"Baik Dokter Sam, saya mengerti."
"Baiklah kalau begitu saya permisi yah, Oma. Selamat malam."
"Iya Sam, Selamat malam. Sekali terima kasih." jawab wanita baya itu pada Ilsam, Dokter pribadi keluarga Wijaya yang sudah dianggap Oma seperti keluarga sendiri.
Suara percakapan dari Oma dan seorang pria yang gue yakini adalah Om Sam, terdengar cukup jelas di telinga tapi kedua netra ini sulit sekali rasanya untuk dibuka.
"Enghhh... Omaa.." gue gak tahu pasti apakah suara ini keluar sebagai ucapan atau hanya gumaman semata.
Hangat, rasanya ada yang menggenggam tangan gue dengan erat dan penuh cinta.
Tubuh ini memang sangat sulit digerakkan sekarang, entah karena apa... Rasanya seperti diberi beban berat diatasnya. Tapi dengan sekuat tenaga gue berusaha menoleh kearah sumber datangnya hangat. Ha?
Mata gue sontak membulat ketika beradu pandang dengan sosok wanita berparas cantik dengan mata sendu, ia berposisi tepat berada di samping gue dengan senyum yang begitu familiar. Sosok yang sangat gue rindukan selama ini, "Mama?"
"Erland, kenapa kamu sakit lagi nak? Bukanya Erland pernah janji akan jadi anak kuat walaupun dengan keadaan Erland sekarang."
Sosok wanita ini kemudian mengelus surai hitam gue dengan lembut, memenuhi suasana ruangan dengan kenyamanan dan kehangatan.
"Maaf, Ma," ucap gue menurunkan pandangan ke ujung kaki kemudian kembali menatap kedua netranya, "Erland rindu Mama, Mama kenapa baru sekarang datang? Apa Mama mau jemput Erland? Ayo Ma, Erland mau tinggal sama Mama aja, bawah Erland, Ma." Ucap gue sekali lagi gagal menahan liquid bening yang menerobos keluar dari mata.
"Tidak, Sayang. Erland harus di sini jaga Oma, Papa sama Oma butuh Erland." Lagi-lagi permintaan itu ditolak.
"Sudah cukup, Ma. Oma bisa menjaga dirinya sendiri, Oma orang yang kuat, dan Papa. Mama sudah tahukan watak pria itu? Papa gak peduli ,Ma kalau aku ikut mama pun dia gak akan merasa kehilangan."
Wanita cantik itu tetap menggeleng, "seperti mama udah harus pergi lagi, Sayang. Kamu jaga dirimu baik-baik, Sayang...jaga Oma dan Papa. Mama pamit, Sayang."
"MAMA, ERLAND IKUT!!" teriak gue pada wanita yang sekarang entah kemana perginya.
"Erland, sadar sayang Oma di sini. Ayo Erland bukak matamu."
Seketika pandangan ini langsung menyusuri setiap sudut dari ruang, berusaha mencari sosok wanita yang baru saja menggenggam tangan gue dengan erat.
"Mama... Mama dimana Oma?"
"Sayang sadarlah.... Oma mohon jangan begini."
"Mama? Mama dimana?"
Tanpa aba-aba lagi tubuh gue sudah ditarik Oma dalam pelukannya.
"Erland, tolong jangan seperti ini. Ikhlaskan kepergian Anggita, dia sudah tenang di alamnya."
Deg... Hati gue bergetar, gue sadar sekarang. Mungkin tadi hanya ilusi optik yang dibuat oleh otak gue. Mama sudah meninggal Erland, ingat itu. Lo gak boleh gini, jangan sampai masa-masa kelam yang udah lo kubur kembali, jangan buat Oma khawatir!!
Lagi dan lagi pikiran gue berkecamuk, dan pada akhirnya meloloskan dua kata, "Oma... Maaf."
Sial!! Gue tampak sangat lemah hari ini di depan Oma. Padahal gue udah berusaha membunuh perasaan gue dan jadi sosok dingin selama ini, semua gara-gara buku itu perasaan gue jadi gak karuan sekarang.
"Tidak Erland, Oma yang salah. Sekarang malam sudah larut Erland istirahat saja, besok Oma mau menunjukkan sesuatu ke Erland."
Ucap Oma mulai mengendorkan dan melepas pelukannya dari gue.
"Ah, Baik Oma."
"Good night, Sayang."
Oma meninggalkan gue di kamar yang cukup luas dengan cahaya lampu yang sengaja dibuat redup. Mata gue sama sekali gak merasa lelah melihat setiap sisi dari ruang, efek dari pingsan cukup lama tadi membuat mata gue enggan untuk menutup.
Suasana kamar ini sama saja enggak ada yang berubah sejak 8 tahun yang lalu, setiap gue kembali desain interior ruangannya persis sama hanya beberapa barang yang diganti karena mungkin dimakan usia.