Aku membolak-balik kertas ujian di hadapanku, bersandingan dengan pensil coklat yang sedari tadi tergeletak tidak terpakai. Ku alihkan pandangan, mencoba mencari sumber energi untuk netraku yang sangat jenuh melihat soal penuh angka yang aku sendiri tidak mengerti bagaimana untuk menjawabnya. Mereka terlihat serius sekali. Orang-orang itu. Dengan raut wajah yang tertekuk sempurna hingga muncul tiga kerutan pada keningnya, beberapa orang yang terlihat sangat frustasi sampai rambut mereka terlihat seperti benang kusut, dan yang paling bodoh adalah saat beberapa orang dengan sengaja mengetukkan kaki mereka ke lantai dengan harapan mendapat sebuah jawaban dari ilahi.
Ku yakin bukan jawaban yang mereka dapatkan, melainkan sebuah tinju ke wajah kalau saja ini bukan ujian yang mengharuskan peserta duduk manis menikmati setiap siksaan di kertas ini. Dasar orang-orang konyol. Setidaknya lihatlah aku. Tidak berisik, tidak terlihat seperti orang ambisius yang menjadi gila saat tujuannya tidak tercapai, tetapi bisa mengerjakan ujian ini. Ya... Mengerjakan empat dari sepuluh soal ujian tidaklah buruk.
Ujian telah masuk fase akhir, tersisa tujuh menit sebelum bel istirahat. Ku mengeluh frustasi. Ku sampai tidak bisa menelan ludah karena mungkin saja sudah habis, jauh sebelum fase akhir dari ujian ini datang. Ku tarik pengikat rambut blue marine itu, membiarkan rambut hitam panjang yang dikekangnya tergerai sempurna. Setelahnya, dengan ucapan maaf ku tarik rambutku kuat sebagai pelampiasan frustasi. Semoga aku tidak dicap anak gila atau semacamnya.
"Waktu habis. Kumpulkan lembar jawaban kalian dan silahkan nikmati waktu istirahat kalian." Jelas pengawas lalu berjalan mengelilingi meja dimulai dari sisi sebelah kanan. Untung saja ku berada di sebelah kiri, duduk di bagian tepi. Beruntung. Aku sangat beruntung.
Masih ada waktu. Aku bisa mengerjakan beberapa soal. Tuhan, tolong bantulah mahluk kesayanganmu ini.
"Dimulai dari sana saja Mrs. Amber," ucap seorang perempuan menghentikan wanita itu yang ingin mengambil kertas ujian yang berada di meja miliknya. Gadis itu nampak sangat polos dengan kacamata bulat berbingkai coklat dan rambut kuncir dua yang tanpa rasa berdosa menunjuk ke arahku.
Sial. Dasar anak lugu pencari perhatian. Kalau kau memang belum menjawab semua soalnya, jangan ajak orang lain bersama menikmati kesengsaraanmu. Dasar lugu bodoh.
"Apa kau belum mengerjakan semua soalnya nona?" Nada bicaranya sangat mengintimidasi. Gadis itu terdiam sesaat, sebelum menjawab dengan mata menatap wanita itu dalam dengan menyerahkan kertas ujian miliknya. "Tentu saya sudah menyelesaikan semua soalnya, Mrs. Amber."
"Cukup bagus." jawabnya dengan mengayunkan kertas ujian gadis itu ke atas, seperti mengatakan kepada yang lain bahwa kertas ujian kalian akan ku ambil setelahnya. Kami semua diam membisu. Bahkan hanya seperti itu saja, dia sudah sangat mengintimidasi. Bahkan orang di sebelahku bergetar seluruh badannya dengan suara menelan ludah sangat jelas terdengar. Jorok memang, tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Seandainya ludahku belum habis, aku akan melakukan hal serupa.
"Jadi... Mengapa kau ingin sekali mengambil kertas ujian dari sisi sebelah sana?" tanya Mrs. Amber yang kini mengikuti arah tunjuk dari gadis itu. Untung saja orang selain mereka tidak ada yang ikut menoleh. Mungkin saja mereka berdoa tidak berakhir mengenaskan sepertiku.
