Panji sudah berada di rumahnya setelah mengantar Melody kembali ke apartemennya, ia bersama dengan Joni mulai membaca beberapa informasi yang ia dapatkan dari anak buahnya yang lain mengenai kehidupan pribadi wanita yang belakangan mengusik hatinya. Duduk di ruang kerjanya yang khusus didesain klasik namun elegan, ruang kerja tersebut terkoneksi dengan ruang meeting.
"Bunga mawar, Jon?" Tanya Panji lemas. Setengah tak percaya namun begitulah informasi yang didapatkan dari anak buahnya.
"Wajarlah, Pak. Wanita suka bunga bukan hal yang aneh," ucap Joni terbahak menatap wajah atasannya yang memucat. Membayangkan alerginya akan kembali kambuh jika berurusan dengan berbagai jenis bunga, khususnya bunga mawar.
"Mending bunga bank deh, mau berapa juga saya kasih, ini sulit." Panji meletakkan ponselnya di meja.
"Saya ada ide, sebaiknya dikirim saja. Jadi, Bapak tidak perlu bersusah payah berdekatan dengan bunga-bunga itu," kata Joni memberikan solusi.
Niat hati ingin memberikan sesuatu pada Melody berujung kekesalan. Lagi-lagi, Panji harus berurusan dengan bunga mawar.
"Saran yang bagus, sekarang pesankan dan kirim besok jam 10 pagi ke kantornya. Jam 11 siang, kirim makan siangnya," titah Panji kepadanya.
"Florist biasa apa yang mana?" Tanya Joni lebih spesifik.
"Langganan Mama, sudah teruji dan pasti tahu seleraku," jawab Panji kepada asistennya.
"Baik, Pak. Ada lagi?" Joni mulia mengutak-atik catatan hariannya di ponselnya.
"Sementara gak ada, kamu nginep aja, udah jam segini." Panji menatap jam dinding di ruangan tersebut sudah menunjukkan lewat tengah malam.
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya boleh ke kamar?" Joni sudah mengantuk. Ia menahan kantuknya sejak kedatangannya di rumah atasannya.
"Oke, istirahat sana," usir Panji kepada asistennya. Ia mengibaskan tangannya agar Joni segera keluar dari ruangan.
"Baik, Pak." Joni melenggang keluar dari ruangan tersebut dan berpapasan dengan Devina.
"Belum tidur juga kalian, bahas apa sih?" Devina mengomeli Joni.
"Bahas masa depan Kayana Group, Bu. Penerusnya kan harus dipikirkan dari sekarang," ucap Joni sambil mengulum senyumnya puas."
"Maksud kamu apa? Apa Panji serius mau nikah lagi?" Devina menahan langkah Joni yang hendak meninggalkannya.
"Serius, kan udah buat kesepakatan dengan Bu Feli," jawab Joni yang sudah menguap dua kali. Ia benar-benar sudah lelah dan mengantuk.
"Ya sudah, kamu tidur sana," usir Devina. ia mengetuk pintu ruang kerja Panji sebelum masuk.
"Kok Mama belum tidur?" Panji sebenarnya sudah menutup layar laptopnya dan hendak meninggalkan ruangan tersebut sebelum ibunya masuk.
"Mama nunggu kamu pulang, beberapa hari ini kan gak ketemu, padahal satu rumah," omel Devina kepada anaknya.
"Maafin Panji, Ma. Kan Mama juga tahu, banyak pekerjaan yang harus dipantau," jawab Panji tak enak hati dengan Devina.
"Kamu serius mau nikah lagi, apa Feli sudah tahu?" Devina menatapnya gusar.
"Ma, Kayana butuh penerus, kita bisa ambil anak asuh sebanyak mungkin agar rumah tidak sepi, tapi bedakan dengan penerus perusahaan dan keturunanku," jawab Panji tak kalah gusar. Pembicaraan dengan Felishia mengenai anak menurutnya sudah final. Tidak ada harapan baginya untuk memiliki anak dengan istrinya itu.
"Baiklah, asal wanita itu baik dan tidak banyak tingkah. Satu lagi, tidak sesibuk istrimu," ucap Devina kepada Panji.
"Mama harus ketemu, tapi tidak sekarang, biarkan saya meyakinkan dia dulu, menjadi istri kedua untuk perempuan baik-baik bukanlah keputusan yang mudah, akan ada pergolakan batin disana," ungkap Panji yang memang benar adanya.
"Baiklah, asal kamu dan Feli sudah sepakat, mama tunggu hasilnya." Devina dan Panji keluar dari ruangan itu untuk kembali ke kamarnya masing-masing.
