Ketukan pintu mengalihkan perhatian Shanum ke benda persegi panjang berwarna putih itu.
"Siapa?" jerit Shanum masih membetulkan riasan diwajahnya.
"Aku. Lekas keluar. Mau berangkat ke kantor bersamaku atau kau pergi sendiri naik kendaraan umum?!" Suara pria di balik pintu membuat Shanum segera mengakhiri riasan dan segera keluar kamar.
Sampai pintu, kedua insan itu saling terpaku. Menatap lawan bicara dengan tatapan intens. Shanum berpenampilan yang berbeda dari biasanya. Ia terlihat lebih elegan dengan blouse putih dipadukan dengan blazer milo dan rok pendek. Sepatu dengan heels tidak terlalu tinggi menambah keanggunan wanita itu. Rambutnya yang ikal, ia biarkan tergerai bebas.
Elang segera turun ke bawah. Diikuti Shanum tanpa sepatah kata pun. Sampai meja makan, semua orang sudah berkumpul dan menempatkan diri di kursi masing-masing.
Sarapan sudah tersedia di meja makan. Shanum dan Ellea sudah memasak sejak pagi-pagi buta. Karena mulai hari ini Shanum akan bekerja di perusahaan Elang.
"Hari ini aku akan kembali ke desa, asal tempat tinggal Gwen. Ada beberapa urusan yang harus kuurus di sana," cetus Vin sambil menyendokan nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Jauh, kah, dari sini?" tanya Ellea.
"Eum, hanya dua jam perjalanan jika memakai mobil pribadi."
"Ah, bagaimana kalau kita ikut Vin ke desa. Sepertinya menyenangkan," saran Ellea.
Semua orang saling tatap satu sama lain. Memikirkan perkataan Ellea barusan dan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti, jika mereka benar-benar melancarkan ide ini.
"Apa ada pantai?" Pertanyaan Abimanyu yang tiba-tiba membuat semua orang menoleh padanya.
"Tentu saja. Ada pasir putihnya juga. Dan rumah orang tua Gwen ada di pulau seberang. Jadi kalau kalian benar-benar ingin ikut, kita akan menaiki perahu untuk dapat sampai, ke pulau itu."
"Aku tidak bisa. Otomatis Shanum juga. Kami banyak pekerjaan, " tegas Elang. Sementara Shanum hanya diam menanggapi, dengan terus menyendokan nasi ke dalam mulut.
"Tidak apa-apa. Lagipula aku bisa sendiri. Kalian di sini saja."
Diskusi pagi ini berakhir. Elang segera berangkat ke kantor bersama Shanum. Namun kali ini Abimanyu tidak ikut serta bersama Elang.
Abimanyu dan Ellea lebih memilih transportasi umum, naik bus kota. Gio dan Adi berencana mengantar Vin ke stasiun bus terdekat.
_____
Halte bus sudah penuh oleh orang-orang yang berjejer rapi, menunggu datangnya transportasi umum yang memang akan datang setiap 15 menit sekali. Bus dengan warna dominan merah itu, kini berhenti di hadapan mereka. Satu persatu mereka masuk melalui dua pintu yang sudah terbuka otomatis dari tombol supir. Abimanyu membiarkan Ellea masuk terlebih dahulu. Gadis itu kemudian menempatkan diri duduk di dua kursi kosong tengah bus. Ellea duduk di dekat jendela, kemudian Abimanyu menempatkan diri di sampingnya.
Jalanan kota cukup sibuk. Beberapa mobil lalu lalang di jalan aspal yang luas itu. Kursi bus juga sudah penuh oleh penumpang. Baik Abi maupun Ellea hanya diam, menikmati pemandangan yang ada di luar jendela. "Bi.... "
"Hm?"
"Apa kau merindukan kampung halamanmu?" tanya Ellea tanpa melepas pandangannya dari jendela.
"Sedikit."
Ellea menoleh ke Abimanyu. Ia melingkarkan tangannya ke lengan pria itu. "Kalau kamu mau, kita bisa pergi ke pantai. Aku akan temani kamu. Jangan salah, kalau aku ini suka sekali laut," ucap Ellea, menyandarkan kepalanya ke pundak Abimanyu.