Tak sengaja netraku bertemu dengan wanita itu saat ia berdeham karena ku pikir dia sedang berusaha memanggil namaku. Tatapannya sangat menusuk. Dengan iris mata merah, postur tubuh besar tinggi dengan rambut keriting hitam membuatku ingin menelan ludah kalau masih ada yang tersisa. Ia sangat menakutkan, seperti penyihir dalam cerita dongeng. Ditambah jubah hitam kebesaran yang ia kenakan. Sungguh, aku tidak mempunyai kata lain untuk mendeskripsikan rupanya selain seram dan menakutkan.
"Siapa namamu nona?" tukas Mrs. Amber ke arah gadis itu Suaranya yang berat dan keras menggema ke seluruh ruangan. Semua diam, tidak ada yang bergerak. Bahkan suara hentakan kaki seperti meminta pertolongan ilahi yang saling menyaut membutuhkan jawaban ikut berhenti karenanya.
"Saya Anna Hashimata," sambung gadis itu kikuk. Iris mata Mrs. Amber membesar, rambutnya berdiri menyerupa ular yang siap melahap gadis itu kapan saja.
"Jadi... Anna Hasimata. Hal apa yang membuatmu berani menyuruhku untuk mengambil kertas dari bocah yang duduk termenung seperti orang kehilangan jiwa di ujung sana?" tanyanya setelah melihat sekilas ke arahku.
Ku hanya terdiam mendengarnya. Walaupun ku punya banyak umpatan untuk dilempar masuk ke telinga wanita itu, tapi sayangnya ku tidak berani. Jangankan untuk menatap wajahnya dan melemparkan umpatan, mendengar suaranya saja rasanya seluruh indraku telah terganggu fungsinya.
Hei! Dasar wanita penyihir. Ku tidak mungkin terlihat semengenaskan itu. Justru aku lebih tenang dari segi kejiwaan setelah melewati ujian konyol ini.
"Itu karena...." gadis itu menunda kalimatnya, bergerak ke arah pintu dan membukanya perlahan. "Itu karena pintunya disini. Daripada mengambil lembar ujian dari sisi sini, lebih baik dari sisi sebelah sana Mrs."
Ku kehilangan kata-kata. Itu adalah alasan teraneh nomor kesekian dari beberapa alasan aneh yang pernah ku dengar saat ujian. Oh Tuhan, jangan kabulkan permintaan gadis itu. Aku akan memberikanmu apapun, asal jangan kabulkan permintaan gadis itu.
Mrs. Amber nampak mengamati kondisi. Dia sedang berpikir, keningnya berkerut tiada henti. Ayolah Mrs. Amber, jangan setuju dengan permintaan konyol itu. Kau bahkan sudah memegang satu lembar jawaban dari barisan itu.
Namun sepertinya, Mrs. Amber dan Tuhan benar-benar membenciku hari ini. Rambutnya yang seperti ular itu perlahan berubah menjadi rambut keriting seperti sebelumnya. Iris matanya berubah hitam, suaranya menjadi lebih lembut. Ketegangan pun terhenti. Rasanya seperti bebas dari jeruji penjara. Sebagian orang mulai menghembuskan nafas panjang, ada yang mengelus dada, menyeka keringat, bahkan yang terlihat seperti seorang pencuri berhasil kabur dari kejaran polisi juga. Sungguh, ini sangat menenangkan... Tetapi bagi mereka. Untukku? Ini bencana.
"Baik... Ambil kertas ujian dari ujung sebelah sana. Dimulai dari bocah yang terlihat kehilangan jiwa itu." Ku membelalakkan mata. Ternyata dugaanku benar. Sial... Kertas ujian ini bahkan belum terisi setengahnya.
"Ayo cepat! Kertas ujian itu tidak bisa bergerak sendiri," tegasnya. Dengan berat hati, ku bergerak maju. Langkah demi langkah terasa berat, kertas ini rasanya berubah menjadi batu seberat ratusan ton. Saat ku sampai di depan barisan, ku berhenti menatap kertas ujian itu.
"Hei cepatlah," tegur seorang lelaki di belakangku dengan sesekali mendorong dari belakang. Sungguh tidak sabaran. Ingin rasanya ku berbalik dan melihat wajah dari orang yang berani menggangguku. Tetapi tidak bisa, tenagaku habis untuk mengangkat kertas ujian milikku ini. "Iya, tunggu sebentar lagi," jawabku.
