Sejak masuk ke penjara, Rubyza Andara tidak ada bedanya dengan orang yang sudah masuk ke dalam liang lahat, mati meninggalkan nama.
Dia sudah benar-benar menjadi pribadi lain dibandingkan sikap dan fisiknya dulu yang begitu bersinar dan cemerlang, seolah-olah Rubyza Andara yang pernah menjadi primadona dengan segala kecantikan, kesombongan, keangkuhan, dan prestasinya yang gemilang hilang bagaikan ditelan bumi.
Namanya yang merupakan salah satu dari batu mulia, yaitu Ruby, dirasanya sudah tidak cocok lagi melekat pada dirinya. Itu juga dipikirkan oleh para tahanan lain, hingga akhirnya dia pun mendapat nama panggilan baru: monster.
Kadang pula diledek sebagai penyihir, wanita jelek, wanita jahat, atau wanita hantu. Padahal, selama menerima semua siksaan, dia tidak pernah melawan sedikit pun. Namun, mereka terus memanggilnya dengan berbagai sebutan buruk terus menerus seolah-olah dia benar-benar manusia yang paling mengerikan di antara semua tahanan wanita di sana.
Sembari berjalan miring melewati para tahanan lain sembari memegangi pinggangnya seperti orang hamil, Ruby berjalan tertatih menuju penjaga yang berdiri di luar sel.
"Kamu masih saja suka melamun. Kamu pikir suaraku tidak akan sakit jika meneriaki namamu terus?!" hardik sang penjaga dengan tidak senang.
"Ma-maaf..."
Para tahanan senior yang selalu membully-nya, menatapnya malas-malasan sembari terkekeh jahat.
Mereka kemudian saling pandang dengan senyum licik detik berikutnya, mata mereka lagi-lagi mengandung niat buruk. Tentu saja itu adalah kode kalau mereka akan menyiksa Ruby setelah selesai bertemu pengunjungnya itu. Hal yang selalu mereka lakukan atas perintah Alaric Jiang karena dinilai membangkang kepadanya.
Menyiksa Ruby merupakan saat-saat yang menjadi kesukaan mereka selama ini. Tidak akan dilepaskan begitu saja pastinya.
Ruby yang berjalan menuju ruang pertemuan, mengelus-ngelus bagian belakang pinggangnya dengan tangan dingin gemetar, berjalan pincang susah payah mengejar langkah penjaga wanita di depan.
Ya. Rubyza Andara sekarang adalah wanita pincang bermuka jelek. Dia sudah mirip monster dengan panggilan yang selalu disematkan kepadanya.
"Hei, cepat jalan sedikit! Kenapa kamu selalu membuatku berteriak, sih?! Aku tidak sudi punya suara jelek sepertimu! Camkan itu!" bentak sang penjaga wanita kasar, berbalik ke arahnya dengan raut wajah garang.
Ruby hanya mengangguk kikuk dengan pembawaan sangat rendah hati, kepalanya terus tertunduk, sudah mirip pengemis rendahan yang akan dipukuli jika tak menurut.
Dia pun mencoba menyeret kakinya lebih kuat, tapi tetap saja masih tidak secepat sang penjaga wanita.
Keringat dingin menuruni wajah dan punggungnya, pertanda sudah mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya untuk menyamakan langkah mereka.
Sejujurnya, Ruby yang kesulitan berjalan ini, bukan hanya karena kakinya yang pincang, melainkan karena fisiknya yang sering kelelahan akibat sering dibully setiap hari.
Selain itu, sekarang, dia hanya punya 1 ginjal yang membuatnya harus ekstra hati-hati jika mendapat perlakuan kasar, atau pun melakukan pekerjaan berat.
Aksi nekat Ruby menusuk perut sendiri tahun lalu membuat gempar rumah tahanan itu. Untungnya, dia bisa dengan cepat ditolong meski harus berada cukup lama dan hampir koma di rumah sakit.
