Pernikahan Melody dengan seorang pria asal Jakarta sampai juga di telinga Prasetyo Sebagai seorang ayah, hatinya tergores karena Melody benar-benar tidak menganggapnya ada. Pras masih teringat ketika pertemuannya dengan Melody di sebuah acara bisnis, sejak saat itu ia berjanji untuk menjauh dari kehidupan anaknya, sesuai permintaan Melody sendiri.
"Tolong kirimkan hadiah pernikahan buat Melody dan kirim ke kantor PP Engineering besok siang," titah Pras kepada anak buahnya.
"Hadiahnya apa, Pak" tanya anak buahnya.
"Aku sudah belikan, Kau ambil besok ke toko yang sudah ku kirim alamatnya," jawab Pras sebelum mematikan sambungan teleponnya.
Prasetyo menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin, sedingin hati Melody terhadapnya. Pandangannya ke arah langit sore itu di balkon ruangan kerjanya, kenangan pertemuan Melody dengannya pada saat jamuan makan siang dari sebuah perusahaan asing yang sedang mencari partner untuk proyek yang berada di Jakarta.
"Apa kabar, Nak?" Pras memberanikan diri menghampiri Melody yang sedang berbincang dengan Hermawan, atasannya di PP Engineering.
"Baik, seperti yang Anda lihat Pak Prasetyo. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Melody dengan bahasa formalnya.
"Mel, ngobrol saja dulu. kalian kan jarang bertemu, silahkan Pak Pras," kata Hermawan memberi ruang kepada ayah dan anak tersebut.
"Tapi Pak…." Melody keberatan jika Hermawan meninggalkannya bersama dengan Pras. Dan Hermawan memberi pengertian kepada Melody agar memberikan waktu kepada ayahnya melalui tatapan memohon.
"Kamu tinggal sama ayah bagaimana?" tawar Pras kepada anaknya.
"Jangan coba-coba untuk muncul di hadapan saya dan ibu, bagiku Anda sudah tidak ada, sudah mati di hati dan pikiran saya," jawab Melody tajam. Ucapan tersebut cukup menghujam jantung Pras sebagai ayah.
"Bisakah kita lupakan masa lalu, Nak. Bagaimanapun kamu anakku," kata Pras memohon.
"Apa bisa Anda menghapus jejak air mata, saat kami kehilangan Anda? Apa bisa Anda menghapus kenangan buruk kami terhina dan direndahkan sebagai orang miskin yang tidak diinginkan? Apa Anda hadir disaat kami susah tidak bisa makan?" Rentetan pertanyaan dari Melody yang bertubi-tubi membuat Pras susah bernafas. Sesak di dadanya membayangkan pedihnya kehidupan anak dan istrinya saat ia tinggalkan. Saat dimana Pras sedang berusaha memperbaiki kondisi keuangannya dengan merantau ke ibukota. Namun sayangnya, janji untuk kembali menjemput anak dan istrinya tak pernah terwujud karena Pras tergoda wanita lain.
"Tolong beri ayah kesempatan, Nak. Setidaknya datanglah ke rumah," ucap Pras penuh harap kepada Melody.
"Tidak akan pernah!" kata Melody tegas.
"Tolonglah, Nak. Beri ayahmu kesempatan. Ayah sayang sama kamu." Pras mencoba meraih pergelangan tangan Melody namun berhasil ditepis oleh gadis itu.
"Oke, jika Anda menyayangi saya, tolong hargai permintaan saya untuk tidak mengganggu kehidupan kami!" ucapan tegas Melody disertai tatapan tajam gadis itu sukses melukai hati Pras. Melody meninggalkan Pras dan mencari keberadaan Hermawan, ia merasa tidak perlu terlalu lama berbicara dengan ayahnya.
"Sudah, Mel?" tanya Hermawan yang duduk di sudut ruangan menunggu Melody.
"Sudah, Pak. Apa mau balik kantor sekarang?" tanya Melody kepada Hermawan.
"Oke, kita balik kantor sekarang," jawab Hermawan.
Dan Prasetyo hanya bisa memandang anak gadisnya dari jauh. Padahal, ia juga memiliki perusahaan. Andai saja hubungannya dengan Melody tidak seburuk sekarang, pasti ia akan dibantu oleh anaknya menjalankan usahanya.
"Tolong titip anak saya, Pak Hermawan. Sepertinya Mel lebih dekat dengan Anda daripada ayahnya sendiri." Sebuah pesan singkat dari Pras kepada Hermawan yang sudah meninggalkan tempat acara bersama dengan Melody.
"Harap bersabar, Pak. Suatu saat, hubungan kalian akan kembali, hanya butuh waktu," jawab bijak Hermawan.