Akhirnya ku menyerahkan kertas itu. Awalnya tidak terjadi apapun dan kupikir akan berlangsung biasa saja. Namun, saat Mrs. Amber melihat kertasku yang hanya terisi sebagian, hawanya berubah. Ia menggenggam erat kertas ujianku sampai lecek, kemudian membantingnya ke lantai. Ku langsung menundukkan kepala, berharap tidak melihat wajahnya yang dapat ku tebak ekspresinya itu.
"Bisa jelaskan apa maksud dari semua ini, Nona Kina?" Ku reflek menatap wajahnya saat dia memanggil namaku. Ya... Tepat seperti dugaan wajahnya berubah merah padam. Aku langsung kembali menundukkan kepala melihatnya. Sial, bagaimana dia tahu namaku? Dalam keadaan tertunduk malu, ku mencoba menerka bagaimana wanita ini dapat mengetahui namaku.
"Mrs. Amber tahu darimana nama—" Dia menarik kerah bajuku, memperlihatkan sebuah nametag bertuliskan Kina Harasawa.
"Apa yang tadi ingin kau tanyakan, Nona Kina?" Seluruh wajahku memanas. Dalam sekelebat pandang ku menatap netranya terpantul cerminan wajahku yang memerah. Jantungku berdetak kencang terpacu rasa malu. Lalu tanpa pikir panjang, ku langsung memalingkan muka kembali.
"Tidak ada Mrs. Amber, tidak ada pertanyaan," jawabku tanpa menatap matanya. Rasanya jiwaku tertarik keluar dari tubuh saat menatap matanya tadi.
"Tatap orang yang sedang kau ajak bicara. Kau diajarkan sopan santun bukan? Nona Kina." Dengan keringat yang membanjiri wajah, dan keadaan tangan yang tak lagi memiliki tenaga untuk membentuk tanda maaf, aku memberanikan diri untuk menatapnya.
"Maafkan aku Mrs. Amber," ucapku malu. Dia pun melepaskan genggamannya dariku, lalu mulai bertanya hal-hal yang sangat menyinggungku tanpa berhenti. Mulai dari mengapa kertas ujianku masih polos, sampai menanyakan nomor orang tua untuk memberitahu hal ini, walaupun ku tidak menjawab pertanyaan terakhir itu.
Dan akhir kata, dia memanggilku Hina. Sungguh akhir yang menarik. Sementara orang yang berada satu ruangan denganku? Mereka tertawa lepas setelah Mrs. Amber keluar dengan membawa kertas ujian milik kami.
✴
Bel istirahat berbunyi, suaranya lantang sekali terdengar melalui pengeras suara yang diletakkan pada setiap ruangan masing-masing satu jumlahnya. Ku lihat orang lain mulai keluar menuju kantin-entahlah tetapi yang jelas mereka keluar ruang ujian-bersama dengan orang lain yang cukup dekat. Teman? Entahlah. Sejak pagi tadi aku menginjakkan kaki di sini, belum pernah rasanya aku bertegur sapa dengan orang lain.
Cukup sudah. Ruang ujian semakin sepi. Hanya ada aku, rasa lapar yang kian mendesakku untuk pergi ke kantin, dan beberapa perempuan lain yang sedang mengobrol di dekat pintu. Ku melihat mereka seksama, netraku terkunci pada gadis lugu penyebab ku dipanggil Hina. Ya, benar sekali. Anna Hashimata, gadis polos dengan sebuah alasan bodoh yang membuatku sangat malu hari ini.
Ku pandangi dia dari tempatku, cukup cantik. Kacamatanya bulat coklat itu selaras sekali dengan iris matanya yang juga coklat. Rambut hitam yang ia kuncir dua terlihat sangat lucu dan berpadu sempurna dengan dress sederhana berwarna biru yang ia kenakan.
Saat ku terhanyut menatap wajahnya, dia menoleh padaku. Saat itu rasanya kesadaranku mendesak masuk ke otak, memaksaku menutup wajah dengan buku. Ku amati diam-diam. Cukup cantik. Tidak, benar-benar cantik. Anna-kalau aku tidak lupa namanya-yang sepertinya sadar sedari tadi ku perhatikan mendekat ke dua perempuan yang sejak tadi bersamanya mengobrol, membisikkan sesuatu lalu pergi dengan menutup wajahnya dengan buku yang ia bawa. Dan dua gadis lainnya? Mereka menatapku sekilas lalu pergi entah kemana. Wajahnya memerah? Ku yakin sekali tapi sangat disayangkan ku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Tunggu ... Aku masih ingin melihat wajahmu. Tunggu, apa?