Dan keesokan harinya, Panji benar-benar mengirimkan buket bunga mawar segar ke kantor Melody. Wanita itu sempat terheran, sudah lama ia tidak mendapatkan kejutan manis di pagi hari dari seorang pria. Ia menyadari siapa pengirimnya setelah mendapatkan pesan singkat dari Panji yang mempertanyakan apakah ia menyukai bunga yang ia kirimkan.
"Terima kasih, bunga yang sangat indah dan wangi," jawab Melody singkat disertai emoji hati.
Dari kejutan pagi ini, Melody sadar, ia sudah terlalu lama sendiri. Pantas saja, ibunya sudah menaikkan kadar khawatir kepadanya. Sekelebatan muncul tawaran Panji yang mengajaknya menikah. Namun, status Panji yang sudah beristri membuatnya bimbang. Hingga menjelang makan siang, pikiran Melody tak lepas dari tawaran tersebut, dan tentu saja Melody tidak dapat memungkiri bahwa ia juga tertarik kepada pemilik Kayana Group yang rupawan wajah dan dompetnya.
"Bu, kiriman makan siang," ucapan salah satu office boy yang mengetuk pintu ruangannya membuyarkan lamunan Melody.
"Aih, terima kasih, dari siapa?" tanya Melody kepada office boy tersebut.
"Kurang tahu, Bu. Mungkin di kartunya bisa dilihat," ucap OB tersebut sebelum undur diri.
Melody membuka paketan menu makan siang yang terbungkus rapi dari salah satu resto favoritnya, lalapan ikan gurame dengan sambal pedas memang pas untuk menambah tenaganya yang terkuras sejak pagi tadi. Meraih kembali ponselnya untuk mengucapkan terima kasih kepada Panji yang Melody tahu sedang berada di Semarang untuk meninjau lokasi.
"Sama-sama, selamat bekerja dan jangan terlalu malam pulangnya," jawab Panji yang baru saja menyelesaikan meetingnya.
Melody menikmati makan siangnya di ruangan, banyaknya pekerjaan membuatnya enggan kemana-mana, apalagi meeting dengan beberapa divisi lain akan dilakukan setelah jam makan siang usai menambah daftar pekerjaannya.
Sementara itu, Devina penasaran, siapa wanita yang dibicarakan anaknya semalam. Ia berniat mencari tahu sendiri melalui anak buahnya. Dan kesempatan ini tidak akan disia-siakan oleh Devina untuk mengetahui seperti apa calon istri anaknya.
"Biasanya, Mbak Melody keluar kantor jam 6 sore, Bu. Kalau tidak ada kegiatan lain langsung pulang." Informasi yang didapatkan Devina dari anak buahnya.
"Oke, kamu temani saya lihat dia dari kejauhan dulu, saya hanya ingin tahu," jawab Devina kepada anak buahnya. Ia bersiap menuju kantor dimana Melody bekerja.
Melody sendiri sedang bersiap untuk pulang, stok makanan dan beberapa kebutuhan pribadinya yang mulai menipis membuatnya memajukan jadwal belanja bulanannya. Mengendarai mobil pribadinya, ia menuju salah satu mall di kawasan BSD.
"Itu mobil Mbak Melody, kita ikuti dulu," kata anak buah Devina kepada sopir pribadi Devina.
"Baik, Pak," jawab patuh sopir tersebut melajukan mobilnya mengikuti mobil Melody.
Devina mengikuti arah kemana Melody berbelanja, dari supermarket ke beberapa toko kosmetik dan skincare yang wanita itu datangi. Hal ini cukup membuatnya berlega hati. Bukan perkara mahal murahnya barang yang dibeli Melody tapi gaya hidup Melody yang disorot olehnya. Baginya, Melody masih terbilang sederhana namun tetap memancarkan aura kecantikan yang alami, dan Devina tidak memungkirinya.
"Adik saya salah satu anak buahnya Mbak Melody, Bu. Memang orangnya sederhana dan baik hati, tidak sombong," ungkap orang kepercayaannya lagi.
"Serius kamu?" Devina memicingkan matanya tak percaya. Mereka sudah dalam perjalanan kembali ke rumah setelah memastikan Melody kembali ke apartemennya.
"Sudah dua tahun adik saya menjadi staff keuangan Mbak Melody, ibu bisa tanyakan langsung ke adik saya, PP Engineering maju pesat di tangannya." Satu kenyataan yang menurutnya di luar dugaan. Ternyata Melody juga memiliki prestasi dalam pekerjaannya di luar pembawaannya yang sederhana.