Wanita dengan tanda silang di kedua pipi tersebut, terbilang punya cukup banyak keberuntungan di tengah badai kesialan yang menerpanya. Namun, akibat tindakan nekatnya, dia menerima konsekuensi besar saat sadar ada yang aneh dengan tubuhnya ketika terbangun di rumah sakit.
Tidak hanya fisiknya saja yang dirusak, atau pun nama baiknya, tapi juga dalam dirinya tidak luput dari sasaran kebencian orang-orang jahat yang mengincarnya.
Tanpa persetujuan dan sepengetahuan darinya, seseorang sudah mengambil sebelah ginjalnya selama dirinya tidak sadarkan diri di rumah sakit.
Kejadian tak disangka-sangka itu membuat Ruby akhirnya semakin sering termenung hampir setiap hari seperti orang yang kehilangan kemampuan berpikir.
Dia tidak hanya ditinggalkan, tidak hanya dibully, tapi juga hanya dianggap sebagai manusia yang tidak ada artinya di dunia ini hingga bisa seenak perut mereka mengambil organ tubuhnya begitu saja.
"Selamat siang, Rubyza Andara," sapa sang pengacara muda yang baru-baru ini sering ditemui paksa oleh Ruby.
Biasanya, yang datang mengunjunginya hanyalah asisten pribadi Alaric dengan berbagai macam bujukan agar mau menyetujui surat perjanjian yang khusus dibuatkan untuknya.
Kesal karena membayangkan betapa akan enak hidup Paula Mahameru bersanding dengan Alaric Jiang, dan akan merebut posisi sebagai nyonya utama, Ruby akhirnya tidak mau menemui sekretaris sialan itu setelah beberapa kali kunjungan.
Mungkin sekarang Alaric ganti strategi, makanya mengganti sang sekretaris dengan pengacara cerewet itu. Lebih keras kepala dan sabar menghadapinya.
"Se-selamat siang...."
Senyum sang pengacara membuat Ruby canggung, kepalanya masih tertunduk malu dan takut-takut, mengangguk patah-patah menyapanya sopan.
Selama berada di dalam penjara, tidak ada yang mengunjunginya selain orang suruhan Alaric dengan tujuan tertentu, dan sudah lebih dari 2 tahun dirinya tidak pernah bertemu lagi dengan Alaric sejak penolakan pria itu terhadapnya di depan semua reporter yang mempermalukannya ke seluruh negeri dengan skandal mengerikannya.
Sayangnya, keputusannya yang keras kepala untuk tidak menandatangani surat perjanjian mereka, meski sudah ditalak sekalipun, membuat dirinya menerima siksaan lebih hebat di dalam penjara hingga berujung pada aksi nekatnya dulu menusuk perut sendiri.
Mulanya, dia pikir kalau Alaric pasti akan marah besar kepadanya karena melawan. Dia berniat membuat pria itu datang secara pribadi menemuinya, tapi pria itu ternyata sama dingin dan kejamnya dengan Aidan Huo.
Bukannya menemuinya, malah memberinya 'hadiah' lebih banyak dari para tahanan lainnya karena selalu menolak bertemu dengan bawahannya.
Ketika tahun lalu dirinya masuk ke rumah sakit dan hampir mati pun, pria itu tetap tidak berperasaan dan masih mengirimkan asistennya untuk terus membujuknya agar segera setuju dengan surat perjanjian mereka.
Dijenguk saja tidak, tanya kabar apa lagi! Jangan tanya soal titip salam!
Sejak menyadari Alaric Jiang tidak peduli pada hidup dan matinya, dia sudah mulai belajar membunuh cintanya sedikit demi sedikit. Sama seperti ketika dia membunuh cintanya terhadap Aidan Huo beberapa tahun silam.
Setiap kali godaan akan kerinduan terhadap Alaric bermain di hatinya, Ruby selalu memutar semua perlakuan buruk yang diterimanya selama ini, khususnya dari Aidan selama bertahun-tahun.