Menyadari mereka telah pergi, ku meletakkan buku itu dengan mengucap 'terimakasih sudah membantuku', lalu menyilangkan tangan di atas meja dan menenggelamkan muka di sana. Hari ini sangat memalukan. Ku merasakan wajahku sudah memanas berkali-kali, bahkan belum genap empat jam sejak pertama kali ku datang ke sini.
"Hei," sahut seseorang. Saat ku menoleh, tidak ku dapati siapapun berada di dekatku. "Hei hei, lihatlah kemari. Pakai matamu dengan benar." Suara itu lagi. Sangat menganggu. Karena penasaran, aku pun berdiri dari duduk dan mendapat penglihatan lebih jelas ke seluruh ruangan.
"Siapa?" tanyaku. Beberapa orang yang berada di ruangan melirik ke arahku dengan aneh, lalu berbisik hal yang tidak dapat ku dengar. Ayolah, sampaikan saja. Tidak perlu berbisik seperti itu. Bahkan ku melihat ada yang sengaja berbisik dengan melihatku lekat sekali. Ku benci hal ini.
Sepertinya aku mendengar suara. Salah dengar? Halusinasi? Oh Tuhan, kapan kau akan berhenti mempermalukanku? Lihatlah mata mereka sekarang.
Ku segera keluar dari ruangan. Tatapan mata di dalam sana sudah masuk tahap kritis. Lebih lama berada di dalam sana pasti ku sudah diinterogasi oleh orang-orang itu. Ditanya ini dan itu, yang ujungnya ku akan dicap aneh ataupun gila. Ya ... Mungkin saja sekarang aku sudah dicap seperti itu.
Kakiku bergerak otomatis menuju kantin, mengikuti naluri rasa lapar yang sejak tadi menghantui. Keluar kelas, menyusuri koridor yang teramat ramai oleh orang yang terbebas dari ujian sebelumnya. Netraku menatap sekeliling, iri sekali. Mereka mengobrol, bercanda dengan calon teman baru seandainya mereka lulus ujian ini.
Semakin mendekati kantin, semakin banyak orang yang ku lihat. Aroma makanan yang didominasi berbagai jenis roti sungguh membuat perutku meronta dan dompetku memangis tersiksa. Semua terlihat enak. Warna keemasan itu, suara renyah roti saat disobek, lelehan coklat yang mengalir kental dari dalamnya. Aku tidak tahan. Dompetku... Maafkan aku untuk hari ini.
"Tolong croissant satu," pesanku pada salah seorang pelayan di toko yang ku datangi. Ia seorang pria bertubuh gempal, berjenggot putih, dan memakai toque blanches.
"Plus clairement." Aku memeringkan kepala tidak mengerti. "Maaf, aku tidak mengerti," jelasku. Pria itu menatap sinis ke arahku, lalu membentuk sudut lancip dengan kedua alisnya itu.
"Lebih jelas," sahut seseorang di belakangku. Ku kenal dengan suara ini, dia pasti gadis itu. Sial sekali, ku tidak ingin bertemu dengannya secepat ini setelah tertangkap basah mengamatinya diam-diam layaknya penguntit. "Lebih jelas," ulangnya.
"Apa?" tanyaku lagi. "O-oh. Tolong satu croissant, berikan aku yang renyah dan polos saja. Tidak perlu isian apapun," ucapku lalu pria itu pergi ke arah pemanggang roti tak jauh dari etalase yang menyuguhkan roti andalannya. Saat ia buka pemanggang itu, aroma harum mentega yang sangat kuat menusuk masuk ke dalam hidungku. Tidak hanya harum mentega, ku juga mencium aroma keju dan coklat yang mungkin saja meleleh di dalam croissant itu.
Beli satu? Dua? Tidak. Aku mau semuanya. Aku mau tetapi dompetku tipis sekali. Mengapa hari ini rasanya aku sangat tidak beruntung.
"Maaf, tolong tambahkan croissant coklat juga di sana. Dan jangan lupakan kopi, tidak pakai gula," tambahku. Selagi pria itu menyiapkan pesanan, ku mencoba untuk melihat sekeliling. Ada beberapa toko di sini, mulai dari toko roti seperti yang ku datangi, sampai toko yang menjual makanan berat seperti nasi beserta pelengkapnya dan spaghetti. Ada juga kedai yang menjual makanan dan minuman—tidak sehat menurutku—seperti burger, jus, dan beberapa jenis cola.