Abimanyu tidak menjawab apa pun. Bahkan ia tidak menolak sama sekali saat Ellea bersandar padanya. Sejak awal, ia sudah tertarik pada Ellea, walau ia selalu berusaha mengelak perasaannya sendiri. Tapi, melihat sikap Ellea yang suka manja seperti ini, ia yakin kalau gadis itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
____
Seperti biasa Elang sampai di pintu lobi. Ia melempar kunci mobilnya ke satpam yang berjaga di depan. Bukannya umpatan tapi justru sapaan selamat pagi terdengar setelahnya dari pria bertubuh tinggi besar itu. Tentu saja tidak ada yang berani pada Elang di kantor ini. Karena dia pemilik perusahaan ini dan sikap dingin, seenaknya serta menyebalkan yang ia tunjukan adalah bukan hal aneh lagi.
Kali ini ia tidak berjalan angkuh sendirian. Karena di belakangnya ada seorang gadis anggun dan terlihat pendiam. Shanum memang berbeda dengan Ellea. Dia lebih tenang, dan jarang berceloteh seperti Ellea. Mungkin karena Shanum berumur lebih tua timbang Ellea, maka ia terlihat lebih dewasa dengan pembawaan karakter yang tenang.
Sampai lift, beberapa orang yang memang akan masuk ke dalam, segera menguar dari barisan. Membiarkan sang ceo berdiri paling depan. Bisik-bisik terdengar lagi, namun sangat pelan, tapi Shanum dapat menangkap dari ujung ekor matanya, bahwa ia menjadi bahan gunjingan sekarang. Ia tak ambil pusing. Dan terus mengekor pada pria di depannya itu.
Saat Elang dan Shanum masuk ke dalam lift, beberapa karyawan di belakang mereka juga bersiap akan menyusul, tapi Elang menghentikan mereka. "Berhenti. Kalian naik lift berikutnya. Saya paling tidak suka kalian menggunjingkan kami. Asal kalian tau, dia adalah sekretaris saya yang baru. Lian sudah pindah. Paham?!" bentak Elang dan segera menekan tombol lift.
Begitu pintu lift tertutup dan mengantar mereka berdua ke atas, Shanum hanya diam. Ia sedikit gentar melihat sikap Elang yang benar-benar emosi hanya karena masalah sepele. Tapi ia juga senang karena sikap itu.
Pintu lift terbuka. Koridor ini memang selalu sepi. Hanya ada OB saja yang rutin membersihkannya tiap pagi, sebelum sang ceo datang. Shanum menoleh ke sana ke mari. Mencari karyawan lain yang mungkin akan ia temui.
Sampai di meja sekretaris yang ada di depan ruangan ceo, Elang berhenti. Ia menunjuk ke meja lebar itu.
"Itu tempatmu. Bekerjalah dengan baik. Satu lagi, jangan hanya karena kita saling mengenal maka aku akan bersikap lunak padamu. Kalau pekerjaanmu kacau, kau tetap akan ku marahi seperti mereka tadi." Elang berjalan masuk ke ruangannya. Sementara Shanum masih diam mematung. Walau pada akhirnya ia duduk di kursi miliknya.
Nama Lian sudah digantikan oleh Shanum. Baru beberapa menit, ia duduk, dan mencoba beradaptasi dengan suasana baru. Dering telepon membuyarkan lamunannya.
Ia mengambil gagang telepon itu, dan menempatkannya di dekat telinga. Sambil ragu ia menyapa, "Halo?"
"Ke ruanganku sekarang!" Suara dari seberang mampu ia kenali. Suara pria yang sudah beberapa hari ini ia pikirkan siang malam. Suara Elang yang dingin tapi mampu menggetarkan hati Shanum hingga jantungnya akan berdetak makin cepat.
Shanum menarik nafas dalam-dalam, mengisi rongga pernafasannya dengan lebih banyak oksigen. Langkahnya pelan menuju pintu ruangan Elang berkali-kali ia menarik nafas dan menekan dadanya. Tiba-tiba ia menjadi sulit bernafas, tapi ia terus mencoba setenang mungkin.