Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Just For a Word Thanks

🇮🇩Indri_Hawa97
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.9k
Views
Synopsis
Aku seekor kucing jalanan. Ibuku mati tertabrak mobil saat hendak menyebrang, perutnya hancur berserakan. Di mulutnya terdapat sepotong daging ayam kecil, dia bawakan untuk aku dan adik-adikku. Semenjak ibu pergi, kami hidup sebatang kara penuh duka. Kami empat bersaudara, dengan 3 warna. Satu persatu, saudraku tiada. Tinggallah aku hidup sebatang kara, menjalani hidup dengan penuh kenistaan manusia. Ditendang, dipukul, bahkan disiram air panas. Semua kepedihan itu aku rasakan seorang diri, aku lapar dan tak punya tempat berteduh. Hingga datanglah seorang manusia baik hati, menyelamatkanku dan merawatku hingga sehat kembali. Dia menyayangiku, membesarkanku dengan penuh cinta. Namun, suatu hari aku meninggal tertabrak mobil. Air mata yang tulus mengalir dari kedua bola matanya. Belum sempat aku mengucapkan terimakasih, nyawaku telah tiada. Sebelum menghembuskan napas terakhir, aku meminta kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup sekali lagi. Tuhan mendengar permohonanku, memberiku 8 nyawa. Aku dihidupkan kembali sebagai kucing dengan warna dan tempat yang berbeda, menjalani suka duka bersama teman-teman kucingku lainnya. Aku juga dipelihara oleh manusia lain, namun, ketika aku sakit, aku di abaikan hingga mati. Berkali-kali aku mati dengan cara yang berbeda. Aku terus mencari orang yang dahulu merawatku, aku berharap bisa menemukannya meskipun dengan warna tubuh dan tempat yang berbeda. Di setiap menjelang ajalku, aku selalu memohon kepada Tuhan untuk menghidupkanku sebagai seorang manusia. Aku ingin mengucapkan terimakasih kepada manusia yang telah merawatku dahulu, meskipun untuk sebentar saja. Di kesempatan hidupku yang terkahir, aku berhasil menemukan orang yang dahulu telah merawatku. Kali ini, dia kembali mengobati luka bakarku. Merawatku sampai sehat kembali. Awalnya, aku tidak menyadari jika dia adalah manusia yang dahulu merawatku. Dia telah berubah, wajahnya sudah keriput dan tidak secantik dahulu. Tubuhnya bungkuk dan ringkih, namun, aku mengenalinya ketika dia bercerita tentang seekor kucing yang sangat ia cintai. Kemudian, ingatan-ingatan kenangan masa lalu ketika bersamanya melintas dipikiranku. Aku mengenalinya, dialah orang yang aku cari selama ini. Menjelang kematianku yang ke sembilan, aku sakit parah. Dia kembali menangisiku dengan tulus, tangannya yang keriput memelukku dengan hangat. Air matanya menetes di tubuhku. Ada cahaya terang benderang yang menghiasi jalan kepergianku, aku tersenyum menyambut ajalku. Tuhan mengabulkan permohonanku menjadi seorang manusia, detik-detik dalam hidupku, aku gunakan dengan baik untuk mengucapkan terimakasih kepadanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kehilangan

Aku seekor kucing belang dengan bulu tiga warna, aku dan ketiga saudaraku tengah menanti kepulangan ibu. Ibu kami tengah mencari makanan, mungkin sebentar lagi akan datang.

Kami masih berusia dua minggu, kami baru mahir berjalan beberapa hari ini.

Kami tinggal di bawah pohon, di sebuah taman kota dekat trotoar jalan raya. Keseharian kami, hanya bermain di rumput taman dekat pohon.

Biasanya, jika di pagi hari, ibu akan mencari makanan di tempat lain. Kata ibu, "Pada pagi hari, akan banyak sekali sisa makanan di bak sampah kompleks."

Sehingga, ibu akan pergi ke suatu tempat yang sering dia sebut kompleks manusia. Makanan yang ibu bawakan cukup banyak, terkadang sampai harus beberapa kali mengambilnya untuk kami.

Taman ini cukup ramai di pagi hari, sehingga sulit bagi kami untuk mencari makan. Bukan makanan yang akan kami dapatkan, melainkan sebuah tendangan kasar dari kaki manusia yang tidak suka terhadap kami.