"Veuillez prendre votre commande," ucapnya dengan menunjukkan pesananku. Walaupun ku tidak terlalu paham, tapi ku mengerti dari gerak tubuhnya bahwa itu pesananku, aku harus mengambil lalu membayarnya. Jadi ku lakukan saja.
"Terimakasih," sambungku lalu pergi dari toko itu. Sementara Anna? Kali ini dia sedang memesan karena sebelumnya dia baris tepat di belakangku. Setelahnya ku mencari tempat kosong. Mengalihkan pandangan ke kanan dan kiri namun tidak ada lagi. Semua tempat penuh dan sekalinya ada yang kosong, selalu ditempati orang lain. Ku seperti orang bodoh yang berdiri di tengah keramaian dengan membawa segelas kopi dengan sekantong croissant. Terlalu larut mencari bangku kosong, sebuah tepukan bahu membuyarkan lamunanku.
"Ayo ikut aku," katanya. Ah... Suara ini lagi. Ayolah, mau sampai kapan kau membuntuti ku terus. "Kau mau berdiri di sini terus? Ayo ikut aku." Dia menarik tanganku yang sedang membawa croissant dengan tiba-tiba. Untung saja rotinya tidak jatuh. "Hei, perlahan," sergahku. Tetapi dia tidak mendengarkan.
Kami menjauh dari kantin, yang artinya semakin jauh dari ruang ujian dan keluar dari gedung utama. Ku tidak tahu kemana dia akan membawaku, tetapi suasana yang ia pilih cukup bagus. Kami dapat melihat pepohonan, dan merasakan semilir angin yang cukup menyejukkan, suara kicauan burung, dan air terjun tak jauh dari asrama saat melintasi koridor luar yang lebih terbuka.
"Lebih tenang bukan?" tanyanya padaku setelah melepaskan genggaman tangannya dam berjalan duduk di sebuah taman dengan sebuah patung pancuran Dewi Achori di tengahnya.
"Ya... Cukup bagus," jawabku dengan menggigit croissant. Gurihnya sangat terasa, suara renyah dari gigitan pertama saja bahkan lebih merdu dibandingkan suara alam yang tadi ku dengar. Dan menteganya pun langsung menyebar di mulut. Ku sampai tidak sengaja meneteskan air liur saat membayangkan gigitan kedua dan seterusnya yang ku lakukan. Satu gigitan, dua gigitan, sampai akhirnya tak terasa croissant pertama pun habis.
"Lap dulu air liurmu," ucapnya dengan sedikit menahan tawa. Karena malu, ku memalingkan muka dan berusaha untuk mengelapnya sendiri. Ku raba pakaianku, mencari tisu atau sapu tangan namun anehnya tidak ada. Ku yakin sekali belum memasukkannya tadi. Eh tunggu... APA?
"Nih tisu." Ia mengasongkan sebungkus tisu, tetapi aku masih memalingkan muka. Bukan tidak mau, tetapi aku malu sekali. Wajahku memanas tahu. Kalian tidak lihat betapa merahnya wajahku sekarang?
"Ini ambil." Dia meletakkan selembar tisu di tanganku. Hatiku makin tidak karuan rasanya. Ku rasakan tangannya sangat lembut, dan juga warna kulitnya yang dilihat dari dekat sangat cerah. Mimpi apa aku di siang bolong seperti ini.
"T-terimakasih," ucapku lalu dengan cepat menggunakan tisu itu untuk mengelap liurku tadi, lalu ku sambung meminum kopi untuk menenangkan diri.
"Jadi... Apa kau mengamatiku di kelas tadi saat jam istirahat?" Aku tersedak mendengarnya, sampai tidak sengaja mengeluarkan kopi yang sudah sempat ku minum. "Hei, perlahan. Kau ini kenapa sih?"
Kau masih bertanya? Tentu saja aku malu. Kau terang-terangan sekali seperti anak polos tidak tahu dosa.
"Ah... Berarti benar ya? Reaksimu menjelaskan semuanya tanpa harus kau menjawab." Ia memiringkan kepalanya, membuatku merasa gemas dan semakin malu. Kenapa dia selucu dan... Sepolos ini.