Kedua pria itu sangat hebat membuatnya masuk ke dalam neraka penuh penderitaan!
Terkutuklah mereka itu!
"Kamu tampak jauh lebih baik daripada minggu lalu," puji sang pengacara, dalam hati merasa miris dengan penampilan wanita yang dulu jadi pujaan semua pria di ibukota itu.
Ruby yang terlihat setengah melamun hanya bisa terus menundukkan kepalanya bagaikan boneka tanpa jiwa berjalan ke arahnya, menarik kursi mendudukkan dirinya pelan di depan meja di mana koper kerja sang pria tergeletak mewah.
"Bagaimana? Masih belum mau menerima tawaran Tuan Jiang? Jika kamu ada permintaan khusus, aku pasti akan menyampaikannya agar perjanjian ini tidak akan terasa berat sebelah," ujar sang pengacara sopan dan super lembut.
Mata Ruby melirik ke arah koper di depannya.
Di dalam koper mewah itu berisi sebuah surat perjanjian agar tidak saling mengganggu lagi setelah berpisah kelak.
Isinya sungguh luar biasa sampai Ruby yang membacanya tercengang hebat.
Salah satunya adalah Ruby dilarang menuntut apa pun dari pria itu, termasuk harta dan uang, sebagai gantinya maka masa tahanannya akan dikurangi beberapa tahun.
Kejam, bukan?
Dia tidak butuh harta dan uang pria itu!
Beberapa kali tawaran itu diubah oleh sang pengacara agar isinya terdengar menarik, tapi Ruby belum tergoda sama sekali.
Sikap Ruby yang selalu menolak itu membuat sang pengacara harus bolak-balik mengunjunginya beberapa kali setiap minggunya hanya demi meyakinkannya.
"Pikirkan baik-baik tawaran ini, Ruby. Jangan keras kepala terus. Apakah kamu suka berada di dalam penjara seperti ini untuk selamanya? Tidak keberatan dengan statusmu yang tidak jelas itu? Bukankah kamu sudah ditalak olehnya? Kalian sudah bisa dibilang bukan suami istri lagi. Asing satu sama lain. Apa kamu tidak mau menjalani hidup normal dan bahagia?"
Ruby menaikkan pandangan, menatapnya dalam diam. Kedua bola matanya semakin hampa.
Meskipun kebencian juga perlahan mengakar di hatinya terhadap Alaric Jiang, kadang-kadang, Ruby sedikit berkhayal dengan bodohnya kalau Alaric mungkin saja sedikit memikirkan dirinya, karena masih resmi menyandang status sebagai istri pria itu di mata hukum negara walaupun telah ditalak dan sudah berada di dalam penjara selama beberapa bulan lamanya.
Dia begitu naif, sangat naif berharap kalau suatu hari keajaiban akan datang kepadanya bagaikan kedipan mata, lalu semua salah paham yang menimpanya terselesaikan.
Sayangnya, semua itu cuma ilusi di otaknya yang mencoba melarikan diri dari masalah.
Ruby kemudian pikir, mungkin saja ada masalah lain hingga perceraian mereka belum diurus, makanya Alaric menundanya. Ternyata dugaan itu benar.
"Kenapa dia tidak datang menemuiku sendiri jika begitu ingin tanda tangan dariku?" ucap Ruby hampa dengan suara serak jeleknya. Ekspresinya sangat datar.
Sang pengacara tersenyum kikuk.
"Dia sangat sibuk, Ruby."
"Sangat sibuk? Apa karena sudah berhasil menjadi pemilik sah Grup Jiang dan akan segera bertunangan dengan wanita jalang itu, makanya tidak ingin bertemu dengan tahanan jelek sepertiku?"
Beberapa tahanan kadang didengarnya sibuk bergosip soal rumor para orang kaya yang kadang berseliweran di TV, di antaranya adalah Aidan Huo dan Alaric Jiang bersama pasangan masing-masing. Jadi, dia tidak begitu ketinggalan berita di luar sana.