Siang hari dan malamnya, kami mengaduk bak sampah. Masuk ke dalam bak sampah, berbaur bersama berbagai macam sampah, dan makan bersama di dalamnya.

Kami tengah bersenda gurau, saling mengejar satu sama lain. Memainkan ekor kami, saling menampar halus. Dari kejauhan, kami melihat ibu datang dengan setengah potong daging ayam di mulutnya.

Ibu melompat dari sebuah pagar pembatas jalan, ibu berlari kencang menghampiri kami. Kakinya yang panjang dengan cepat menyebrangi jalan beraspal di kalur kiri.

Mata coklat keemasan dengan pupil hitam itu berbinar, wajah ibu terlihat berseri. Jarang sekali kami menyantap daging ayam dengan ukuran besar, kami lebih sering menyantap sisa daging ayam yang masih menempel di tulangnya.

Ibu kembali melompati pembatas jalan yang berumput, kemudian ...

BRAAKK~ CKIITTT

Pupil mataku bergetar, tubuhku terkulai lemas. Ketiga saudaraku mengeong kencang sekali, mereka berteriak, meraung, dan menangis.

Aku berjalan gontai di sisi trotoar, menatap sesosok pahlawan hidupku tergeletak tidak berdaya di tengah jalan. Kendaraan besar beroda empat yang menabrak ibuku, pergi begitu saja melajukan kembali mobilnya tanpa menghiraukan ibuku.

"Tolong! Siapa pun, tolong ibuku!" Aku berteriak sekencang-kencangnya, namun, tidak ada satu orang pun yang mau mendengarku.

Semua orang yang berada di taman, semua orang yang lalu lalang berjalan di trotoar, dan semua orang yang berkendara. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersedia menolong ibuku, darah segar begitu derasnya mengalir keluar dari mulut ibuku.

"Tolong! Siapa pun, ibuku masih hidup. Tolong dia!" teriakku kembali menggema di udara, namun, semua orang tidak menoleh.

Air mataku mulai menetes ketika mulut ibuku kembali memuntahkan darah. Setengah potong daging ayam yang ia bawa untuk kami, kini bercampur dengan darah segar yang keluar dari mulutnya.

Aku mengeong dengan sangat keras, memanggil ibuku. Suaraku parau, lirih, dan pilu. Pandanganku hanya tertuju pada ibu.

Matanya yang semula berbinar-binar, kini mulai meredup cahayanya. Wajahnya yang semula berseri, kini redup tertutupi darah.

Aku mencoba mendekatinya, jarak diantara kami hanya tiga meter. Tetapi, baru beberapa senti kaki kecilku melangkah, sebuah kendaraan lain kembali menabrak ibuku.

CRATT~

Darah segar kembali memuncrat, lebih banyak dari sebelumnya. Kini, seluruh tubuhnya mengeluarkan darah. Aku mundur beberapa langkah ke belakang, ketiga saudaraku menghampiriku.

Kami saling memeluk satu sama lain, ibu kami telah tiada di hadapan kami dengan begitu mengenaskan.

Seisi perutnya keluar semua, bahkan kami bisa melihat dengan jelas organ dalam tubuh ibu kami. Ususnya terurai, menguntai di aspal jalan. Perutnya hancur, bukan hanya sekadar gepeng.

Setengah lengan kirinya hancur, sedangkan lengan kanannya putus terpisah dari tubuhnya. Kedua kakinya menekuk berlawanan arah, setengah tengkorak kepala ibu pun terlihat.

Tubuhku terkulai lemas, aku terduduk di sisi jalan. "Siapa saja, tolong ibuku." Aku kembali mengeong dengan lirih.

Adik bungsuku terus mengeong tanpa henti, air matanya mengalir ke tubuhnya. Bulir bening jatuh menetes, membawa pedih hati yang tidak bisa kami utarakan.

Mengapa tidak ada seorang manusia pun yang menolong ibuku? Bahkan untuk sekadar memindahkan tubuhnya ke tepian jalan pun tidak ada.

Aku mengejar seorang pejalan kaki, "Hey, kau! Tolong bawa tubuh ibuku ke tepian jalan, tolong bawa dia kemari. Hey!" teriakku.

Aku terus mengeong seraya mengikuti langkah kakinya yang panjang, namun, sebelah kakinya menendangku. Aku terhempas jatuh, tubuhku terseret beberapa senti dari tempatku jatuh.

"Perih," batinku.