"I-iya aku mengaku. Maaf mengamatimu diam-diam," ucapku dengan akhir kata sudah memalingkan muka kembali.
"Jangan seperti itu. Kau ini kenapa sih? Yang kau ajak bicara tuh di sini, bukan di sana." Dia meletakkan kedua tangannya pada pipiku, lalu ia putar sampai berhadapan dengan wajahnya. Ku langsung menutup mata karena takut wajahku kembali memerah saat memandanginya dari dekat.
Eh... Apa ini?
Kurasakan hawa dingin datang menyisir kedua kelopak mataku. Hawa dingin yang sejuk, dan sangat nyaman. Seperti berada di tengah padang rumput yang bergerak seirama tertiup angin.
"Bagaimana? Matamu masih terasa sakit?"
"Sakit? Kenapa kau berpikir mataku sakit?" tanyaku dengan tetap menutup mata. Tatapannya itu sangat membius walaupun terhalang kacamata.
"Loh? Ku kira kau menutup mata karena sakit terkena sesuatu." Ternyata dia mengira aku sakit mata. Oh Tuhan, ampuni aku telah menghina gadis ini berkali-kali tanpa ia tahu.
"A-ah itu... Iya mataku sakit. Terimakasih," jawabku dengan perlahan membuka mata. "Namaku Kina, senang berkenalan denganmu," ucapku mengalihkan topik.
"Hei hei, kau mau kemana?" Ku heran melihat dia yang tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berjalan cukup kencang-bukan berlari-menuju ruang ujian melewati rute yang sama.
"Namaku Anna Hashimata. Ku tahu kau mengamatiku tadi dan ku cukup senang bisa berbicara berdua denganmu. Salam kenal ya," ucapnya dengan berbalik badan, sedikit melompat dan membuka tangan seperti menyapa "hai". Aku pun menyusulnya dan tidak sadar meninggalkan croissantku di taman itu.
"Jadi kau memang sudah tahu aku mengamatimu?" Dia mengangguk sekali.
"Dan kau hanya mengerjaiku?" Dia mengangguk lagi. Ku kesal dengan tingkahnya. Akan ku cabut perkataanku. Tuhan, dia memang sangat menyebalkan. Aku tidak mempunyai penyesalan apapun.
"Jangan kesal seperti itu ya... Kau tampak lucu dengan rambut panjangmu itu." Dia membelai rambutku, lalu menciumnya. Rasanya seluruh tubuhku dialiri listrik saat itu. "Harum sekali. Seperti croissant."
"Apa kejadian tadi juga kau sengaja lakukan?"
"Maksudmu yang di kelas tadi? Tidak kok." Dia mendekat padaku yang berada tidak jauh di belakangnya. Menempelkan keningnya lalu berkata, "Apa kau perlu bukti untuk itu?"
Dapat ku rasakan wajahku memanas, yang artinya mukaku memerah saat ini. Mungkik lebih merah dari sebelumnya. Keningnya itu bahkan lebih cerah dibandingkan kulit tangannya. Lebih halus dan sangat licin. Ah ... Sejujurnya aku tidak ingin hal seperti ini cepat berlalu.
"Apa kau sakit? Mukamu memerah loh." Tentu tidak. Ini karena perlakuanmu tahu. Apa dia tidak merasakan hal yang kurasakan saat ini?
"Tidak." Ku menjauhkan wajahnya dariku. "Lupakan saja, aku tidak apa-apa."
"Ayo cepat. Kita masih ada ujian," tegurnya melihatku hanya diam berdiri. Padahal aku sedang merapihkan rambut yang belum dikuncir sejak ujian pertama bersama Mrs. Amber. "Dan ujian kali ini lebih menegangkan daripada yang lain. Aku tidak sabar mencicipimu, Kina Harasawa."
Hah? Apa? Mencicipi? Jadi ujian setelah ini berhubungan dengan masak memasak? Oh jangan lagi. Harus berapa kali ku menanggung malu dalam sehari.
"Memangnya ujian apa setelah ini?"
"Hausmangarten Mohohexia,", jawabnya lalu berjalan perlahan. Meninggalkanku di belakang yang berdiri diam mencerna setiap kata yang terkesan cukup seram tetapi di sisi lain sangat menggugah rasa penasaranku.
Hausmangarten Monohexia? Ujian jenis apa itu?
To be continued (っ˘̩╭╮˘̩)っ