Chereads / GREED FOR SPEAR / Chapter 10 - 10. Melupakan Bagaimana Rasanya Menjadi Manusia

Chapter 10 - 10. Melupakan Bagaimana Rasanya Menjadi Manusia

Bersekolah di Neo Batavie adalah hal yang sulit. Selain biayanya yang sangat tinggi, keefektivan pembelajaran juga sangat rentan. Gangguan dari luar sekolah seringkali membuat para murid tidak bisa fokus belajar apalagi ketika ada ledakan terjadi dekat dengan sekolah.

Tingkat kematian murid terutama siswa-siswi manusia sangat tinggi saat berangkat maupun pulang sekolah. Ini menjadikan perjalanan dari dan ke sekolah seperti sedang berperang.

Di tempat Rachel bersekolah, dalam setahun ada sekitar 28 murid tewas saat berangkat maupun pulang sekolah. Rata-rata yang tewas setiap angkatannya adalah 20 siswa dalam setahun. Tenaga pengajar pun kadang bernasib malang.

Oleh sebab itu, banyak murid memilih untuk tinggal di asrama yang disediakan pihak pengelola di lingkungan sekolah. Sayangnya, biaya tinggal di asrama sangat mahal sehingga murid-murid kurang beruntung seperti Rachel harus bertaruh nyawa hanya demi bersekolah.

Setiap berangkat, Rachel akan disambut oleh seorang tentara bersenjata lengkap penjaga sekolah. Lalu saat pulang, dia akan diberi hormat perpisahan oleh si tentara seperti seorang jenderal melepas prajuritnya ke medan perang.

Hal ini sedikit membuat Rachel terganggu, tapi dia tak bisa melarang prajurit itu untuk berbuat demikian.

Tapi, sore ini prajurit penjaga sekolah dapat merasa lebih lega sebab Rachel dijemput oleh sang Kakak dan Aidan menggunakan kendaraan lapis baja milik organisasi BPAM.

"Kakak!"

"Rachel!"

Keduanya berpelukan begitu melihat satu sama lain. Air mata bahagia luber keluar dari pelupuk mata Rachel kembali melihat Gunawan.

"Aku senang melihat Kakak baik-baik saja. Aku merindukanmu!"

"Kakak juga ... kakak juga. Walau hanya dua minggu, tapi rasanya kita sudah tak bertemu selama satu tahun."

Pemandangan hangat itu membuat Aidan merasa tidak diperlukan. Dia lebih memilih masuk kembali ke dalam mobil seraya menunggu Gunawan dan Rachel berhenti berpelukan.

Butuh beberapa menit sampai akhirnya kakak-beradik itu masuk ke dalam mobil. Mereka pun segera menuju ke apartemen Rachel.

***

Awalnya, pertemuan Gunawan dan adiknya berlangsung hangat. Tapi, semakin jauh pembicaraan mereka pertengkaran pun kembali dimulai.

Gunawan merasa bingung pada Rachel karena dia masih belum pindah dari apartemen kecil dan bau pesing mereka meski telah memiliki cukup uang untuk pindah yang diberikan oleh organisasi BPAM.

Rachel enggan memberikan penjelasan dan ini membuat Gunawan semakin kesal.

Hingga kemudian, baru setelah mereka sampai di apartemen Gunawan mengetahui alasan Rachel tidak berkeinginan pindah. Dia dibuat ternganga oleh apa yang dilihatnya sedangkan Aidan bersiul kagum.

"Wah, wah, apa-apaan ini?"

Rachel dengan bangga turun dari mobil dan menjelaskan, "Kakak, saksikanlah. Klinik milikku dan Dokter Freddy."

Gunawan tak bisa berkata-kata lagi. Ini berada di luar ekspektasinya.

Rachel menggunakan uang pemberian organisasi untuk membeli lahan sekaligus apartemen dari pemilik sebelumnya. Lalu, Rachel menggaet Dokter Freddy untuk mendirikan klinik di apartemennya. Alhasil, lahirlah klinik sekaligus apartemen milik mereka berdua yang selalu ramai oleh pasien.

"A–apa tidak apa-apa membangun klinik di sini tanpa pengamanan?" tanya Gunawan.

"Tenang saja, Kak. Semuanya akan baik-baik saja selama tidak ada serangan skala besar yang datang. Lagipula, siapa yang akan menyerang klinik kecuali orang gila?"

Nyatanya, Rachel juga memasang segel pelindung seperti yang dipasang di rumah sakit tempat Gunawan dirawat beberapa waktu lalu.