"Terima kasih, Pak." Pras memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah membalas pesan singkat dari Hermawan.
Dering ponselnya membuyarkan lamunannya, tak sadar rintik hujan sore itu seakan mengerti kepedihannya.
"Pak, sudah dikirim tapi yang akan menerima Pak Reza, gimana?" tanya orang suruhannya melalui sambungan telepon.
"Tidak masalah, nanti Reza akan sampaikan ke Melody. kembalilah ke kantor setelah Reza menerimanya," titiah Pras kepada anak buahnya.
"Baik, Pak," jawab anak buahnya.
Pras menghubungi Reza untuk meminta bantuannya menyampaikan kado pernikahan darinya kepada Melody.
"Kabar baik, Pak Pras. Kebetulan Mbak Mel masih cuti tapi saya akan coba antar ke rumahnya." Reza menjawab pesan singkat dari Pras.
"Tidak masalah, sebelumnya maaf kalau merepotkan. Terima kasih." Pras patut mengucap syukur jika orang-orang disekitar Melody adalah orang baik seperti keluarga Hermawan. Di lain tempat, Melody yang sudah pulih meminta segera kembali ke Jakarta.
"Pulang pun kamu masih dalam masa cuti bukan?" Panji memastikan waktu cuti istrinya sesuai permintaannya.
"Iya, kan sudah lihat surat permohonan cutinya," jawab Melody.
"Kamu bosan apa gimana?" tanya Panni mencari tahu.
"Gak juga, tapi banyak kado yang dikirim ke kantor dan apartemen. Apa gak merepotkan mereka yang disana," jawab Melody.
"Ya udah, besok kita balik Jakarta." Panji membelai rambut panjang istrinya.
"Makasih, Mas." Melody menatapnya senang.
Untuk sementara, Panji menunda mencari tahu siapa orang yang berusaha mencelakai Melody pada saat prosesi akad nikahnya. Ia akan fokus untuk beradaptasi dengan jadwal yang sudah mereka sepakati dengan Felishia. Istri pertamanya pun meminta rumah baru di kawasan elite Pondok Indah untuk memudahkan pekerjaannya yang banyak di Jakarta dan Melody akan tinggal di Alam Sutera berdekatan dengan rumah utama dan tempat kerjanya.
"Kamu banyak penggemarnya, itu Pak Haji dari Banjarmasin nyariin kamu," ledek Panji yang sedang membalas pesan singkat pria yang sedang dibahasnya dengan sang istri.
"Mas berlebihan, semua dikata penggemar Saya kan bukan artis." Melody menjawab ledekan suaminya.
Keesokan harinya, mereka kembali ke Jakarta seperti permintaan Melody, sebagai istri ia pun mengerti jika suaminya adalah orang sibuk dan memiliki segudang pekerjaan yang sudah menunggu.
"Kamu beneran gak masalah nunda liburan?" tanya Panji kepada Melody.
"Gakpapa, tapi besok lusa ke Bali boleh ikut? Kan masih cuti, udah lama gak mantai, Mas." Melody berkata malu-malu karena didengar oleh Devina dan ibunya.
"Boleh, Mama ngerti kok," kata Devina terbahak.
"Oke, besok ke kantor Kayana jangan lupa. Pakai dress yang sudah disiapkan," kata Panji mengingatkan Melody.
"Mas yakin? Apa keluarga Mbak Feli tidak keberatan?" Melody memastikan kehadirannya tidak mengganggu mereka.
"Yakin, kamu gak perlu menyapa semua orang di gedung Kayana, hanya sekretaris dan staf pribadi saya di kantor saja. Kamu harus kenal mereka semua selain Joni." Panji memberitahu istrinya.
Sesampainya di Jakarta, mereka berpisah mobil dengan Devina yang akan kembali ke rumah utama. Devina tak lupa memberi serangkaian pesan dan nasehat kepada anak dan menantunya.
"Baik, Ma. Hati-hati," jawab Melody kepada ibu mertuanya sebelum Devina masuk ke dalam mobilnya.
Melody sudah berada di dalam kamar bersama dengan suaminya. Ia masih tidak enak hati dengan permintaan suaminya tadi.
"Kenapa, masih mikirin besok?" Panji yang sudah berbaring santai melihat istrinya terlihat sedang memikirkan sesuatu.
"Gak juga sih, Mas. Hanya gak enak aja." Melody memang mengkhawatirkan besok harus bersikap seperti apa.
"Apa jangan-jangan masih gak enak hati sama mantan kamu? Manager Marketing Kayana bukankah mantanmu selain Dicky." Panji sedang senang menggoda istrinya.
"Bapak dari kemarin godain terus!" seru Melody cemberut.
"Sini, jangan ngambek." Panji memintanya mendekat lalu terbahak puas.