Cahaya itu datang dengan suara yang menggema. Orang-orang berdesakan, mencari ruang untuk barang-barang. Tidak sedikit pula yang berebut kursi, padahal sudah mendapat jatah masing-masing. Sementara aku tidak butuh waktu lama--duduk sesuai nomor yang tertera di atas karcis. Ketika pinggulku melekat, angin sejuk menggodaku dari jendela agar menempati kursi sebelah yang kosong. Tidak apalah, belum ada orangnya, batinku. Tak lama kemudian, kereta mulai melaju.
Setelah satu jam perjalanan, kereta pun berhenti sebentar. Untuk mengisi waktu, aku memandangi sebuah foto yang kukeluarkan dari saku. Dimulai dari atas, kuperhatikan rambut yang tak seperti dulu. Mata dan bibirnya yang menawan membuatku membayangi masa lalu. Kunikmati mimik perempuan bergaun putih itu.
"Cantik sekali." Aku dikagetkan oleh seorang nenek yang berada di sampingku. Spontan, aku menyembunyikan foto lalu mempersilakan ia menempati kursiku (yang kurasa itu miliknya). Ingin rasanya menyahut. Namun, sepertinya nenek itu tidak membutuhkan balasan karena ia terlihat menata bawaan.
"Nak, bisa minta tolong?" Aku mengangguk, tersenyum. "Ambilkan nenek sebotol air di tas itu, " lanjutnya seraya menunjuk tas tersebut. Sebagai rasa terima kasih, ia memberiku segelas air putih.
"Kamu mau ke mana, Nak?" tanyanya setelah puas membasahi tenggorokan.
"Mau balik ke kampung, Nek," jawabku singkat.
Tanpa kutanya balik, nenek itu berkata," Nenek mau bertemu orang yang nenek sayangi."
Tanpa diduga, air matanya meleleh. Merasa tak enak hati karena membuatnya sedih, aku memberinya tisu yang kebetulan sisa satu. Kami melanjutkan obrolan yang sempat terhenti hingga saat memasuki terowongan, kereta berguncang yang menyebabkan bukuku terjungkal. Keadaan berubah saat aku menengok ke depan setelah mengambil buku.
Aku bergeming untuk menenangkan diri. Tidak ada suara siapa pun. Percuma menengok kanan atau kiri lantaran kegelapan menyelimuti. Aku coba meraih tas di kolong tempat duduk, berharap menemukan senter yang kurasa ada di dalam. Keringat mengalir, lama-kelamaan begitu dingin. Terburu-buru. Tanganku merasakan sesuatu. Aku meraba dengan naluri saja. Hangat. Aku yakin bahwa yang kupegang ini bukanlah senter, tetapi ....
"Halo!" aku mendadak dibuat kaget oleh suara entah siapa, membuatku melempar benda yang kupegang, jauh ke depan.
Aku linglung. Kereta tidak bergerak sama sekali. Kucoba untuk berjalan dengan hati-hati seraya memegang pinggiran tiap kursi, menilik kehidupan di balik celah pintu yang perlahan merosot jauh. Leherku merasakan geli bercampur panas,ditambah kedua pundak yang tetiba berat. Badanku bergerak berulang-ulang dengan cepat. Sontak mengalir air hangat yang menembus celana, membuatku terpancing untuk memandang ke bawah. Keadaan kembali seperti sediakala saat aku mendengar bunyi kereta.
"Loh?"
"Kamu kenapa, Nak?" tanya nenek yang terlihat bingung. Dua penumpang di sebelah kami melirik kaku.
"Enggak apa-apa, Nek," kataku beralibi.
Kupandangi ruang gerbong dengan was-was, berusaha fokus pada titik sekecil apa pun. Konsentrasiku buyar saat sekelebat melintas di ujung—penghubung wagon. Aku merasa gentar. Karena penasaran, aku nekat mengecek bayang-bayang tersebut. Ternyata di sana hanya ada pemudi yang sepertinya mengantre kamar mandi.
Gadis itu tersenyum dan menatapku lekat-lekat. Aku bergerak mundur sebab tertegun. Seluruh tubuh sekalnya menjelma serupa angin hitam, menyisakan wajah yang tidak ayu. Kakiku terasa berat, sementara ia menghampiriku—semakin dekat.
Air peluh mengucur tidak berhenti (aku seperti melihat monster dalam film). Lalu tiba-tiba, tubuhku seperti terbakar, tenggorokan mengering. Rupanya dari depan, ada sesuatu yang datang. Disusul dentuman kasar yang menghancurkan gerbong-gerbong dengan lahap dan tiba di hadapanku hingga berakhir di gerbong paling belakang.
Aku menangis tak karuan. Walau aku lelaki, air mata merupakan hal lumrah, apalagi setelah semua yang menimpaku malam ini. Aku takut pada maut, meski doktrin-doktrin akannya masih ada di kepalaku. Kucoba untuk menelepon siapa pun, tetapi tidak tersambung.
Aku berjalan gontai, menyaksikan kematian para penumpang yang membisu. Lambat laun gambaran akhirat itu hidup. Bayangkan saja, kehancuran di mana-mana. Hamburan daging yang gelap bersarang di meja kecil. Banyak mahkota menggelantung di bagasi. Ruangan berubah abstrak. Namun, sesuatu yang tak masuk di akal ialah kereta yang masih melaju dan aku yang terasa utuh.
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tidak ada pilihan selain pasrah. Aku duduk bersama mayat-mayat yang mengonggok. Ketika melihat ke arah pintu, tiba-tiba sebuah kepala yang tidak jelas bentuknya menggelinding ke arahku, membuat mataku melotot sebab kepala itu.
Waktu berputar mundur tepat saat cahaya itu mendekat. Suasana stasiun amat ramai. Semua calon penumpang bersiap menaiki kereta. Mereka berdiri di belakang garis kuning, kecuali aku karena tekadku sudah bulat. Aku menelepon ibu untuk membatalkan kepulangan. Sebuah keputusan yang berat, namun harus kulakukan. Sebab saat itu mataku menangkap sesuatu yang mengintaiku, berdiri sembari menyeringai dengan lebar di samping pramugari .