Lima hari setelah kepergian ibu, tubuh kami kurus kering. Tulang rusuk kami menonjol, perut kami susut, dan langkah kaki kami gemetar. Benar-benar tidak dapat menemukan makanan yang layak dan cukup untuk mengisi perut lapar kami.
Pandanganku menatap jalanan, ada dua orang pekerja yang tengah menyapu trotoar. Aku terperanjat ketika melihat salah satu diantara mereka mengambil tubuh ibuku.
Tubuh ibuku telah mengering dan tipis, setipis helaian daun yang kering. Mereka memasukkan tubuh ibuku ke dalam karung sampah, menyatu bersama dedaunan kering yang jatuh dari pepohonan.
Untaian ususnya yang sudah kering masih menempel di jalan, mereka tak turut memasukkannya ke dalam karung sampah.
Kami hanya mampu terdiam menyaksikan tubuh ibu kami dibawa pergi. Kami sudah kehilangan tenaga. Bahkan untuk sekadar mengeong pun, sudah tidak berdaya.
Pada sore hari menjelang, angin dingin bertiup kencang sekali. Semburat jingga menghiasi langit senja, kami berjejer memandangi keindahan ciptaan Tuhan.
ZRASHH~
Tetes air hujan dengan derasnya membasahi tubuh kami, tanpa permisi menghempaskan tubuh kami ke tanah. Kami berhamburan mencari tempat berteduh. Tepat di bawah sebuah akar pohon besar yang melengkung ke atas, yang dasarnya tidak diketahui berada di mana.
Tubuh kami bergetar kedinginan. Ternyata semburat cahaya jingga itu bukanlah berada di tempat kami, melainkan jauh di ufuk sana.
Entah sudah berapa lama langit menangis, menumpahkan air yang begitu banyaknya. Seakan ia mengetahui kesedihan kami, seakan-akan ia turut merasakan duka kami.
Hujannya sudah berhenti. Kami menggoyang-goyangkan tubuh, menghempaskan air di tubuh. Menjilati tubuh kami agar kering. Hangatnya lidah kami pun membuat rasa hangat menjulur di sekujur tubuh.
Aku membantu menjilati dan mengeringkan tubuh adik bungsu. Dia begitu terlihat lemah. Tidak tampak berdaya sama sekali. Kami merapatkan tubuh, saling memghangatkan satu sama lain.
Langit senja tadi sore, telah berubah menjadi hitam pekat. Langit malam yang sunyi tanpa berbintang, memperlihatkan pada kami bahwa langit itu begitu sangat luas.
Aku seperti tenggelam di dalam kegelapan. Ragaku seperti tersedot ke atas, masuk ke dalam pekatnya langit malam. Semakin dalam masuk. Menyisakkan pedih diantara gelap gulitanya malam.
Tubuh adik bungsuku masih bergetar, dia menggigil kedinginan. Bibirnya memutih dan matanya terpejam. Kami mengeratkan pelukan untuk memberi kehangatan, tetapi tubuhnya tetap tidak berhenti bergetar.
"Hahh ... hahhhh,"
Aku terperangah, saling pandang dengan kedua saudaraku. Tubuh adik bungsuku sudah berhenti bergetar, tetapi tubuhnya terkulai lemas di tanah. Kami mengelus tubuhnya, mengangkat kepalanya, dan mencoba membangunkan. Namun, tubuhnya kembali terkulai lemas jatuh ke tanah.
Air mata kami tumpah. Kami harus kembali kehilangan anggota keluarga. Tidak ada suara isak tangis, hanya air mata kamilah yang berbicara. Dingin malam ini, semakin menambah duka di hati. Duka berkepanjangan yang entah sampai kapan.
Bulu di sekujur tubuh kami meremang. Hembusan angin malam menusuk sampai ke dalam tulang. Tubuh kami bergetar hebat merasakan sensasi dingin disertai pilu kepedihan.
Pagi menjelang, aktifitas manusia kembali berjalan seperti biasanya. Ramai orang silih berdatangan ke taman, tetapi tidak pernah seorang pun yang mengibai kami.
***
Dua minggu telah berlalu, tubuh adik bungsuku sudah membusuk dan dipenuhi oleh banyak belatung. Belatung-belatung itu menggeliat, berkerumun, dan hari ke hari semakin bertambah besar ukurannya.
Beberapa bagian tubuh adik bungsuku telah berlubang dimakan belatung-belatung menjijikkan itu. Tercium aroma busuk sebagaimana sebuah bangkai, menusuk hidung sampai membuat para pengunjung taman merasa tidak nyaman.