Ada kebanggan di dalam hati Gunawan pada adiknya. Dia selalu tahu kalau Rachel adalah gadis yang pintar–tidak, malah jenius. Tapi, dia tak menyangka Rachel bisa mengelola klinik sekaligus apartemen meski dibantu oleh Dokter Freddy.

"Aku sendiri juga tidak percaya akan hal ini. Tapi, seperti yang Kakak bilang soal kota ini ... hal tidak masuk akal akan selalu terjadi di Neo Batavie. Mungkin sana, aku salah satu ketidak masuk akalan itu."

Gunawan menangis haru menyaksikan sang Adik. Dia mengelus kepala Rachel dan memeluknya dengan rasa bangga. "Aku tidak tahu apa yang ibu makan saat dia hamil dirimu. Tapi, aku senang kalau itu membuatmu luar biasa cerdas seperti ini."

"Aku lebih senang lagi kalau Kakak bisa berhenti membahayakan diri di luar sana. Dengan klinik ini, aku yakin akan bisa memiliki cukup modal dalam waktu dekat untuk pindah ke luar kota dan membeli lahan untuk kubangun rumah besar untukku. Kakak harus terus mengunjungiku setelah itu, kau harus berjanji!"

"Tentu saja, Kakak akan berjanji," balas Gunawan.

Di tengah-tengah kehangatan momen adik-kakak tersebut, tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengganggu perhatian Gunawan.

Beberapa mobil hitam datang dan parkir di depan klinik apartemen lalu beberapa orang berpakaian hitam membawa senjata api laras panjang. Mereka langsung menembaki pelindung klinik secara membabi buta dan juga melemparkan penetralisir medan energi untuk membuat celah pada kubah pelindung klinik.

Mendengar semua keributan yang terjadi, Rachel langsung menoleh ke arah klinik dan merasa panik setengah mati.

"Kau tetaplah di sini!" Gunawan bereaksi cepat dengan memasukkan Rachel ke dalam mobil. Aidan lalu keluar sambil mengunci semua pintu.

"Apa yang Kakak lakukan?! Jangan ke sana!" pekik Rachel melihat Gunawan dan Aidan berlari menuju ke klinik.

Gunawan mengabaikan teriakan adiknya dan terus berlari. Sesampainya di klinik, dia jatuh syok melihat sejumlah mayat bergelimpangan di depan teras. Bukan karena para penyerang berhasil membantai pasien klinik, melainkan karena mereka telah tewas di tangan seseorang.

"Oh, hei, tukang hutang. Apa kabar?"

"Dokter Freddy? Itukah kau?"

Seorang pria kekar bertubuh kecil tampak dengan bangga menggotong minigun. Kakek tua beralis lebat itu mengejutkan baik Gunawan dan Aidan.

"Tentu saja ini aku." Dokter Freddy dengan sombong mendekati Gunawan. "Kemana kau selama ini, huh? Sampai melewatkan janji pertemuan kita."

Gunawan tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Ada terlalu banyak detail yang musti dia sampaikan agar Dokter Freddy mengerti.

Sebelum sempat Gunawan menjelaskan pun, telah berdatangan lagi sejumlah orang bersenjata dari beberapa mobil berwarna hitam. Dokter Freddy segera kembali menodongkan minigunnya dan bersiap bertempur lagi.

"Kau bisa jelaskan nanti, Gunawan. Sekarang, kau masuklah ke dalam klinik atau bersembunyilah ke suatu tempat," ucap Dokter Freddy.

Gunawan menyeringai meresponnya, "Itu tidak perlu. Aku akan membantumu!"

"Hei, tapi kau—"

Sementara itu Aidan juga telah siap bertarung.

Dia menggerakkan tangannya dalam suatu pola geometris yang berbeda beberapa kali, kemudian seperti sedang menuliskan suatu simbol di udara Aidan menyelesaikan ritual praktik Mistika untuk membuka akses energi dari tempat tinggal Levitate Exodian yang menjalin kesepakatan dengannya. Setelah itu, Aidan memunculkan sebuah perisai serta tombak dari udara.

Melihatnya membuat Dokter Freddy bingung sebab dia tak pernah melihat manusia anomali sebelumnya.

Dokter tua itu kemudian memilih fokus pada musuh yang datang, namun dirinya terbelalak sebab melihat Gunawan telah tergeletak di tanah dengan luka di atas dahinya.

"Anak bodoh!" teriak Dokter Freddy, tak menduga apa yang terjadi setelahnya.

Dokter Freddy terkejut kala Gunawan bangkit dan mulai berubah menjadi monster.

