apa-apa. Nanti Geladis bisa pergi sendiri saja." Setelah mengucapkan itu Geladis langsung melenggang pergi dari hadapan Sean, membuat Sean semakin merasa tidak enak. Bagaimana pun juga ia sekarang harus sadar diri kalau Geladis jauh berada di atasnya.
Sean kembali melanjutkan pekerjaannya agar cepat pulang dan melihat kondisi sang ayah. Tadi ketika ia selesai menjala ikan Sean melihat ayahnya yang masih dalam keadaan yang sama, namun ketika ia tanya, jawabannya selalu tidak apa-apa.
Tapi, saat ia mengatakan bahwa dirinya mendapatkan banyak ikan, sang ayah tersenyum penuh haru padanya. Untuk nanti malam, Sean akan kembali menjala ikan—menggantikan Lesmana yang belum benar-benar pulih.
Selang beberapa menit Sean selesai menyapu halaman belakang, setelah itu ia terduduk di atas rerumputan hijau untuk sekedar beristirahat sejenak. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, namun semua pekerjaan telah ia lakukan.
Belum sempat Sean beranjak dari duduknya, Fizi lebih dulu datang menghampiri Sean dengan raut datarnya. Sean merasa hawa di sekitarnya memanas, tadinya suasana yang teramat sejuk namun kini berubah menjadi seperti neraka.
"Bagus sekali! Duduk-duduk santai!" sindir Fizi dengan bersedekap dada.
Mendengar itu, langsung saja Sean berdiri dan menatap majikannya itu takut-takut. "M-maaf, Pak. Saya sudah menyelesaikan semua pekerjaannya." Tutur Sean dengan bergetar. Tangannya memilin tangan lainnya yang sudah mengeluarkan keringat dingin.
"Oh melawan kamu? Berani sekali!" bentak Fizi, yang langsung membuat Sean terlonjak kaget dan semakin menundukkan kepalanya.
Di dalam hatinya, Sean terus berteriak berharap ada seseorang yang mendengar suara hatinya dan membantunya lepas dari pria di hadapannya. Siapa pun nanti orang yang membantunya, Sean akan sangat berterima kasih.
"Sudah menjadi seorang anak nelayan, bekerja di sini, gak tahu diri sekali ya kamu!" bentak Fizi dengan wajahnya yang sudah memerah.
Jangan tanyakan mengapa Fizi terlihat marah ketika pada Sean, itu karena Fizi memang tidak menyukai orang-orang yang jauh di bawanya menginjakkan kakinya di istana megahnya. Yang dapat Sean tahu dari pembantu di rumah ini pun merasakan hal yang sama ketika awal-awal masuk bekerja.
Tetapi, kini katanya sudah mulai terbiasa dan Fizi juga tidak sering marah-marah seperti biasanya. Dan Sean yakin kalau suatu saat nanti Fizi akan bersikap padanya selayaknya para pekerjanya yang lain, tidak pernah memarahinya lagi seperti sekarang.
"Papa!"
Suara itu membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Sean menghela napasnya lega, berbeda dengan Fizi yang mendengus kesal. Geladis berlari kecil menghampiri keduanya, mata bulat itu menatap kedua laki-laki di hadapannya dengan penuh tanya.
"Papa sedang apa di sini?" tanya Geladis.
Fizi tersenyum tipis. "Papa hanya ada sedikit urusan dengan Sean," jawabnya dengan sengaja menekankan kata 'sedikit urusan'.
Geladis menganggukan kepalanya paham. "Papa dipanggil Mama," ucap Geladis sambil menunjukkan tangannya ke dalam rumah.
"Yasudah kalau begitu kita masuk!" Fizi meraih tangan Geladis, namun belum sempat melangkahkan kakinya, Geladis lebih dulu menahannya. Membuat Fizi menoleh dengan kedua alis yang mengerut heran.
"Geladis mau di sini sebentar, Pa."
"Baiklah."
Setelah merasa punggung Fizi tak terlihat lagi di pandangannya, Geladis kembali menoleh pada Sean dengan tersenyum tipis. "Kak Sean,"
"Iya?"
"Tadi aku lihat Kak Sean dimarahi Papa," kata Geladis pelan. Namun, membuat Sean langsung menoleh. "Maafkan Papa ya, Kak." Lanjut Geladis dengan nada memohon. Geladis sendiri pun bingung dengan sikap sang papa yang ditunjukkan pada Sean.
Geladis merasa kalau papanya itu bersikap tidak sama seperti pada para pekerjanya yang lain ketika mereka awal masuk bekerja, intinya Geladis merasa kalau sang papa seperti tidak suka akan keberadaan Sean di sini, padahal Geladis sendiri senang ada Sean di sini. Ia bisa menjadikan Sean sebagai temannya sekaligus juga kakaknya, mengingat Zyan yang jarang sekali berada di rumah.
"Kakak mengerti, Geladis. Kamu tidak perlu meminta maaf, bukankah Pak Fizi bersikap seperti itu juga pada para pekerjanya?" sahut Sean terlihat lebih santai, seperti tidak terjadi sesuatu pada beberapa menit yang lalu.
"I-iya. Papa bersikap seperti itu juga pada para pekerjanya."
"Oh iya, tadi Geladis disuruh Mama untuk memberikan uang pada Kak Sean. Karena Mama sebentar lagi akan berangkat dengan Papa, jadi Kak Sean boleh pulang lebih awal katanya." Geladis menyodorkan satu lembar uang berwarna merah pada Sean.
Akhir-akhir ini Bu Darmi sering membayarnya dengan uang yang nominalnya lebih tinggi dari hari pertama ia bekerja. Sean merasa tidak enak jika harus menerima uang sebanyak ini mengingat pekerjaannya yang tidak terlalu berat juga tak lama.
Namun, karena Bu Darmi terus memaksanya untuk menerima uang sebesar seratus ribu itu, akhirnya Sean pun menerimanya dengan lapang dada.
Bu Darmi dan Geladis memang baik, sangat baik. Tetapi, berbanding terbalik dengan Pak Fizi. Tinggal Zyan—Kakak dari Geladis yang belum ia ketahui bagaimana sikapnya, semoga saja tidak menurun dari Pak Fizi.
***