Orang-orang yang lewat di sekitar kami, menutup hidung dan mengibas-ngibaskan tangannya ke udara. Beberapa orang mengumpat dan merutuki kami sebagai hewan menjijikkan.
Perlahan kami merangkak, menjauh dari bangkai tubuh adik bungsu. Beberapa belatung itu juga menggerogoti ekor adik keduaku. Sesekali ia mengibaskan ekornya, tetapi parasit itu tetap menempel tidak mau lepas dari ekor adikku.
Aku dan adik pertamaku mencoba membantunya melepaskan parasit itu. Sungguh, kami tidak memiliki tenaga banyak. Tubuh kami gontai, bahkan terjungkal karena lemas.
Clak~
Tidak. Air hujan kembali menetes. Langit kembali menumpahkan kesedihan. Tubuh kami kembali terguyur hujan.
Semerbak bau tanah kering yang tersiram air hujan. Bau khasnya membuai, membuat mata kami terpejam menikmati derai hujan kali ini.
Percikan air hujan yang jatuh, memantul ke tubuh kami membawa tanah yang turut terhempas butiran air hujan.
Tubuh kami bergetar. "Dingin," gumam adik pertamaku. Kami mengikis jarak, merapatkan tubuh demi mendapat sedikit kehangatan.
Meskipun kami berdiam diri di bawah pohon, dedaunan itu tak seberapa kuat menahan derasnya air hujan yang turun.
Daun yang lebih lebar, justru akan menjadi bumerang bagi kami. Air hujan akan menggenang di tengah daun, kemudian jatuh mengentakan tubuh kami.
Drap ... Drap
Suara langkah kaki manusia dengan sepatu bot, berderap mendekat. Serentak kami menengadahkan kepala.
Seorang pria dewasa, mengenakan jas hujan transparan berwarna kuning. Dia mengangkat tubuh kami, mendekap kami di dadanya.
"Hahh!" Dia menghela napas. Hembusan napasnya terasa hangat menerpa tubuh kami.
Mataku buram, tertutupi oleh kotoran yang sudah lama mengeras. Kotoran dari mataku yang terus berair selama beberapa hari ini.
Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Namun, aku mengenali telapak tangannya yang hangat ketika mengangkat kami.
"Ternyata kalian masih di sini, kasihan sekali. Sekarang ikut aku, ya, kucing manis."
DEGH~
Suara ini. Aku mengenali suara ini.
Pria berotot pengangkut sampah. Aku terperanjat, menengadahkan kepala ke atas. Mengerjapkan mataku, memastikan bahwa memang dialah orangnya.
Senyumku mengembang dengan sempurna. Merekah di tengah guyuran hujan yang deras. Ya, aku tidak pernah melupakan suaranya.
"Saudara kalian meninggal. Kasian sekali," ujarnya.
Dia tersenyum kepada kami, mengelus kepala kami bergantian. Ya, memang benar dia. Pria berotot pengangkut sampah yang baik hati.
"Akhirnya dia kembali," batinku.
Dia berlari menerobos derasnya hujan, memeluk kami dalam balutan jas hujannya. Masuk ke dalam truk sampah. Duduk di jok depan sisi kiri pengemudi.
"Ngapain bawa mereka?" tanya seorang pria berotot di belakang kemudi, pria pengangkut sampah tempo hari itu.
"Mau kubawa pulang," jawab pria baik hati.
Pria berotot yang baik hati, meletakkan kami di pangkuannya. Dia menyelimuti kami dengan sebuah jaket hitam. Hangat. Hangat sekali.
"Nanti kalian kurawat," ucap pria baik hati itu sembari mengusap bulu di tubuh kami yang basah.
Beberapa lembar tisu diambilnya. Dia mengelap dan mengeringkan tubuh kami bergantian, menggunakan tisu tersebut.
Mobil truk mulai melaju menerobos derasnya hujan. Tangan pria itu hangat. Dia membersihkan kotoran di mataku dengan menggunakan tisu dan sedikit air dari sebuah botol minuman. Tangannya lembut. Telaten membersihkan. Aku bisa melihat kembali dengan jelas.
Wajahnya teduh, hangat, penuh kasih sayang. Senyum si bibir tidak henti mengembang menghiasi wajah tampannya.
"Siapa pun kamu, akan aku ingat selalu jasamu. Terimakasih orang baik," tuturku dalam hati.
Adik-adikku mulai terlelap. Meringkuk di dalam pelukan hangat pria baik itu. Mataku pun terasa berat. Kupejamkan mata. Menikmati kehangatan.
Terimakasih manusia.