Para penyerang yang melihatnya pun terkejut, terutama seorang laki-laki di barisan paling belakang. Dia segera menyuruh sang Sopir untuk pergi dari sana.

Melihat ada yang berusaha kabur, Gunawan segera mengeluarkan tombaknya dan berniat menghentikan mobil itu. Namun, para penyerang yang lain menembakinya terlebih dahulu sehingga menghalanginya mengejar.

"Kalian ... berhentilah menembakiku!"

Gunawan meraung keras, dia menerjang satu per satu penyerangnya dan menusuk mereka dengan tombaknya seperti sate.

"K–Kakak?" Rachel terkesiap menyaksikan aksi Gunawan. Dia tak percaya, bahwa kakaknya dapat berbuat demikian.

Aidan dan Dokter Freddy yang telah siap bertarung pun menjadi menurunkan kewaspadaan mereka melihat bagaimana Gunawan menghabisi para penyerang itu dengan cepat.

Hanya dalam beberapa detik, Gunawan membunuh para penyerang dengan tombaknya. Dia menyusun mereka bertumpuk di atas tombak keputusasaan yang terus dia panjangkan.

Hari itu, semua orang yang ada di klinik telah menyaksikan bagaimana seorang manusia memiliki kekuatan untuk membunuh begitu banyak Exodian dengan kekuatannya sendiri. Namun, mereka kembali kepada rasionalitas dan menolak mempercayai bahwa sosok mengerikan itu adalah seorang manusia.

Tak terkecuali untuk adik Gunawan sendiri. Rachel mulai meragukan kemanusiaan sang Kakak.

***

"Bagaimana rasanya?"

Aidan menanyai Gunawan setelah mereka kembali ke fasilitas BPAM.

"Rasanya apa?"

"Menunjukkan kekuatanmu di hadapan publik seperti itu."

Gunawan menatap ke arah lantai. Dia berusaha mengingat kejadian tadi, namun tak sedikit pun dia dapat mengingatnya.

Hal yang Gunawan rasakan adalah amarah dan sensasi sekarat karena peluru menembus tengkorak serta otaknya. Dia tak bisa mengingat hal lain.

"Kalau begitu, bagaimana dengan adikmu? Apa kau tahu bagaimana reaksinya terhadapmu?"

Gunawan menatap Aidan lekat. Dia kemudian berusaha mengingat Rachel dan reaksinya setelah Gunawan kembali tersadar dari wujud monsternya.

Dia dapat melihat ekspresi Rachel yang ketakutan, seolah tak ingin berdekatan dengan sang Kakak. Rachel menganggap Gunawan bukan lagi manusia saat itu, dia benar-benar ragu apakah Gunawan masih kakaknya atau tidak.

"Rachel ...."

Gunawan berbisik pelan. Dia memegangi kepalanya seiring air mata keluar dari sudut matanya.

"Kenapa kau tidak menghalangiku berubah, Aidan? Kau bisa mencegahku melakukan tindakan bodoh itu," ucap Gunawan pelan.

Aidan menarik nafas dalam. Dia memalingkan wajah ke tembok sebelum mengatakan hal yang cukup menggetarkan benak Gunawan.

"Nyatanya, Kawan. Setelah kau mendapat kekuatan itu, atau pun sepertiku. Kita sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai manusia. Kita tak bisa menjalani kehidupan normal, kita tak akan bisa kembali kepada kehidupan lama kita dan kita mustahil untuk mengulangi semua tindakan yang kita lakukan." Aidan melanjutkan, "BPAM dibentuk bukan hanya sekedar untuk mengawasi manusia anomali, tapi juga untuk mencegah anomali terjadi pada manusia lainnya. Itu adalah sebuah bentuk pengorbanan, untuk melindungi umat manusia dari pencemaran dunia Exodian terhadap dunia kita yang dulu."

"Lantas, ada di dunia mana kita sekarang?" tanya Gunawan lagi.

Aidan mengambil jeda sebelum menjawab pertanyaan Gunawan. Sepertinya, memberikan jawaban tersebut pun terasa cukup berat baginya.

"Kita ada di dunia di mana realita menjadi fantasi dan fantasi mengubah realitas. Oleh karena itu, kau harus bisa memikirkan keputusan apa yang lebih baik dilakukan saat ini agar kau tak terjerumus ke dalam kegilaan. Itulah Neo Batavie."

Aidan lalu beranjak keluar ruangan. Sebelum itu, dia berpesan pada Gunawan untuk tidak menggunakan kekuatannya tanpa izin darinya atau Daya.