Aku kembali ke tempat saudaraku berada, mereka sudah tidak mengeluarkan suara. Hanya air mata yang masih menganak sungai.

Kami terduduk di sisi jalan, memperhatikan tubuh ibu kami yang mulai mengering tersengat terik matahari yang mulai meninggi. Darahnya yang semula mengalir berwarna merah segar dan kental, kini telah mengerak dan mengering.

Saudara keduaku beranjak dari tempatnya, dengan gontai dia berjalan menuju tempat kami berteduh selama ini. Di bawah pohon, ia membaringkan tubuhnya.

Satu persatu, kami pun menghampirinya.

Siapa bilang jika hewan tidak memiliki perasaan? Kami memilikinya, kami pun merasakan sedih jika kehilangan orang yang kami sayangi. Kami pun bisa menangis.

Semua orang berlalu lalang, tidak ada seorang manusia pun yang perduli kepada kami. Aku hanya ingin tubuh ibuku dibawa ke tepian jalan, agar tubuh ibuku tidak kembali di lindas kendaraan.

Hingga sore hari, taman pun mulai sepi. Trotoar jalan sudah tidak seramai tadi pagi, tidak ada harapan bagi kami untuk meminta bantuan.

Tiba-tiba, datanglah truk pengangkut sampah. Ada tiga orang pria dewasa berbadan kekar yang turun dari truk sampah, mereka mengangkut beberapa bak sampah di taman.

Aku berlari ke arah salah satu pria itu, dia tengah merapikan sampah plastik yang berserakan di sekitar bak sampah.

"Tolong! Tolong bawa tubuh ibuku ke tepian jalan," teriakku padanya. Aku harap dia mau mendengarku.

Aku terus mengeong di dekatnya, dia menoleh padaku. Dia tersenyum ke arahku, aku tersenyum bahagia.

"Hey, kucing kecil. Mau makan, ya? Nih!" Dia menaruh beberapa makanan sisa di depanku, dia terus mengeluarkan sisa-sisa makanan di dalam bak sampah.

"Tidak! Tidak, bukan itu yang aku mau. Tolong! Tolong bawa tubuh ibuku menepi ke sisi jalan," teriakku.

Aku menggelengkan kepala dengan cepat, melompat, dan memutar di sekitar kakinya. Dia terkekeh dan semakin banyak menaruh sisa makanan di rumput, dia pikir aku meminta makanan.

Aku mengeong dengan keras, tetapi dia terus saja mengaduk bak sampah. Mengeluarkan sisa makanan di dalamnya.

Aku menggigit ujung tali sepatunya, menariknya dengan kencang. Dia terkekeh dan mengangkat tubuhku dengan kedua telapak tangannya yang terbalut sarung tangan, dia tersenyum kepadaku.

"Kamu mau ngajak main, ya? Gak bisa, aku lagi kerja. Kamu makan aja, ya, manis."

Dia kembali menurunkan tubuhku diantara sisa-sisa makanan itu, seorang pria lain menghampirinya dengan membawa satu bak sampah.

"Ngapain?" tanya pria berotot besar itu.

"Ini ada kucing kecil," kata pria di sebelahku.

"Alah, badan aja keker. Ternyata hatinya cinderella, ya, haha." Pria berotot itu tertawa lebar.

Pria di sebelahku hanya terkekeh, dia kemudian mengangkat bak sampah di dekatku. Tidak, aku mohon jangan pergi.

Mereka semua menumpahkan isi bak sampah ke dalam truk, kemudian kembali menaruh bak sampah itu pada tempatnya semula.

Aku kembali berputar di kaki pria kekar itu, menggigit kembali ujung tali sepatunya. Dia berjongkok dan mengelus punggungku, lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Ketiga pria itu naik ke atas truk sampah, salah seorang diantara mereka duduk di kursi kemudi. Suara mesin truk berderum dengan keras, roda bannya mulai melaju perlahan.

Dari jauh, aku melihat kembali sebuah luka yang belum mengering. Lagi, tubuh ibuku kembali terlindas oleh ban kendaraan yang lebih besar. Kali ini, tubuhnya hancur menyatu dengan aspal jalanan.

Aku terduduk di atas rumput, seluruh tulang di tubuhku terasa patah. Detak jantungku seolah berhenti, angin dingin sore hari ini begitu menusuk ke tulang sendiku.

Aku tersungkur, menatap hampa ke arah tubuh ibuku terbaring. Hati kecilku, hancur berkeping.