Dia pun menyaksikannya sendiri beberapa kali saat mereka diberikan kesempatan untuk melepas kebosanan dengan menonton tayangan TV. Sebuah hiburan mewah yang beberapa kali dalam seminggu diberikan kepada para tahanan agar tidak memicu pemberontakan atau stres massal di dalam sana.
Ketika tayangan para pria yang pernah dicintainya muncul bersama para wanita jahatnya, Ruby pasti akan menciutkan dirinya seperti orang bodoh, atau tiba-tiba menulikan dirinya sendiri berpura-pura tidak mendengarkan apa pun.
Para tahanan yang tahu status dan skandal dirinya, selalu menjadikannya bahan ejekan, dan menyindirnya sebagai seorang murahan yang menyedihkan.
Keseringan mengalaminya, dia pun perlahan tak ambil pusing lagi. Toh, rasa cintanya perlahan sudah mati. Biarkan saja mereka berkata sepuasnya.
"Ruby.... kumohon... jangan begini..." desak sang pengacara, tidak nyaman dengan cara bicaranya yang acuh tak acuh.
"Pengacara Ken, sebenarnya apa yang membuat pria itu tidak mau datang sendiri selama ini? Apakah dia jijik melangkahkan kakinya ke tempat ini? Atau jijik menemuiku?"
"Kamu ini bicara apa? Aku sudah bilang dia itu sangat sibuk. Orang besar sepertinya punya jadwal begitu padat."
"Haha," Ruby tertawa datar dengan suara serak jeleknya, wajah masih tanpa ekspresi, melanjutkan, "jadwalnya sangat padat sampai bisa berlibur keluar negeri bersama seorang wanita selama seminggu penuh di atas kapal pesiar? atau maksudnya, sangat sibuk menikmati kebahagiaan di atas penderitaan istrinya sendiri bersama wanita lain ketimbang menyelidiki kebenaran kasus percobaan pembunuhan itu? Hebat."
Hening.
Sang pengacara mengusap sapu tangannya ke dahi, gugup seketika.
Semakin sering dia bertemu Ruby, semakin bagus kata-kata sindirannya.
"Apa benar aku bisa mengajukan syarat khusus di surat perjanjian itu?"
"Kamu sudah mau setuju?"
Pengacara Ken terlihat sangat senang, sampai dia tidak sadar memberikan ekspresinya yang membuat hati Ruby menjadi dingin. Tatapan mata sang wanita mendatar acuh tak acuh menanggapi reaksi sang pengacara.
Hari ini, pengacara itu datang lagi untuk mengetahui jawabannya usai memberikan tawaran minggu lalu yang jauh lebih baik dibandingkan yang sudah-sudah.
Untuk membuatnya segera menyetujui surat perjanjian yang selalu enggan ditanda-tangani olehnya selama kurang lebih setahun berada di dalam penjara, sebuah tawaran fantastis akhirnya datang kepadanya: dia bisa bebas dari penjara dan diberikan hidup layak setelah setuju dengan semua syarat yang diajukan kepadanya.
"Anda terlihat sangat senang, tuan pengacara," sindir Ruby dengan senyum sinisnya.
Sang pengacara tertawa kikuk, menjelaskan, "kamu tahu sendiri betapa sulitnya aku mengurus perceraian kalian berdua, kan? Alaric Jiang saat ini adalah salah satu pria paling berkuasa di ibukota. Jika kamu terus mempersulitku, sudah pasti dia tidak akan senang dengan kinerjaku. Entah apa yang akan dia lakukan nantinya."
"Maaf..." ucap Ruby enteng, tersenyum acuh tak acuh dengan tatapan kosongnya.
"Jadi, apakah kamu ada permintaan khusus? Katakanlah, akan segera aku sampaikan kepadanya," terangnya, sembari membuka koper miliknya, siap-siap merekam dan mencatat permintaan Ruby.
"Aku ingin... 3 hal di surat perjanjian perceraian itu."